Wibisana

Wibisana adalah anak bungsu dari empat bersaudara putra pasangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Wibisana satria berparas tampan, tidak seperti ke tiga kakaknya yang berwajah raksasa yaitu, Prabu Dasamuka, Raden Kumbakarna, dan Dewi Sarpakenaka. Ketika masih remaja ke empat anak Begawan Wisrawa tersebut melakukan laku tapa di gunung Gohkarna selama bertahun-tahun. Pada akhir tapanya, masing-masing dari mereka mendapat anugerah dari Dewa sesuai dengan keinginannya. Sewaktu Hyang Narada bertanya kepada Wibisana, apa yang diinginkannya? Wibisana menjawab bahwa dirinya ingin menjadi kesatria sejati yang dapat menempatkan nilai-nilai kebenaran di atas nilai-nilai yang lain. Hyang Narada mengabulkan apa yang dimohon Wibisana dan berjanji atas nama para dewa akan senantiasa membantu perjuangan Wibisana dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran di dunia.

Ketika pada suatu hari Wibisana mendengarkan ramalan para Resi negara Alengka, yang mengatakan bahwa Negara akan mengalami bencana besar dikarenakan ulah Prabu Dasamuka yang akan mengawini anaknya sendiri, yang sekarang masih dalam kandunag Dewi Tari istri Dasamuka. Hal tersebut dilakukan Dasamuka, karena anak tersebut merupakan titisan Dewi Widowati, yang sejak dari Lokapala selalu dikejar-kejar Dasamuka untuk diperistri. Wibisana berusaha mencegah agar kakaknya tidak melakuan tindakan yang tidak benar, dengan mengawini anaknya sendiri. Karena jika seorang raja mengawini anak kandungnya negara serta rakyatnya akan tertimpa bencana besar.

Maka setelah genap waktunya Dewi Tari melahirkan bayi perempuan, Wibisana segera bertindak. Ia, dibantu oleh para Dewa, mencipta bayi laki-laki dari gumpalan mega di langit yang diberi nama Begananda, untuk mengganti bayi perempuan. Sedangkan bayi perempuan anak Dasamuka yang sesungguhnya dihanyutkan di sungai.

Bayi perempuan yang kemudian di temukan oleh Prabu Janaka raja Mantili dan diberi nama Dewi Sinta, menjadi istri Rama, dan dicuri oleh Dasamuka di hutan Dandaka untuk diboyong di Alengka. Tidak ada yang tahu bahwa Dewi Sinta adalah anak kandung Dasamuka. Namun Dasamuka tahu bahwa Dewi Sinta adalah titisan Dewi Widowati, dambaan hatinya. Oleh karenanya Dasamuka sangat bernafsu untuk memperistri Dewi Sinta.

Wibisana menentang keinginan Dasamuka mengawini Dewi Sinta. Kakanda Prabu hal itu tidak benar. Sebaiknya Dewi Sinta dikembalikan kepada Prabu Rama suaminya. Saran Wibisana membuat Dasamuka murka. Wibisana diusir dari Negara Alengka.

Dengan perasaan hancur Wibisana meninggalkan tanah tumpah darahnya. Ia teringat akan kata Hyang Narada, bahwasannya memperjuangkan kebenaran itu tidak mudah. Banyak rintangan dan hambatan yang membutuhkan pengorbanan. Wibisana telah mengorbankan tanah tumpah darahnya, negaranya, saudara-saudaranya. Semuanya ditinggalkan demi sebuah kebenaran. Kemudian Wibisanan bergabung dengan Prabu Rama.

Pada saat terjadi perang besar yang dinamakan Perang Giriantara, antara Dasamuka dan bala tentara Alengka melawan Rama serta pasukan kera di pesanggrahan Swelagiri, Wibisana diangkat oleh Rama menjadi penasihatnya, dengan pertimbangan bahwa Wibisana banyak mengetahui seluk beluk istana serta peta kekuatan Negata Alengka. Wibisana juga mengetahui rahasia kekuatan para senopati perang Alengka.

Bersama Wibisana, Rama berhasil mengalahkan Dasamuka serta prajurit prajuritnya dengan tidak menghancurkan negara. Sepeninggal Prabu Dasamuka, Wibisana diangkat oleh Rama menjadi raja di Negara Alengka. Nama Alengka kemudian diganti menjadi Singgelapura. Wibisana didampingi seorang istri bernama Dewi Triwati serta kedua putranya yaitu Dewi Trijata dan Raden Denta Wilukrama.

Namun sebelum naik tahta di Singgelapura, Rama memberi wejangan Astabrata kepada Wibisana. Astabrata adalah delapan laku watak yang seharusnya diupayakan oleh seorang pemimpin. yaitu: 1. Berwatak Matahari: memberi energi dan daya hidup. 2. Berwatak Bulan: menerangi bagi mereka yang berada dalam kegelapan sehingga memberi rasa keindahan, ketentraman 3. Berwatak Bintang: menjadi penghias dan pedoman arah bagi mereka yang kehilangan arah di malam hari. 4. Berwatak Angin: dapat mengisi setiap ruangan yang kosong dan dapat melakukan tindakan yang teliti, cermat dalam menyelami kehidupan. 5. Berwatak Mendung, berwibawa menakutkan, tetapi sesudah menjadi air dapat menghidupkan segala tumbuhan dan memberi manfaat bagi sesama. 6. Berwatak Api: bertindak tegas, adil, tidak pandang bulu. 7. Berwatak Samudra: mempunyai pandangan yang luas, rata dan sanggup menerima persoalan apapun tanpa kebencian 8. Berwatak Bumi: mempunyai sifat sentosa, suci dan jujur serta memberi anugerah kepada yang berjasa

Tidak hanya Wibisana, Setiap pemimpin, bahkan setiap orang, tak terkecuali, dapat menerapkan delapan watak tersebut. Karena sejatinya, bagi mereka yang dapat menerapkan ajaran Astabrata hidupnya akan bermahkota seperti layaknya seorang raja, walaupun ia hanyalah orang biasa nan papa.

herjaka HS




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta