Tembi

Makanyuk»SOTO SAPI TIGA GENERASI

19 Jan 2009 03:47:00

Makan yuk ..!

SOTO SAPI TIGA GENERASI

Soto sapi maupun soto ayam mudah sekali ditemukan di Yogyakarta. Namun ada satu warung soto sapi yang telah melampaui tiga generasi. Warung Soto ini mulai berjualan tahun 1950. ”Sindhung” begitu papan nama warung soto yang terletak di Cepit, Jalan Bantul. Persis ditepi jalan. Warungnya kecil dan hanya memuat beberapa orang, paling banyak 10 orang sudah penuh sesak. Warung ini mulai buka pagi pukul 08.00 dan biasanya siang pukul 13.30 sudah habis. Setiap hari, paling tidak 100 mangkok soto dikonsumsi pelanggannya.

Ibu Diah, nama penjual warung soto “Sindhung” ini. Dia baru 3 tahun berjualan menggantikan ibu mertuanya yang menderita stroke. Sementara warung ini sudah mulai berjualan tahun 1950. Sindung adalah nama perintis warung soto, yang dulunya hanya angkringan dan mengambil tempat di Cepit, di tempat yang sekarang sudah dibangun dalam bentuk warung. Tidak angkringan lagi.

Kata “soto tradisional’ melekat pada spanduk yang dipasang di depan warung sotonya. Barangkali untuk menunjukkan, bahwa warung ini sudah cukup lama. Sudah 38 tahun. Lebih dari seperempat abad. Kata tradisional juga untuk menujukkan, selain soto, untuk lauk tersedia pula lenthuk, yang harganya Rp. 200,-. Selain itu tersedia pula tahu bacem goreng, dan daging ayam bacem goreng. Pendeknya, warung soto “Sindhung” ini adalah jenis warung soto murah meriah.

Setelah Pak Sindhung tiada, warung diteruskan oleh anaknya, Satiyem namanya. Oleh anaknya, soto angkringan digantikan dengan warung. Mula-mula warungnya dibuat dari dinding bambu. Sekarang, sudah diganti dinding bata, lengkap dengan meja dan kursi kayu.

Pada generasi ketiga, warung soto diteruskan oleh anak menantunya, yang bernama Ibu Diah (39 th). Ibu dari dua anak ini, setelah ibu mertuanya menderita sakit, kemudian meneruskan berjualan. Dari sehari-harimembantu, kemudian terbiasa meneruskan berjualan.

Warung soto yang mampu melampaui tiga generasi, menunjukkan bahwa warung soto ini sudah memiliki pembeli. Dan setiap hari, selalu saja ada orang yang datang untuk menikmati warung soto “Sindhung’. Mungkin, para pembelinya, anak-anak muda yang mampir, mungkin merupakan ‘cucu’ dari pembeli soto di jaman pak Sindhung berjualan. Artinya, kakek anak-anak muda ini yang, dulunya, menjadi pelanggan soto “Sindhung”. Siapa tahu.

Warung soto “Sindhung” termasuk murah. Satu mangkuk hanya Rp. 3000,-. Menikmati satu mangkuk terasa tidak kenyang. Tambah satu mangkuk cukup kenyang dan hanya membayar Rp. 6000,-- . Mengambil lauk dan lain-lain, Rp. 10.000,- sudah kenyang di warung soto “Sindhung’. Di tempat lain, satu mangkuk soto Rp 6000,-.

Yang mengagumkan dari warung soto “Sindhung” adalah kesetiaannya. Usia 38 tahun warung soto dan dijalani oleh generasi ketiga, menunjukkan kalau keluarga Sindung memiliki kesetiaan terhadap soto. Kesetiaan tidak hanya dimiliki oleh penjualnya, tetapi juga dimiliki oleh pembeli, sehingga dalam kurun waktu 38 tahun, masih ada pembelinya. Yang tentu saja, pembeli sekarang sudah berbeda dengan pembeli tahun 1950-an. Barangkali, pembeli pada jaman itu, jika hari-hari ini masih membeli, sekedar untuk nostalgia pada “Sindhung”.

Warung soto “Sindhung” ini mungkin bisa disebut sebagai warung khas Yogya. Setelah soto habis pukul 14.00,- warung ini tutup. Tidak berupaya membuat lagi dan buka sampai malam. Barangkali juga, setelah jam 14.00 bisa istirahat, mungkin juga mengerjakan pekerjaan yang lain.

Kesetiaan keluarga Sindhung pada soto, mungkin adalah modal yang paling penting untuk menjaga kelangsungan warung soto “Sindhung”, yang memiliki motto “Segar dan Mantap” dan ditulis pada spanduk di depan warung.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta