Tembi

Makanyuk»KUE PUTHU, NIKMAT SELAGI HANGAT

04 May 2009 07:38:00

Makan yuk ..!

KUE PUTHU, NIKMAT SELAGI HANGAT

Kue tradisional jenis satu ini memang jarang dijumpai di pasar-pasar tradisional di sekitar Yogyakarta, apalagi ditemui di mal-mal. Namun benar jika kadang hanya numpang lewat saja alias melewati jalan-jalan pasar untuk kemudian masuk kampung-kampung lagi. Kue puthu memang lebih dikenal sebagai sebuah makanan tradisional yang kerap kali dijajakan secara berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Cara menjajakannya pun tergolong unik, karena tidak harus memukul mangkok seperti saat menjajakan bakso, atau kentongan yang biasa dipakai untuk menjajakan toprak, bakmi dan nasi goreng, melainkan dengan hanya membunyikan cerobong kecil yang melekat jadi satu dengan alat menanak puthu pada sepeda onthel sehingga akan terdengar bunyi “nguuung”. Jika orang-orang kampung mendengar suara itu, mereka sudah yakin bahwa penjual kue puthu telah hadir di sekitar mereka. Memang sangat khas suara itu dan kebetulan tidak ditiru oleh penjaja makanan keliling jenis lainnya. Itulah cara unik penjaja kue puthu.

Kue puthu memang termasuk salah satu makanan tradisional yang dikenal oleh masyarakat Jawa setidaknya juga di lingkungan masyarakat Yogyakarta. Keterkenalan kue ini sudah ada sejak bangsa Indonesia belum merdeka, tahun 1945. Bahkan menurut Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto yang diterbitkan tahun 1939, pada halaman 505 kolom 2 diterangkan bahwa kue “puthu” termasuk salah satu jenis makanan dengan proses dicetak (yakni dengan bumbung bambu, red). Istilah “puthu” –yang memang harus menghadirkan huruf /h/-- jelas berbeda makna dengan istilah “putu”. Istilah kedua tersebut dalam bahasa Jawa berarti cucu.

Kembali ke istilah “puthu” yang berarti kue tradisional, makanan ini dibuat dari bahan dasar tepung beras yang diramu dengan bahan lain seperti gula Jawa (merah), dan parutan kelapa. Cara membuatnya pun terbilang cukup mudah, begitu kata Pak Ngatno (45), salah satu penjaja kue puthu asal Wonogiri, JawaTengah, ketika diwawancarai Tembi saat berkeliling di sebuah kampung di Klitren beberapa saat lalu (25/4). Awalnya tepung beras sekitar 2 kg dicampur dengan sedikit parutan kelapa sambil diaduk dengan sedikit air hingga merata dan mengempal. Masih menurut keterangan Pak Ngatno, yang sudah menjalani profesi sebagai penjual puthu selama 20 tahun dan setiap hari berkeliling mulai jam 14.00—22.00 WIB, adonan tadi dibiarkan selama sekitar 2-4 jam, kemudian dimasukkan ke kotak di satu sisi yang sudah menempel di sepeda. Sementara sisi lain diisi tempat menanak puthu yang terdiri dari kompor dan alat tanak yang dilengkapi dengan kayu berlubang kecl-kecil dan cerobong kecil.

Ia mulai menjajakan kue puthu dari satu kampung ke kampung lain. Ketika ada pembeli, ia baru mulai mengambil sedikit adonan tadi sesuai pesanan lalu dicairkan lagi dengan sedikit air kemudian dimasukkan ke dalam tabung “bumbung bambu”. Di tengah-tengahnya diberi irisan gula merah dan kemudian ditutup dengan adonan lagi. Setelah penuh, ditanak di atas kayu berlubang yang ada uapnya. Uap tersebut keluar dari kayu berlubang yang di bawahnya ada wadah semacam panci berisi air yang dimasak di atas kompor. Tunggu kue puthu sekitar 5-10 menit hingga masak. Setelah masak, kue puthu siap dikeluarkan dari tabung “bumbung bambu” dengan menggunakan stik bambu. Biasanya kue puthu yang sudah masak ditaruh di atas daun pisang dan kemudian ditambah lagi dengan parutan kelapa yang ditabur-taburkan di atas kue puthu. Kue sudah siap disantap dan akan terasa nikmat selagi hangat. Nikmati rasa gurih bercampur manis kue yang dibuat tanpa bahan pengawet ini.

Harga kue ini pun cukup terjangkau oleh masyarakat penggemar kue puthu. Cukup mengeluarkan uang Rp 5.000,- anda akan mendapatkan sekitar 15 buah kue puthu dengan ukuran panjang sekitar 5 cm dan diameter 2 cm. Pak Ngatno yang mondok di daerah kampung Tukangan Yogyakarta ini menambahkan, dalam keseharian, ia bisa membawa uang hasil penjualan kue puthu sekitar Rp 100.000—150.000 jika pasaran sedang ramai. Ia bersama-sama dengan rekan-rekan lain seprofesi bisa sedikit menyisihkan uang untuk keluarganya di kampung halamannya. Namun begitu jika ada pembeli yang hanya membawa uang Rp 1.000,- pun juga dilayani. Jadi berapa pun uang di kantong pembeli dilayani. “Maklum, kan saya ini pedagang kecil, dapat rejeki dari mengumpulkan uang receh.” demikian tambahnya. Pembeli yang sering “nyegat” dagangannya biasanya anak-anak kecil maupun anak-anak kost. Ia biasanya berkeliling di kampung-kampung sekitar Tukangan, seperti Lempunyangan, Baciro, Kolombo, Klitren, dan sekitarnya.

Teks dan foto : Suwandi




Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta