Tembi

Makanyuk»GUDEG NGGENENG

19 May 2008 07:39:00

Makan yuk ..!

GUDEG NGGENENG

Lokasinya agak menjorok ke dalam kampung tapi banyak yang mendatangi. Bangunannya sederhana tapi banyak dicari orang. Itulah warung Mbah Marto di Desa Nggeneng, di belakang Kampus Institut Seni Indonesia. Jika lidah sudah kepincut, langkah kaki tinggal mengikuti.

Warung ini lengkapnya bernama Sego Gudeg Nggeneng. Namun andalannya bukan cuma gudeg tapi juga lele mangut. Keduanya menjadi santapan wajib jika Anda mampir ke sini, tentu jika ruang di perut dan isi dompet memungkinkan.

Tamu yang datang dipersilakan melayani diri sendiri. Di dapur, di meja bambu yang panjang, berjejer baskom yang isinya mengundang selera. Dari yang berisi gudeg, sambel krecek, opor ayam, sampai tahu dan telor. Pengunjung mengambil sendiri nasi serta pilihan kombinasi gudegnya. Mbah Marto duduk di pojok, menerima pembayaran dan membungkus pesanan.

Di dekat wadah nasi ada baskom yang tidak kalah merangsang. Isinya mangut lele. Cara masaknya berbeda dengan warung lain. Saat masih hidup, lele ditusuk dengan batang janur, dan akhirnya disajikan dengan tusukannya. Lele mangutnya memang ‘maut’. Bumbu-bumbunya terasa meresap, dan kuah sambalnya ‘menendang’.

Siang itu, di antara pengunjung yang terus berdatangan, kami menyantap hidangan di dapur meski tersedia ruang makan di depan. Bagi yang asing, mungkin terasa eksotis makan di dapur yang kusam ini –dinding batu merah, sebagian hitam karena jelaga, dan dekat panci-panci besar yang terus berdiang di atas api. Sedang bagi yang familiar, mungkin rasanya seperti makan di rumah sendiri. Mengobrol dengan Mbah Marto, dan duduk berhadapan deretan baskom makanan sehingga lebih gampang kalau mau menambah nasi, lauk atau sayur. Bedanya dengan di rumah, tentu saja di sini harus membayar dan tidak perlu mencuci piring. Untuk empat porsi beserta minuman kami membayar Rp 32.500.

Gudegnya tidak terlalu manis. Rasa gudeg bersama opor ayam dan sambel kreceknya yang kaya seakan terus melekat di lidah. Rasa ‘kampung’ yang khas, terutama kreceknya sungguh ‘wuah’. Mungkin lantaran santannya yang kental dan sambalnya yang pedas. Mungkin juga karena dimasak dengan kayu bakar dan anglo. Yang jelas, ini semua karena kepiawaian Mbah Marto.

Larisnya gudeg Mbah Marto sudah sejak tahun 1960-an ketika beliau masih berjalan kaki keliling. Orang-orang di Kampung Mangkuyudan, misalnya, pasti mengenal lezatnya gudeg krecek dari Desa Nggeneng ini. Dulu dengan rasa sangit yang cukup tajam. Selain Mbah Marto, sedikitnya ada enam penjual lain dari desa ini. Namun Mbah Marto tetap ‘primadona’, sampai sekarang. Di Desa Nggeneng kini hanya warung Mbah Marto yang masih ada.

Warung Sego Gudeg Nggeneng buka pukul 11.00. Sore hari, karena habis, biasanya sudah tutup. Inilah warung yang bertahan lantaran kesetiaan pelanggan, iklan ‘getok tular’ (iklan dari mulut ke mulut) serta kesaksian penggemar kuliner.

a. barata, Herjaka & Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta