Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta (2)

Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta (2)

Latar Belakang

Gereja St. Yusup Bintaran dibangun dengan bentuk bangunan menyerupai pedati. Hal demikian tidak lepas dari filosofi atau perjalanan usaha pembangunan gereja itu sendiri. Pada masa awal pencarian atau pembelian tanah untuk gereja waktu itu panita pembangunan (Rama van Driesche, Rama van Kalken, SJ., dan Bapak Dawoed) merasa kesulitan. Demikian pun dalam proses pembangunannya. Kesulitan semacam itu hampir sama dengan kesulitan yang dihadapi Bunda Perawan Maria dan Santo Yusup ketika tengah melakukan perjalanan panjang untuk melakukan pencatatan diri (sensus). Mereka tidak mendapatkan satu rumah penginapan pun sehingga Tuhan Yesus lahir di sebuah gua yang digunakan sebagai kandang oleh kaum gembala. Berdasarkan hal itu maka muncul pendapat bahwa kemungkinan besar Bunda Maria dulu ketika melakukan perjalanan dinaikkan pedati kecil yang keledainya dituntun oleh Santo Yusup. Dengan alasan itu pula, maka gereja ini dibangun menyerupai bentuk pedati dan patung Yusup diletakkan di ujung (selatan) bangunan dan berdiri seolah-olah tengah menuntun atau memimpin pedati tersebut.

Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta (2)

Gereja St. Yusup Bintaran merupakan gereja pertama di Yogyakarta yang lebih diarahkan untuk mewadahi peribadatan orang Jawa karena pada tahun-tahun 1930-an peribadatan di gereja umumnya masih didominasi oleh orang-orang Eropa. Sementara orang-orang Jawa waktu itu masih jengah untuk duduk di kursi, padahal kursi atau bangku merupakan sesuatu yang mendominasi isi ruang ibadat gereja. Oleh karena itu pula pada masa awalnya di gereja ini terdapat hamparan tikar di bagian depan ruang gereja sementara bagian belakang berisi bangku-bangku.

Pada bagian dalam (dinding) ruang gereja ini juga dapat ditemukan lukisan dalam ukuran besar-besar. Lukisan tersebut menggambarkan rangkaian Jalan Salib yang berisi kisah penangkapan dan penyaliban Yesus Kristus. Lukisan dibuat sangat indah.

Dulu Mgr. Al. Soegijapranata, SJ. (Uskup) pernah menjadi pastor kepala yang kedua di paroki ini. Ketika ia telah menjadi Uskup pun ia pernah tinggal di sini dan melakukan banyak kontak dengan Ir. Soekarno untuk membicarakan perjuangan dan perkembangan bangsa Indonesia. Pada masa-masa perjuangan pula Gereja Santo Yusup sering menjadi tempat masyarakat untuk berlindung, termasuk juga para pejuang. Pada perkembangannya gereja ini juga sering menjadi tempat berlindung bagi warga bantaran Sungai Code yang menjadi korban banjir.

Aula di kompleks Gereja Santo Yusup juga berperanan besar dalam melahirkan berbagai gerakan. Baik itu gerakan pendidikan, sosial, keagamaan, dan sebagainya. Aula Gereja Santo Yusup Bintaran menjadi saksi muncul dan bertumbuhnya sekolah SMA De Britto, SMA Marsudi Luhur, dan SMA Santo Thomas. Hal itu terjadi pada tahun-tahun 1947. Dengan bertempat di kompleks gereja ini pula dulu Mgr.Al. Soegijapranata. SJ. mulai menerbitkan majalah Swaratama . Gereja ini juga menjadi tempat lahir dan berkembangnya majalah Praba serta majalah Semangat. Sebuah stasiun radio juga pernah berdiri di kompleks gereja ini. Radio tersebut dinamakan Radio Bikima, singkatan dari Bintaran Kidul Nomer Lima. Memang alamat Gereja Santo Yusup Bintaran beralamatkan di Jl. Bintaran Kidul 5 Yogyakarta.

Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta (2)

Di paroki ini pula pada masa lalu pernah dilaksanakan pentahbisan imam. Di gereja ini pula tokoh-tokoh besar pernah bertumbuh, berkembang, dan berkiprah. Tokoh-tokoh besar itu di antaranya adalah Rama YB. Mangunwijaya, Pr. dan Rama J.O.H. Padmoseputro, Pr. Rana Padmoseputro, Pr. di masa lalu pernah menduduki jabatan sebagai anggota MPR. Mungkin dialah satu-satunya pastur yang pernah menjabat sebagai anggota MPR.

Kursus persiapan perkawinan pun dirintis pertama kali di gereja ini. Hal itu terjadi tahun 1980-an. Di gereja ini pula pernah berdiri dan beraktivitas Komisi Komunikasi Sosoal Keuskupan Agung Semarang (Komsos). Komsos ini berdiri sejak 1977-2009 dan setelahnya kantornya dipindahkan di kompeks Gereja Pringwulung.

Di gereja ini pula lahir dan berkembang Katholieke Wandowo, Pusoro Katholieke Wandowo, Mudho Katholik, Mudo Wanita Katholik, dan Ruktiwuri/Pangruktiloyo. Pada tahun 1937 organisasi wanita Katolik mengadakan aneka macam kursus keterampilan untuk kaum wanita, di antaranya menyulam, menjahit, merangkai bunga, dan sebagainya.

Pada tahun 1949 di tempat ini terselenggara KUKSI (Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia) serta Konggres Partai Katolik. Mgr. Al. Soegijapranata, SJ. sesudah ditahbiskan menjadi Uskup Semarang sempat mampir di Bintaran dan mendorong gerakan-gerakan kemasyarakatan yang telah mulai tumbuh dan berkembang. Saat itu pula Ir. Soekarno menyempatkan diri berkunjung ke Paroki Bintaran untuk mengadakan pertemuan dengan Rama Soegijapranata. Kedua tokoh ini pula yang merintis berdirinya gerakan Tani/Buruh Pancasila yang markas besarnya juga ada di Bintaran.

Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta (2)

KUKSI sendiri mencetuskan kebulatan tekad seluruh umat Katolik di Indonesia untuk hanya mendirikan satu partai Katolik saja. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu memang ada banyak partai yang mengusung kekatolikan. Ada pun nama-nama partai Katolik waktu itu di antaranya adalah Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) yang didirikan di Surakarta tahun 1945. Ada lagi Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI-Flores), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI-Makasar), Partai Katolik Indonesia Timur (Parkit-Timor), Persatuan Politik Katolik Flores (Perpokaf), Permusyawaratan Majelis Katolik (Pemakat-Menado), dan Partai Katolik Kalimantan.

Kebulatan tekad untuk mewujudkan atau meleburkan nama-nama partai menjadi satu nama partai, yakni Partai Katolik itu lahir pada KUKSI I yang diselenggarakan di Aula Gereja Santo Yusup Bintaran. KUKSI itu sendiri dilaksanakan mulai tanggal 7-12 Desember 1949. KUKSI yang pertama ini diprakarsai oleh I.J. Kasimo yang baru saja ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Perlu diketahui pula bahwa Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI I ) ini juga dihadiri oleh Presiden RI, Ir. Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Sri Paku Alam VIII, para menteri, para pimpinan gereja di Indonesia, umat Katolik, dan Uskup Agung Mgr. Al. Soegijapranata, SJ.

Aula Paroki Bintaran juga pernah menjadi tempat transit transmigran menuju tanah transmigrasi di Lampung. Umat sendiri pernah berhasil menghimpun transmirgan yang akan berangkat ke lampung di aula Paroki Bintaran. Aula di tempat ini juga menjadi saksi berkembangnya Maria Congregatie (MC) yang pada tahun 1954 diperingati usianya yang ke-100. Kegiatan-kegiatan sosial ekonomi untuk para ibu yang diprakarsai oleh BUWK (Badan Usaha Wanita Katolik) serta kegiatan Werdatama juga diadakan di Gereja Bintaran ini.Pada masa pergolakan tahun 1965 Paroki Bintaran juga dijadikan markas Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKI)sekaligus juga markas Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI).

Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta (2)

Di paroki ini pula tahun 1974 berkembang perkumpulan yang dinamakan Elisabeth dan Wara Semedi. Sebagian aula di paroki ini juga pernah digunakan sebagai perpustakaan. Tahun 1975 mulai dari tempat ini juga dicanangkan kursus perkawinan atau pembinaan persiapan keluarha yang di seluruh DIY dan prakarsai oleh Rama Al. Budyapranata, Pr.

Saat gereja atau paroki ini dipimpin oleh Rama Blasius Pujaraharjo, Pr ia memberikan gagasan untuk mendirikan gereja baru di sebelah timur Sungai Gajahwong. Hal ini terjadi tahun 1977. Hal ini ditindaklanjuti rama penggantinya, Rama Laurentius Wiryadarmaja, Pr. yang kala itu menjabat sebagai Vikep DIY. Dengan doa Novena dan penggalan dana dari dua Kring, yakni Kotagede dan Kring Matias, terbentuklah Panitia Pembangunan Gereja Stasi Pringgolayan. Hal itu terjadi tanggal 10 Agustus 1980. Peletakan batu perrtama pun dilakukan tanggal 10 November 1981. Akhirnya “putra sulung” Paroki Santo Yusup Bintaran yang bernama Stasi Santo Paulus Pringgolayan berhasil diresmikan.

a.sartono

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta