Membaca Geguritan Di Sastra Bulan Purnama

Membaca Geguritan Di Sastra Bulan Purnama

Ruang Amphy Theater Tembi Rumah Budaya, pada Sastra Bulan Purnama edisi 13, dipenuhi hadirin. Selain ruang duduk yang ada ditengah, di kiri kanan tersedia kursi, dan hadirin menikmati geguritan yang dibacakan oleh para penggurit. Di lantai bawah digelar tikar, karena ada hadirin yang tidak mendapat tempat duduk. Bulan bundar mewarnai dan terlihat indah di atas menggapai langit. Sastra Bulan Purnama Senin (1/10) lalu menampilkan 16 penggurit, satu orang dari Ponorogo dan satu orang dari Bojonegoro. Selain itu ada pertunjukkan musik Fombi yang menggarap satu geguritan, yang berjudul ‘Gurit Kanggo Anakku’ dan penampilan Keitza bersama Fombi menggarap dua puisi karya Sapardi Djoko Damano dan Landung Simatupang.

Para penggurit dalam membaca karyanya, tampil dengan gaya masing-masing. Ada yang mulai membaca dari tengah penonton seperti dilakukan Angger Sukisno, dan dengan ekspresi yang lincah. Angger seperti sadar akan panggung sehingga dia perlu mengisinya dengan akting, seolah seperti sedang melakukan dramatisasi puisi. Dari atas panggung pula, bahkan dipojok panggung, ketika namanya dipanggil untuk tampil membaca, Siyamta, sudah mulai membacakan geguritannya yang berjudul ‘Donganing Maling’.

Membaca Geguritan Di Sastra Bulan Purnama

Ary Nurdiana, seorang penggurit dari Ponorogo, membacakan karya guritannya dengan penuh ekspresif. Ary seperti menjiawai betul atas karya-karya geguritannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh penggurit yang lain seperti Bambang Nugroho, Agus Suprihono, Eko Nuryono, Budhi Wiryawan, Bardikari Jatmiko, Betara Kawhie, Krishna Miharjo, Sri Yuliati, Tedi Kusyairi. Bahkan Arieyoko seringkali menyuarakan suara kucing untuk menunjukkan kata kucing pada karya geguritannya. Pertunjukan diakhri dengan penampilan Anthon YS. Taufan Putra yang membacakan tiga geguritan karyanya.

Seorang penggurit lainnya, yang mencapur antara bahasa Jawa dan bahasa Cina dalam karya geguritannya, Koh Hwat namanya, dan mempunyai nama Jawa Handojo Wibowo, membacakan geguritan karyanya dengan logat campuran Jawa dan Cina. Penampilan Koh Hwat ditutup dengan menembangkan satu karya geguritannya yang dibawakan oleh Jujuk.

Joko Budhiarto, seorang penggurit dan sehari-harinya sebagai salah satu Redaktur Pelaksana “KR’ membawakan karya geguritannya dengan mengajak dua sinden dan diiringi dengan gender. Saling berganti, antara tembang dari sinden, suara gender yang ditabuh dan Joko Budhiarto membaca geguritan, seolah Joko sedang menghidupkan suasana Sastra Bulan Purnama.

Membaca Geguritan Di Sastra Bulan Purnama

Selama ini, yang sering kita dengar, puisi digarap dengan musik dan lazim disebut sebagai musikalisasi puisi. Tetapi, Fombi, forum musik Tembi, mencoba hadir secara lain karena Fombi menggarap geguritan menjadi lagu. Secara teknis mungkin sama, namun penggarapan geguritan menjadi lagu, bukan tembang Jawa, agaknya merupakan ‘sesuatu’ yang lain, dan itu dilakukan oleh Fombi.

Dan untuk memberi suasana lain, penampilan Keitza bersama Fombi, yang menggarap puisi karya Sapardi Djoko Damano dan puisi karya Landung Simatupang, rasanya seperti ‘menghidupkan’ geguritan dibawah sinar bulan purnama.

Puisi atau geguritan, yang dipenuhi oleh kata, memangg tidak hanya dibacakan, tetapi ia bisa dilagukan dan ditembangkan. Atau juga bisa didramatisasikan, setidaknya hal disebut terakhir ini pernah dipentaskan pada acara Sastra Bulan Purnama edisi pertama, dengan menggarap satu puisi karya WS. Rendra.

Tetapi, pada Sastra Bulan Purnama edisi 13, selain membacakan geguritan oleh para pengguritnya sendiri. Geguritan dan puisi lainnya ditafsirkan melalui musik dan tembang. Dalam kata lain, geguritan atau puisi terbuka atas penafsiran lain.

Membaca Geguritan Di Sastra Bulan Purnama

Dan dengan geguirtan karya 16 penggurit, di Sastra Bulan Purnama, seolah kita seperti diajak ‘kembali ke Jawa masa laloe’ yang mengisi bulan purnama dengan berbagai kegiatan. Pada kali ini, di bawah sinar bulan purnama, kita mendengarkan geguritan dibaca.

Ons Untoro
Foto-foto Sartono


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta