Tembi

Berita-budaya»SESAK LAUTAN MANUSIA MENYAMBUT KIRAB PAWIWAHAN AGUNG KERATON YOGYAKARTA

29 Oct 2011 04:22:00

SESAK LAUTAN MANUSIA MENYAMBUT KIRAB PAWIWAHAN AGUNG KERATON YOGYAKARTATidak ada kata lain kecuali “luar biasa” ketika kita menyaksikan kirab Pawiwahan Ageng Keraton Yogyakarta di kawasan Alun-alun Lor hingga Kepatihan Danurejan, Yogyakarta Selasa, 18 Oktober 2011. Masyarakat seakan tpleg bleg di poros jalan tersebut. Nyaris tidak ada ruang yang dapat digunakan untuk bergerak bebas di sepanjang poros yang digunakan untuk kirab itu. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berdatangan ke lokasi sejak jam 12.00 WIB. Padahal kirab itu sendiri dilaksanakan sekitar pukul 16.00 WIB. Banyak anggota masyarakat telah menempatkan dirinya pada jam-jam 12.00 siang bolong di bawah siraman sinar terik matahari.

”Takut tidak kebagian tempat Mas.” Demikian tutur salah seorang ibu yang sejak jam 11.30-an telah duduk-duduk di trotoar Jalan Malioboro karena ingin menyaksikan prosesi Pawiwahan Ageng tersebut.

Apa yang dikatakan ibu tersebut memang cukup beralasan. Pasalnya, sejak jam 14.00 WIB ruas jalan sepanjang Malioboro hingga Alun-alun Lor telah penuh dengan orang. Ruas jalan yang biasanya lega itu mendadak menjadi sesak. Sejauh mata memandang hanya sosok orang berjubal yang bisa dilihat. Bahkan banyak karyawan toko yang nongkrong di balkon atau jendela-jendela lantai atas dari toko tempatnSESAK LAUTAN MANUSIA MENYAMBUT KIRAB PAWIWAHAN AGUNG KERATON YOGYAKARTAya bekerja.

Sebelumnya telah dipasang pula puluhan penjor di kiri kanan Jalan Malioboro-titik nol kilometer (depan Gedung Agung). Pemasangan penjor ini merupakan persembahan masyarakat Yogyakarta bagi Keraton Yogyakarta. Kecuali itu disediakan pula 150 angkringan gratis pada saat Kirab Pawiwahan Agung itu dilakukan. Dengan demikian, siapa pun boleh makan makanan yang disajikan oleh semua angkringan itu dengan cuma-cuma. Seperti diketahui, angkringan hampir selalu menyediakan makanan berupa nasi kucing, baceman tempe-tahu, gorengan tahu-tempe, ceker, krupuk, timus, dan makanan kecil lain. Semua boleh diambil gratis, termasuk minuman teh, jahe, kopi, atau susu.

SelaiSESAK LAUTAN MANUSIA MENYAMBUT KIRAB PAWIWAHAN AGUNG KERATON YOGYAKARTAn itu Kirab Agung Pengantin Keraton Yogyakarta ini juga dimeriahkan berbagai kesenian tidak saja dari Yogyakarta, namun juga dari Magelang, Timor, Lampung, Surakarta, dan sebagainya. Semua jenis kesenian tersebut merupakan sumbangan dari masyarakat. Semua jenis kesenian ini ditampilkan mengawali perarakan pengantin. Di Kepatihan sebagai lokasi resepsi pun kedua mempelai disuguhi dua buah jenis tarian, yakni Beksan Lawung Ageng dan Beksan Manten.

Pernikahan putri bungsu Sultan Hamengku Buwana X yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendara, BA (Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni) dengan Kanjeng Pangeran Harya Yudanegara, SE. Msi. (Ahmad Ubaidillah) ini bagi rakyat Yogyakarta menjadi peristiwa yang penting karena sudah sejak lama tradisi Kirab Agung pengantin dari Kerajaan Kasultanan Yogyakarta ini tidak pernah dilaksanakan atau dipertontSESAK LAUTAN MANUSIA MENYAMBUT KIRAB PAWIWAHAN AGUNG KERATON YOGYAKARTAonkan kepada masyarakat luas. Kirab Agung ini menjadi semacam pengenangan kembali kagungan keraton di masa lalu.

Pengantin diarak dengan menggunakan kereta kuda yang dinamakan Kyai Jongwiyat. Perarakan juga dikawal dua bregada (kesatuan) prajurit, yakni Prajurit Wirobrojo dan Prajurit Ketanggung (?). Tak urung kirab pengantin ini menjadi magnet bagi dunia wisata Yogyakarta. Tidak bisa dipungkiri Keraton Yogyakarta tetap menjadi kiblat adat-istiadat masyarakat Jawa Yogyakarta. Kehadirannya memberikan nuansa keagungan. Kirab ini juga menampakkan aura Yogyakarta baik di masa lalu.

Melintasnya kedua mempelai yang terus menebar senyum manis serta lambaian tangan bagi masyarakat yang antusias menSESAK LAUTAN MANUSIA MENYAMBUT KIRAB PAWIWAHAN AGUNG KERATON YOGYAKARTAyambutnya menyebabkan desakan lautan manusia nyaris tak tertahankan. Peluh berleleran tidak digubris lagi. Tak ada ruang untuk bergerak. Tembi pun hanya bisa membidik dengan satu tangan karena tangan yang satunya mesti mengamankan tas yang menjadi semakin kucel karena terus digencet ribuan orang.

Ketika kirab usai lautan manusia ini berebut mencari jalan pulang. Semua berebut ruang. Beberapa tidak tahan dan pingsan. Tembi terpaksa ikut arus gelombang gerak lautan manusia. Akhirnya Tembi bisa menepi dan jongkok di emper toko sementara gelombang lautan manusia terus bergerak-saling desak dalam sesak dan sesak.

Kirab pengantin dari Keraton Yogyakarta ini memang telah menjadi bukti betapa masyarakat ingin tahu, lebih kenal dan mengerti tentang kekayaan adat-istiadat atau budaya Keraton Yogyakarta. Budaya Yogyakarta itu sendiri. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin mereka rela berpanas-panas ria dan berdesak-desak hingga napas benar-benar sesak.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta