Sekolah Tetap yang Utama

Jumadi berhenti pada sebuah pohon rindang di tepi jalan Gandaria, Jakarta Selatan. Ia meletakkan pikulan dan menurunkan kenong serta tabuhan. Seorang anak lelakinya yang berumur kira-kira usia 16 tahunan dengan sigap segera mengambil posisi dan memainkan musik tradisional yang terdiri dari dua buah kenong, sebuah gong dan sebuah gendang. Jumadi mengambil pecut, ia mengucapkan salam kepada orang-orang yang tampak mulai memperhatikannya dari seberang jalan. Jumadi seperti tidak peduli dengan kendaraan yang lalu-lalang di jalan itu. Dikibaskan pecut yang panjangnya kira-kira 3 meter ke badan jalan, suaranya keras meski lalu-lintas di jalan itu cukup ramai.

Seorang anak perempuannya yang berumur kira-kira 9 tahun segera menghampiri Jumadi. Dengan sigap Jumadi mengambil selembar kain putih berwarna kumal yang sudah disiapkan lalu membungkus anak seperti dipocong. Seutas tali diikatkan oleh Jumadi membelit mulai dari leher sampai ke pergelangan kaki. Ikatannya terlihat cukup kencang. Kemudian Jumadi memeluknya dan seperti membisikan sesuatu ke anak itu, tak lama kemudian anak itu terkulai dalam pelukan Jumadi. Dengan gagah Jumadi membopong anak itu dan dimasukan ke dalam kain hitam yang sudah disiapkan membentuk seperti tenda di pikulan.

Kini gantian Jumadi memainkan kenong serta gong sambil mulutnya berteriak-teriak seperti memberi semangat pada anak lelakinya yang akan beratraksi. Anak itu sudah memegang tiga buah batang kawat yang ujungnya dibebat dengan kain yang sudah tampak hitam gosong. Lalu ia menyelupkan ke dalam minyak tanah di sebuah kaleng rombeng dan menyalakan ketiga batang kawat itu dinyalakan. Tangannya mengambi kaleng rombeng tadi dan diarahkan ke mulutnya. Mulutnya terlihat menyimpan minyak, api didekatkan ke mulut lalu disemburkan minyak yang tersimpan di dalam mulutnya. Api menyembur tinggi ke arah jalan raya.

Belum selesai atraksi api, anak perempuan yang tadi terikat tiba-tiba sudah keluar dari balik kain hitam dengan pakaian yang sama ketika sebelum dipocong. Istri Jumadi tampak masih berkeliling menghampiri orang-orang di sekitar jalan sambil mengajukan sebuah baskom berukuran sedang berharap ada uang yang diberikan oleh mereka tanpa peduli apakah mereka menonton atau tidak. Kalaupun menonton, mungkin tidak ada gunanya si ibu itu tahu apakah mereka terhibur atau tidak, toh ia tidak memaksa untuk diberikan uang. Saya lihat mungkin sekitar duapuluh ribuan rupiah berhasil ia dapatkan dari sekali tarikan dalam pertunjukkan yang tidak lebih dari 15 menit tanpa atraksi kuda lumping.

Jumadi, asal Surabaya sudah menjalani profesi sebagai seniman Jaran Kepang atau Kuda Lumping yang ilmunya ia dapatkan secara turun temurun sejak ia masih bujangan di tahun 1973. Kini dengan kelima anaknya Jumadi setiap hari berkeliling dari mulai jam 12.30 sampai menjelang maghrib. Ketika saya tanya mengapa tidak mulai lebih pagi, sebuah jawaban singkat membuat saya terkesima,Saya mulai keliling setelah anak-anak pulang sekolah,mas, kemudian sedikit cuek ia berjalan diikuti istri yang menggendong anak perempuan yang masih berumur kira-kira 2 tahun beserta anak-anak lainnya.

Saya terkesima bukan karena dicuekin tapi karena jawaban lugas seorang Jumadi yang terlihat sangat mantap bahwa semua itu ia lakukan DEMI PENDIDIKAN. Alasan yang mematahkan pikiran picik saya yang selalu meratakan motif bekerja bagi orang kecil selalu hanya untuk makan!!

Sekolah memang sudah jadi sebuah keharusan. Apapun dilakukan demi sekolah. Harapan agar hidup anak-anaknya menjadi lebih baik bisa dipastikan telah tertanam dan tumbuh dalam pikiran seorang seniman jalanan seperti Jumadi. Tanpa perlu memahami teori, Ia menanamkan pentingnya nilai pendidikan yang ia biayai dengan aktifitas ekonominya sebagai seniman jalanan.