Saras Dewi Menyingkap Ayu Utami Melalui "Eks Parasit Lajang"

Setelah mengukuhkan diri sebagai perempuan yang tidak akan menikah, novelis Ayu Utami seakan mengumumkan bahwa ia tak lagi lajang karena akhirnya ia menikah. Sebuah novel berjudul Pengakuan : Eks Parasit Lajang adalah otobiografi seksualitas dan spiritualitas seorang Ayu Utami.

Diskusi Novel Eks Parasit Lajang Ayu Utami, di Salihara, foto: Natalia S
Saras Dewi

Novel Trilogi karya Ayu Utami sudah diluncurkan. Buku pertama adalah ‘Si Parasit Lajang’ bercerita tentang seorang perempuan muda yang memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut dirinya parasit lajang, istilah yang awalnya dilontarkan feminis Jepang. Buku keduanya berjudul ‘Cerita Cinta Enrico’, kisah cinta dalam bentangan sejarah Indonesia sejak era pemberontakan daerah hingga reformasi.

Buku ketiga ‘Eks Parasit Lajang’, berupa otobiografi seksualitas dan spiritualitas tokoh A, seorang perempuan yang memutuskan untuk melepas keperawanannya di usia 20 tahun, untuk sekaligus menghapus konsep keperawanan yang baginya tak adil. Bertempat di galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Selasa, 12 Februari 2013, ‘Eks Parasit Lajang’ diulas bersama Saras Dewi, penyanyi sekaligus pengajar filsafat di Universitas Indonesia.

Sejak tahun 1999, Saras Dewi mengaku sudah membaca karya-karya Ayu Utami. ‘Saman’ adalah novel pertama yang dibaca Saras. Sampai akhirnya masuk kuliah, Saras memilih ‘Saman’ sebagai bahan studinya, “Saya terima kasih sama mba Ayu karena kontribusinya yang sangat luar biasa, bicara dengan gamblang tentang tubuh, dan karyanya tidak sekadar karya sastra tapi sebuah gerakan,” paparnya saat ditemui Tembi.

Malam itu, Saras mencoba membaca ‘Eks Parasit Lajang’ lewat pandangannya sebagai dosen Filsafat. Di bagian pertama novel, kita seperti diajak masuk ke dalam pikiran seorang gadis berusia 20 tahun yang senang berpetualang. Di sini digambarkan perempuan yang mencari rasa aman dari seorang lelaki.

“Di bagian awal ini juga Ayu Utami membongkar mitos, seperti tokoh A mengatakan‘ lalu perempuan-perempuan itu siap dikirim sebagai produk konsumsi lelaki. Jika segelnya rusak berhak diganti’. Jadi keperawanan itu seperti barang ya,” kata Saras sambil tertawa.

Sementara perempuan disuruh menjaga keperawanan sampai menikah, disuruh menutup aurat, dan masyarakat berhak menilai baik atau tidaknya perempuan. Agama pun sepertinya tidak ramah terhadap perempuan dengan aturan-aturannya, sebaliknya sangat ramah kepada laki-laki. “Menurut saya kisah ini bicara revolusi perempuan yang disampaikan dengan humoris, tapi bicara advokasi yang sangat tajam juga tentang perempuan,” tutur dosen UI tersebut.

Diskusi Novel Eks Parasit Lajang Ayu Utami, di Salihara, foto: Natalia S
Peserta diskusi memenuhi semua kursi yang tersedia di Galeri Salihara

Yang menarik lagi dari bagian novel ini adalah pembahasan seks yang jenaka dan ringan, namun tetap ada keseriusan dan kritik. “Ada bagian pada saat tokoh A yang sangat tahu bagaimana mencapai kenikmatan. Atau tentang tokoh A yang ingin tahu rasanya melakukan hubungan di mobil yang berjalan. Aku sampai berpikir gimana bisa ya,” papar Saras sambil tertawa.

Di bagian kedua, kita dibawa ke masa kecil tokoh A, dimana Ayu menggambarkan ada sebuah taman yang sangat indah di kota hujan. Dan bagaimana tokoh A yang masih berusia 10 tahun sudah menanyakan keadilan. Bagaimana bisa di dunia ada wanita cantik dan ada yang tidak cantik, atau ada anak pintar namun ada yang tidak pintar. Di bagian ketiga, Tokoh A mulai membuka diri dengan gagasan-gagasan baru. “Kita melihat pergulatan tokoh A sampai pada bagian spiritualitas tingkat tinggi. Menurutku kita membaca karya Ayu Utami kayak science fiction,” kata Saras lagi.

Dan di akhir cerita, Saras mengatakan sampai menangis membaca kisah cinta yang tidak biasa, seperti pangeran bertemu dengan putri dan berakhir bahagia. Di sini ia menemukan kisah cinta mengharukan, tidak ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangi, semuanya sangat real.

Lewat novel ketiga dari karya triloginya Ayu mengejewantahkan kehidupan tokoh A, sejak kecil, sampai tumbuh dewasa dan hidup dengan aturannya sendiri. Akhirnya memang tokoh A memilih untuk menikah setelah ia berdebat dengan dirinya sendiri mengenai apa itu pernikahan.

Entah tokoh A adalah Ayu Utami atau bukan. Tapi memang ya Ayu yang pernah berbicara teguh tidak akan menikah, dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Ayu memang sudah menikah tapi sebenarnya tidak ada yang berubah dari dirinya, katanya.

Namun yang penting dari karya-karya Ayu bukan ia masih lajang atau tidak. “Kalau kita melihat 15 tahun setelah reformasi, diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi, begitu juga kelompok gay dan lesbian, jadi karya Ayu ini masih sangat relevan,” papar dosen filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut.

Natalia S



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta