Pameran Arsip 25 Tahun Rumah Seni Cemeti Yogyakarta

“Kekuatan pasar adalah mercusuar kesejahteraan para seniman, namun kapitalisme pasar juga mengandung tuntutan-tuntutan oligopolistik. Jika demikian, apakah masih tersedia ruang yang memadai guna pengembangan hak-hak artistik yang demokratis?”

Pameran Arsip 25 Tahun Cemeti, Foto: Ons Untoro
Poster-poster pameran Cemeti’

Ketika tidak banyak ruang pamer di Yogyakarta, kehadiran Rumah Seni Cemeti pada tahun 1988 di Jalan Ngadisuryan, memberi ruang pada karya seni rupa kontemporer. Hampir setiap bulan selalu ada pameran di Rumah Seni Cemeti, yang tak lain adalah rumah tinggal Nindyo dan Mela Jarsma, pemilik Rumah Seni Cemeti.

Seolah belum lama berlalu, setelah sejak didirkan tahun 1988 di Jalan Ngadisuryan dan kemudian pindah di jalan DI. Panjaitan, Rumah Seni Cemeti sudah genap 25 tahun, dan tidak pernah ‘lari’ dari konsentrasinya, yakni seni rupa kontemporer. Sejumlah perupa kontomporer yang dikenal luas sudah pernah pameran di Rumah Seni Cemeti ketika masih di Jalan Ngadisuryan, untuk menyebut beberapa seperti FX. Harsono, Eddie Hara, Heri Dono dan lainnya.

Dalam memperingati 25 tahun Cemeti menyelenggarakan pameran arsip Cemeti selama 25 tahun berkiprah. Tema pameran ‘Realities: Cemeti Archived’ dan diselenggarakan di Rumah Seni Cemeti Jalan DI Panjaian, 41 Yogyakarta. Pembukaan pameran dilakukan Jumat malam 15 Februari 2013.

Ada banyak arsip yang dipamerkan, baik berupa poster, karya video, berita media cetak, buku-buku. Dari pameran ini, kita bisa melihat, misalnya poster pameran Eddie Hara di Cemeti tanggal 1-30 Mei 1988, atau poster pameran Heri Dono tanggal 1-30 Desember 1989 dan sejumlah poster pameran karya perupa lainnya.

Dalam teks yang dibagikan pada publik, secara jelas dituliskan menyangkut antara karya seni rupa dan pasar. Bagi Cemeti, dalam hal ini Nindiyo dan Mela Jarsma, kebebasan ekonomi dan kebebasan berekspresi merupakan dua ruang eksplorasi yang sama sekali terpisah di dalam kehidupan sosial budaya, namun keduanya kadangkala berjalan berdampingan, bahkan dipertautkan secara tidak tepat dalam hubungan sebab akibat. Jelas bahwa keanekaragaman ekspresi artistik tidak selalu tumbuh subur di setiap keadaan masyarakatnya, termasuk dalam masyarakat yang diasumsikan telah terbebaskan secara ekonomi.

Pameran Arsip 25 Tahun Cemeti dihadiri beragam kalangan, Foto: Ons Untoro
Dua orang warga negara asing memerhatikan poster yang dipajang

“Kekuatan pasar adalah mercusuar kesejahteraan para seniman, namun kapitalisme pasar juga mengandung tuntutan-tuntutan oligopolistik. Jika demikian, apakah masih tersedia ruang yang memadai guna pengembangan hak-hak artistik yang demokratis?” tulisnya dalam teks yang dibagikan.

Bagi Nindyo dan Mela Jarsma, momen 25 tahun Cemeti menandai waktu untuk refleksi yang akan menimbulkan pertanyaan penting mengenai kondisi seni kontemporer di Indonesia, yang pada saat ini sedang mengalami pasang surut dalam aliran wacana. Pada saat yang sama, ini adalah titik balik yang menandai awal refleksi dari kerja keras yang perlu dilakukan untuk mengarahkan energi kita dan mengidentifikasi isu-isu penting yang menjadi fokus pada beberapa program terpilih dalam sepanjang tahun 2013 di Turning Targets –25 years of Cemeti.

Pada pameran 25 tahun Cemeti ini, kita bisa melihat sejumlah poster dipajang di dinding. Berbagai macam informasi dan tahun pameran serta pola disain poster yang berbeda-beda, bisa kita lihat. Selain itu, di meja tersedia dokumen berupa buku dan teks-teks lain. Kita bisa melihat sambil membaca informasi yang tertulis dari buku dan teks. Di dinding pula dipasang video instalasi, sehingga kita bisa melihat dokumentasi visual.

Semua dokumen tersebut merupakan sejarah yang telah diproduksi oleh Cemeti, dan bukan hanya untuk mengingat masa lalu, tetapi sekaligus untuk menapak masa depan.

Dalam video dokumentasi, kita bisa melihat tulisan R. Fajri, wartawan Tempo, di majalah Tempo edisi 3 November 1998. Fajri, yang mengamati tayangan tulisan itu berdiri didekat Tembi. Net sambil bergurau berkomentar, “Wah, malah sudah lupa saya pada tulisan itu.”

Pendek kata, pameran arsip 25 tahun Cemeti, bisa kita lihat aktivitas Cemeti tidak pernah berhenti, dari sejak era negara represif sampai negara yang penuh carut marut. Dalam situasi seperti itu, Cemeti selalu hadir dengan seni kontemporer.

Dokumen lain, seperti buku dan catalog juga dipamerkan di 25 Tahun Cemeti, Foto: Ons Untoro
Hadirin melihat-lihat dokumen yang dipamerkan

Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta