Salamat Po Kata Ria Papermoon

Kisah perjalanan bisa diceritakan tanpa perlu ditulis, melainkan disajikan dalam bentuk visual berupa seniinstalasi. Begitulah yang dilakukan Ria Papermoon dan Iwan Effendi dengan menghadirkan tajuk ‘Salamat Po’.

Ria Papaermoon dan Iwan Effendi memamerkan karyanya di Sangkring Art Project, foto: Ons Untoro
FX.Harsono, perupa,
sedang mengamati salah satu karya yang dipamerkan

Kisah perjalanan bisa diceritakan tanpa perlu ditulis, melainkan disajikan dalam bentuk visual berupa seniinstalasi. Begitulah yang dilakukan Ria Papermoon dan Iwan Effendi dengan menghadirkan tajuk ‘Salamat Po’, Senin, 21 Oktober 2013 di Sangkring Art Project, Nitiprayan Rt 1. Rw 20, Ngesiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Ria dan Iwan selama satu bulan menjalani residensi di Filipina. Maka, tajuk pameran mengambil bahasa sana, yang artinya terimakasih banyak: Salamat Po. Hasil dari residensi itu dikisahkan melalui pameran.

Betapa Ria dan Iwan merasa ‘terkejut’ melihat negeri Katolik. Karena pengalaman hidupnya selama ini di Indonesia bukan agama itu yang dominan. Ria dan Iwan, suami istri seniman, melihat praktek hidup ritual Katolik warga Filipina, seperti ‘menemukan ruang religi’ di mana orang-orang menjalankan ritual.

Rumah sederhana, yang tak lebih dari bangunan kumuh, dalam karyanya diberi judul ‘M.H. de Piller’ menyajikan kisah bagaimana praktek beragama itu dijalankan.

Bangunan rumah, atau sebut saja gubuk, yang terbuat dari seng-seng bekas dan ditambal-tambal, yang di dalamnya ada simbol-simbol agama Katolik, dan ada tempat bersimpuh untuk berdoa. Ruang komunikasi vertikal. Komunikasi dengan sesuatu yang lebih tinggi, disajikan oleh Ria Papermoon dan Iwan Effendi dalam bentuk ruang yang sangat sederhana, dan khas bangunan, sebut saja: kumuh di Manila.

Boneka-boneka dalam pigura dan latar belakang peta, foto: Ons Untoro
Koniherawati, perupa, sedang memotret karya yang dipamerkan

Atau juga, satu karya yang menyajikan sebuah kursi (goyang), yang dipakai sebagai rangka dari kepala boneka, sehingga boneka terlihat memiliki tubuh, dan rasanya tubuh yang renta.

Di sudut yang lain Ria menyajikan bermacam barang, termasuk kunci-kunci, yang ditata secara rapi, sehingga mempertlihatkan keindahan komposisi. Ria tidak sekadar menempelkan barang-barang itu, tetapi mengatur dan ‘mengolahnya’ menjadi karya rupa, atau karya instalasi.

Semua karya yang dipamerkanrasanya adalah dongeng, atau kisah cerita. Keduanya menceritakan pengalaman residensi di Filipina, dan boneka-boneka, sebabagaimana selama ini Ria mementaskan boneka, sebagai media untuk mendongeng.

Bahan dongeng bisa diambil dari sejumlah kisah, termasuk pengalaman, tetapi boneka tak ditinggalkan. Justru dari boneka cerita itu ‘dimulai’ dan juga ‘berakhir’. Pameran karya Ria dan Iwan, merupakan bentuk lain dari dongeng, yang tidak dilisankan, tetapi justru dilisankan oleh publik penontonnya.

Dengan demikian, pendongeng bukan lagi (atau tidak hanya) Ria dan Iwan, melainkan orang lain atau publik penonton bisa menjadi pendongeng sekaligus pendengar. Ria dan Iwan bisa mengambil posisi sebagai pendengar, sekaligus, sesekali, ikut menjelaskan boneka-boneka yang dia ciptakan.

Jadi, secara tidak langsung, pameran yang mengambil tajuk ‘Salamat Po’ melahirkan banyak ‘pendongeng’. Maka, Ria dan Iwan akhirnya mengucapkan terimakasih banyak, yang dalam bahasa Filipina Salamat Po.

Karya Ria Papermoon setelah menjalani residensi ke Filipina, foto: Ons Untoro
Pengunjung mengamati karya yang dipamerkan

Naskah & foto:Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta