Tembi

Berita-budaya»PASAR ILANG KUMANDHANGE

24 Sep 2011 08:04:00

PASAR ILANG KUMANDHANGEKini kita mengenal pasar modern, yang sistemnya berbeda dari pasar tradisional. Pada pasar modern, tidak ada transaksi antara pembeli dan penjual. Bahkan, dalam pasar modern, penjual atau pemilik tidak berhubungan langsung dengan pembeli. Yang ditemui di pasar modern hanyalah barang-barang dan pelayan atau yang sekarang dikenal dengan istil SPG (sales promosion gils). Konsumen mengambail barang yang diperlukan dan SPG melayaninya di kasir. Tak ada transaksi. Harga sudah tertera, tak bisa ditawar.

Merespon sistem pasar modern dalam bentuk mall, supermarket atau mini market yang merebak di kota-kota di Indonesia, Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran dengan mengusung tema ‘Pasar Ilang Kumandhange’. Sejumlah 26 perupa merespon tema tersebut melaui karya. Tentu saja, setiapPASAR ILANG KUMANDHANGEperupa memiliki respon yang berbeda-beda dan pilihan visualnya juga berlainan. Kebanyakan memang menggunakan kanvas untuk meresponnya, tetapi ada juga yang membuat instalasi, meski tidak langsung menunjuk pada pasar tradisional, tetapi dari pilihan simbol yang diamabil, orang segera tahu, bahwa karya yan diciptakan mengambil sikap kritis terhadap pasar modern. Misalnya, karya Kik Wahyu Peshang yang diberi judul ‘Doa-doa Kematian’ menggunakan bahan daun pisang yang dibentuk menyerupai gunung, atau berupa bangunan yang di tubuhnya, terbuat dari daun pisang, diberi cap telapak tangan warna merah. Wahyu seperti hendak berucap, daun pisang tidak lagi dikenali di pasar modern. Sudah digantikan oleh palstik dan kertas.

Ada juga pasar politik yang memperburuk ‘kumandang’ (gema), yang diwujudkan dalam visual bangunan gedung DPR terbuat dari not balok. Karya Yayat Surya ini berjudul “Simfoni #560”. Angka 560 kiranya menunjuk jumlah anggota DPR, yangPASAR ILANG KUMANDHANGEcelakanya ‘iramanya’, hampir-hampir tidak memberi harapan pada rakyat yang diwakilinya. Gedung DPR versi Yayat Surya ini tak ubahnya seperti pasar tradisional yang penuh transaksi, tetapi ‘kumandang’nya tidak membuat rakyat yang diwakili sejahtera. Karya Yayat Surya ini memberikan pesan kontradiksi antara bangunan gedung yang modern, tetapi sistem didalamnya menyerupai pasar tradisional: penuh transaksional.

Pameran seni rupa “Pasar Ilang Kumandhange” untuk memperingati 29 tahun Bentara Budaya Yogyakarta, tidak hanya merespon soal ekonomi, tetapi juga merespon persoalan politik. Karena ‘kumandhang’ politik yang bertanggung jawab pada masa depan bangsa tidak lagi terdengar. Karena itu ‘pasar politik’ telah kehilangan ‘kumandhang’. Memang, sebagian besar perupa memahami pasar sebagai lembaga pertukaran ekonomi, dan mendikotomikan antara pasar tradisional dan pasar modern. Dua jenis pasar tersebut memiliki perbedaan sistem dan kultur. Pasar sebagai ruang interakasi sosial, bisa ditemukan pada pasar tradisional, tetapi susah menemukannya di pasar modern.

Karya-karya yang dipamerkan semuanya meletakkan pasar tradisional telah tergeser oleh pasar modern, sebagai bentuk dari ‘ilang kumandhange’. Memang tidak ada visual pasar tradisional yang tidak lagi ‘berkumandang’ dihadirkan, tetapi setidaknya ada visual yang identitasnya dikenali selalu berada di pasar tradiPASAR ILANG KUMANDHANGEsional, visual itu berupa timbangan karya Rifqi Sukma dan diberi judul ‘The Metric of Distance’. Judul yang menggunakan istilah bahasa asing dengan sendirinya telah ‘mengasingkan’ timbangan itu sendiri. Apalagi, visual timbangan tidak memiliki latar belakang visual sebagai konteks, tetapi timbangan dihadirkan sendirian dan hanya diletakan di atas meja. Jadi, pasar tradisional betul-betul sunyi sebagaimana timbangan yang sendirian.

Perihal ‘Pasar Ilang Kumandhange’ Sindhunata, yang ikut menyiapkan pameran seni rupa ini menuliskan diantaranya bisa disimak berikut ini:

“Pasar Ilang Kumandhane adalah suara sayup-sayup yang terdengar dari balik timbunan reruntuhan pasar-pasar tradisional. Reruntuhan itu diinjak-injakPASAR ILANG KUMANDHANGE oleh mahkluk-mahkluk yang aneh. Rupanya, mereka seperti polisi-polisi pamong praja. Membawa pentung dan berseragam. Tapi kepala mereka adalah alat keruk. Dengan alat keruk itu mereka meratakan pasar-pasar dan lapak-lapak tradisional sampai rata dengan tanah. Sementara kepalanya sendiri berubah menjadi topeng yang dipegangi dengan tangan kanannya. Topeng ini rasanya dipakai untuk mengancam dan menakut-nakuti rakyat yang menentangnya. Punggung manusia aneh ini terbungkuk-bungkuk membawa maket aparSa’Uninet, supermarket dan mall. Tampaknya demi pembangunan aparSa’Uninet, supermatket dan mall inilah mereka mengeruk dan menghancurkan pasar-pasar tradisional”.

Agaknya, Bentara Budaya Yogya menyadari, bahwa selama ini, kehadirannya sebagai ‘lembaga kebudayaan’ di Yogya tidak bisa dilepaskan dari persoalan masyarakat. Salah satu persoalan yang semakin ‘hilang’ di Yogya adalah tergusurnya pasar tradisional. Namun rupanya, persoalan pasar tradisional bukan hanya persoalan lokal Yogya, melainkan menyangkut persoalan ekonomi dan politik pada tingkat nasional. Maka, pada ulang tahunnya yang ke 29, Bentara Budaya Yogya, mengajak perupa ‘menyuarakan’ persoalan masyarakat melalui issue pasar tradisional.

Dari konteks pameran , rupanya, Bentara Budaya Yogyakarta, dalam ultahnya yang ke 29, hendak (kembali) mengatakan kepada publik bahwa sebagai lembaga kebudayaan bentara memiliki komiSa’Unine terhadap masyarakat yang tidak berdaya. Pasar tradisional yang ‘ilang kumandhange’ adalah simbol dari masyarakat yang tidak berdaya itu.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta