Pameran Lukisan Bibit "Jabrang" Waluyo
Bicara Budaya dalam Keseharian

Pameran Lukisan Bibit "Jabrang" Waluyo Bicara Budaya dalam KeseharianPameran Lukisan Bibit “Jabrang” Waluyo bertajuk Cultuur : Tandur di Bentara Budaya Jakarta kemarin, dibuka oleh Slamet Rahardjo, pemerhati budaya sekaligus aktor perfilman Indonesia. Pada saat membuka pameran, Slamet Rahardjo mengatakan, ia tidak pernah mau membuka sebuah pagelaran yang ia tidak tahu apa. Dengan bekal melihat contoh karya lukisan milik Bibit, tehnik melukis dan gambar-gambar yang disuguhkan membuat ia kemudian mau membuka pameran tunggal Bibit. “Jujur awalnya saya tertarik dengan kata “Tandur” yang diusung Bibit, disini juga Bibir menyentil permasalahan sosial. Kata Cultuur=Tandur mengingatkan kita bahwa jangan hanya selalu membicarakan hasil (panen) tapi kita harus memikirkan tandur (proses). Salah satu tugas seniman adalah mengingatkan kembali apa yang sudah mulai terlupakan, antara lain adalah karya-karya milik Bibit ini.”

Sebanyak 13 karya bibit dipamerkan diruang tengah Bentara Budaya Jakarta. Apa yang coba ditawarkan Bibit adalah membaca kultur Jawa dengan mengolah teks-teks tradisi dalam karya visual. Melalui teknik sungging yang rapi, teknik yang dieksplorasinya sejak kecil, Bibit menyuguhkan keseharian orang Jawa. Kadang sinis, jenaka, dan satire. Menurut Albertus Rusputranto, kurator pameran ini Bibit yang sudah melukis sejak lama sudah mengalami 3 periode, yang pertama adalah dimana Bibit masih sangat naif, banyak menggambar anak-anak, misalnya saja anak mandi di kali. Periode kedua, ada luapan emosi dan kemarahan dalam karya-karyanya, potensi politik Bibit sedang tinggi-tingginya, begitu kata Albertus. Dan terakhir adalah dimana ia sudah terlihat lebih arif melihat persoalan kebudayaan dan identitas. “Dalam karya-karyanya ini ia coba memparodikan, ada juga ejekan sinis dan baginya kegiatan kebudayaan yang ia lihat sudah seperti kegiatan sehari-hari,” papar Albertus.

Warna yang kontras banyak terdapat pada karya-karya Bibit, salah satu karya yang cukup memiliki banyak makna yang diulas Setyawan adalah “Tabik”, yang dalam bahasa Indonesia berarti ungkapan memberi salam. Dalam karyanya, Bibit menggambarkan dua orang berbeda kultur, Jawa dan Belanda saling memberi hormat. Perbedaan kultur terlihat dari pakaian yang dikenakan, yang satu berpakaian ala Belanda, yang satu memakai pakaian ala Jawa atau “cara Jawi”. Menurut Setyawan, orang-orang Surakarta menciptakan mode bagi mereka sendiri pada awal abad 19 mulai disebut Cara Jawi untuk membedakan diri dengan “mode Belanda”.

Pameran Lukisan Bibit "Jabrang" Waluyo Bicara Budaya dalam Keseharian

Pada lukisan itu, Bibit menggambarkan cara salam yang terbalik, yang Jawa memberi salam hormat ala Barat, sedangkan yang Belanda memberi salam dengan “sembah” ala Jawa. Dalam karyanya itu, menunjukkan bagaimana si orang Jawa ingin sejajar, dan setara dengan Belanda namun malah memperlihatkan inferioritasnya, karna memang pada permulaan abad ketujuh belasm mengutip Benedict Anderson (2000), para penguasa Jawa mengalami serangkaian kekalahan, kehinaan dan bencana yang tak henti. “Kekalahan” itu sudah ratusan tahun meninggalkan jejak-jejak yang tak terhapuskan, para penguasa Jawa yang kalah ingin berdiri sejajar dengan kekuatan asing yang mengalahkannya.

Pameran Lukisan Bibit "Jabrang" Waluyo Bicara Budaya dalam Keseharian

Masih banyak makna dan cerita sejarah yang bisa diungkap dalam karya-karya Bibit. Beberapa diantaranya, “Sungging Raden Saleh”, “Keluarga Berencana”, “Bakal Harapan” dan lainnya. Bibit berhasil menyuguhkan masalah kebudayaan dalam keseharian lewat karya-karya lukisannya.

Pameran Lukisan Bibit "Jabrang" Waluyo Bicara Budaya dalam Keseharian

Natalia S.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta