- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»KESAKTIAN PANCASILA DAN KESAKTIAN KORUPTOR
03 Oct 2011 08:00:00Hari Kesaktian Pancasila beberapa hari lalu baru saja diperingati, atau tepatnya 30 September 2011 lalu. Setiap memperingati Hari Kesaktian Pancasila, kita tidak bisa melupakan korban peristiwa G30S, kependekan dari Gerakan 30 September 1965, yang berlanjut dengan pembantaian PKI berikut pengikutnya. Ratusan ribu korban, bahkan mancapai satu juta, dialami orang-orang (yang diduga) sebagai PKI. Ada yang dipenjara/ditahan. Ada yang langsung dihabisi. Jadi, setiap memperingati Hari Kesaktian Pancasila, dengan sendirinya tidak bisa melupakan para korbannya.
Yang lebih menyedihkan lanjutan dari korban PKI, yaitu keluarga korban, meski tidak ditangkap atau ditahan, tetapi sepanjang hidupnya seolah terkena ‘penyakit aib’. Menjadi kelurga PKI dikonstruksikan sebagai keluarga yang tidak pantas mendapatkan hak kehidupan. Karena itu, anak-anak keluarga PKI ikut menanggung penderitaan, bahkan anak keluarga PKI yang lahir setelah 1965, masih dimasukkan sebagai tidak bersih lingkungan.
Dari lanjutan korban PKI berikut keluarganya yang, belum tentu terlibat, atau bahkan tidak terlibat karena ketika peristiwa G30S meletus masih belia, atau malah masih balita, tetapi tetap ‘terkena’ resikonya. Diperlakukan diskriminatif. Dalam konteks ini, Pancasila memang memiliki kesaktiannya, sehingga, sebut saja, ‘tujuh turunan’ korban PKI ikut menanggung penderitaannya.
Tapi rupanya, kesaktian Pancasila, masih kalah sakti dengan koruptor. Rupanya, kesaktian koruptor bisa membuat Pancasila tidak berdaya. Setelah pergantian rezim, Pancasila tidak sering disebut-sebut. Padahal, rezim sebelumnya mengagungkan Pancasila dan menjadikannya sebagai ideologi. Pemikiran lain diluar ideologi Pancasila dianggap mengancam dan akan dilawan habis-habisan oleh Pancasila agar kesaktiannya terbukti. Pada pemerintahan kini ideologi Pancasila sudah digantikan dengan ideologi korupsi. Elit politik merasa tidak perlu menyebut-nyebut Pancasila, tetapi mereka –dari banyak kasus—menjalankan korupsi secara bersamaan, dan mereka sama yakin, bahwa apa yang dilakukannya tidak salah. Maka, itulah ideologi pemerintah sekarang, yakni ideologi korupsi.
Karena korupsi telah menguasai penyelenggara negara, makanya tidak lagi membutuhkan Pancasila. Kalaupun menyebut Pancasila sekedar untuk mengingat saja, untuk menunjukkan bahwa pernah ada ideologi Pancasila. Lalu, apa yang sebenarnya diperingati pada Hari Kesaktian Pancasila, yang ternyata sampai hari ini ‘kesaktiannya’ tidak mampu membersihkan korupsi? Kita bisa merasa sedih ketika membaca berita bupati dan gubernur banyak yang menjadi tersangka korupsi. Anggota legislative, hakim, jaksa, pengacara ada yang menjadi terdakwa. Belum lagi kisah polisi memiliki rekening gendut yang sampai sekarang tidak pernah ada penjelasan betul tidaknya rekening gendut itu. Pendek kata, para penegak hukum ada yang melanggar hukum. Elit partai menerima suap. Lengkaplah sentuhan korupsi membelai seluruh komponen
Jadi, Kesaktian Pancasila ditengah ideologi korupsi tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengubahnya. Kesaktiannya telah luntur. Pancasia bukan lagi sebagai ‘way of life’ dalam praktek, tetapi paling banter berubah menjadi slogan. Korupsi yang malah telah berubah sebagai ‘way of life’, sehingga seorang pegawai rendah di Departemen Keuangan bisa korupsi milyaran rupiah. Bagaimana dengan pejabatnya?
Sebenarnya, Pancasila akan menjadi nampak saktinnya, apabila dalam memperingati Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya dilakukan dengan upacara, tetapi diperingati dengan langkah konkrit: memerangi koruptor. Penyelenggara Negara, dalam hal ini penegah hukum, bisa bersama bertekat: “Demi Pancasila Sakti, akan kita habiskan koruptor”.
Rasanya, peringatan yang memiliki tekad seperti itu akan memiliki arti bagi bangsa. Bagi rakyat. Karena kesaktian koruptor, yang tidak pernah terungkap tuntas, bukan hanya merugikan uang negara, lebih parah dari itu membuat rakyat yang telah memberi amanah untuk mengurus negara malah (di-)sengsara(-kan).
Kita tidak ingin, koruptor lebih sakti dari Pancasila. Maka, untuk (kembali) membuat Pancasila sungguh-sungguh sakti, perangi dan habiskan perilaku koruptif, dan para koruptor jangan dibiarkan lolos dari jerat hukum.
Ons Untoro
Foto-foto diambil dari goegle
Artikel Lainnya :
- SROTO BANYUMAS, KERAGAMAN LAIN KULINER DI JOGJA(18/04)
- DJAKA LODANG 1 (15/06)
- 5 Oktober 2010, Ensiklopedi - DOLANAN BI-BIBI TUMBAS TIMUN(05/10)
- WONG JAWA ING SURINAME(16/12)
- 9 Februari 2010, Kabar Anyar - PAMERAN SENI GRAFIS BORNEO 1843: MASA LALU UNTUK MASA KINI(09/02)
- SITUS GRAJEGAN, SEYEGAN, SLEMAN(05/01)
- TROTOAR CANTIK DI JALAN PARANGTRITIS(01/01)
- Art Exhibition Inspires ‘Hope Beyond Absurdity’(06/09)
- (Meng-) Ingat (ingaktkan) Kartini(23/04)
- 19 Oktober 2010, Bothekan - RENGGANG GULA KUMEPYUR PULUT(21/10)