Neno Baru Bisa Nembang Pocung dan Gambuh

Dengan kehadiran kelompok karawitan, dimaksudkan agar acara macapatan tidak membosankan. Ada jeda waktu untuk menikmati alunan gending-gending Jawa yang menyegarkan.

Ibu Aris Salah satu pecinta macapat
Ibu Aris Salah satu pecinta macapat

Tiga orang anak muda datang di pendapa Yudanegaran Tembi Rumah Budaya, pada malam Rabu Pon 4 Desember 2012. Mereka adalah Anggraeni Retno W, mahasiswi sastra Perancis Universitas Negeri Yogyakarta, Samsul Arifin, mahasiswa Amikom Yogyakarta dan Andika, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Neno, demikan Anggraeni Retno W biasa dipanggil, mewakili teman-teman mengatakan bahwa kedatangannya mau ikut bergabung dalam acara macapat. “Namun saya baru dapat menguasai tembang Pocung dan Gambuh,” kata Neno.

Dengan pernyataan Neno tersebut para pecinta Macapat yang sebagian besar sudah berusia lanjut menyambut dengan antusias bergabungnya para generasi muda pada salah satu cabang kesenian Jawa yang bernama Tembang Macapat. Walaupun serat Centhini yang disediakan dalam panduan untuk ditembangkan tidak ada tembang Gambuh dan tembang Pocung, pernyataan Neno sungguh membuat mereka bangga, alih-alih menguasai dua tembang Pocung dan Gambuh, datang saja di acara macapat sudah cukup membesarkan hati bagi mereka para pecinta Macapatan.

Sudah menjadi tradisi sejak tahun 2000, setiap malam Rabu Pon, 35 hari sekali, di Tembi Rumah Budaya digelar acara macapatan. Saat ini sudah sampai pada putaran 115. Serat Centhini Yasanndalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III pada tahun 1814 yang menjadi materi rutin untuk ditembangkan, telah menginjak jilid empat. Isi tembang mengisahkan tentang keutamaan raja dari negara Mesir yang bernama Sri Ngabdulrahman. Bab ini mengawali ‘Pupuh’ 261 dengan tembang Asmaradana:

Kelompok karawitan Sekarsari, ikut menyemarakkan macapatan di Tembi Rumah Budaya
Kelompok karawitan Sekarsari, ikut menyemarakkan macapatan di Tembi Rumah Budaya

1. Bubuka nagari Mesir
ingkang jumeneng narendra
sang Ngabdulrahman namane
kotamaning nareswara
kalamun den ucapna
telung bengi boya uwus
cinendhak ingkang carita

2. Sri Ngabdurahman ing Mesir
ngluluri caritotama
saben ratri sang akatong
nalengseng wismane wadya
amrih ayuning bala
nahen wonten kang winuwus
makluk pardikaning Suksma

Generasi muda yang tertarik Macapat, dari kiri ke kanan Andika, Samsul dan Neno
Generasi muda yang tertarik Macapat, dari kiri ke kanan Andika, Samsul dan Neno

Selain sebagai ‘jujugan’ bagi para pecinta macapat, acara malem Rebo Pon ini dikemas sebagai ajang untuk tampil bagi kelompok karawitan yang ada di Bantul dan sekitarnya. Secara bergiliran pada setiap putaran, group karawitan yang mendaftar ditampilkan untuk ikut menyemarakkan acara macapat. Pada Selasa lalu kelompok karawitan yang tampil adalah kelompok karawitan ibu-ibu Sekarsari dari Paten Jetis Bantul, binaan Slamet Sutopo S.Sn.

Dengan kehadiran kelompok karawitan, dimaksudkan agar acara macapatan tidak membosankan. Ada jeda waktu untuk menikmati alunan gending-gending Jawa yang menyegarkan.

Alunan suara tembang-tembang macapat bergantian dengan alunan suara gending-gending Jawa yang sejak jam 20.00 memenuhi Pendapa Tembi dan sekitarnya berakhir pada jam 23.00. Mereka pulang dengan penuh kelegaan. Khusus pada malam hari itu, para pecinta macapat yang berusia lanjut dapat berharap bahwa seni tembang macapat akan terus lestari. Ada generasi muda yang berjanji akan datang lagi pada macapatan selanjutnya, tidak hanya dengan tembang Pocung dan Gambuh, tetapi akan belajar tembang-tembang yang lain.

Rombongan dari karawitan Sekarsari yang ikut nembeng.
Rombongan dari karawitan Sekarsari yang ikut nembeng.

Foto: Yuliadi, tulisan: herjaka HS

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta