Membaca Puisi untuk Mengenang Almarhum

Heru Sutopo adalah seorang seniman yang tinggal di Yogyakarta dan menulis banyak skenario film. Semasa muda Heru Sutopo tidak sepi dari kegiatan teater. Dan di masa tuanya, melalui Sanggar Pelangi Heru Sutopo, sampai hayatnya memberi ruang anak-anak muda untuk berkreasi.

Umi Kulsum membaca puisi untuk mengenang Sewindu Heru Sutopo, Foto: Pelangi
Umi Kulsum

Puisi bisa hadir dalam beragam event. Selain khusus pada acara pembacaan puisi, bisa pula ‘dihadirkan’ untuk peristiwa tertentu, misalnya ulang tahun, pernikahan dan lainnya. Bahkan, untuk mengenang kematian pembacaan puisi bisa ditampilkan. Minggu malam 6 januari 2013, acara mengenang ‘Sewindu Heru Sutopo’ (1935-2004), seorang penulis skenario, diselenggarakan di Sanggar Pelangi, Jl. KH. Wachid Hasyim 99, Yogyakarta, sejumlah penyair membacakan puisi karyanya.

Selain pembacaan puisi, ditampilkan pula lagu puisi, yang mengarap puisi beberapa penyair. Lagu puisi dibawakan oleh Untung Basuki dengan membawakan satu puisi karya penyair Slamet Riyadi Sabrawi dan satu puisi yang berjudul ‘Mahakam’ sebuah lagu puisi yang selalu dibawakan Untung Basuki bersama kelompok musik Sabu.

Selain Untung Basuki, lagu puisi menghadirkan seorang pemain musik, Lugutz Nugroho, yang menyanyikan dua lagu puisi karya Landung Simatupang. Beberapa penyair yang tampil membaca puisi karyanya dalam acara ‘Mengenang Sewindu Heru Sutopo’ ialah Hery Leo, Budhi Wiryawan, Slamet Riyadi Sabrawi, Umi Kulsum. Bambang Nursinggih, seorang penggurit (penulis geguirtan/puisi Jawa) tampil membacakan karyanya dengan diiringi musik.

Heru Sutopo adalah seorang seniman yang tinggal di Yogyakarta dan menulis banyak skenario film. Semasa muda Heru Sutopo tidak sepi dari kegiatan teater. Dan di masa tuanya, melalui Sanggar Pelangi Heru Sutopo, sampai hayatnya memberi ruang anak-anak muda untuk berkreasi.

Untung Basuki, seorang anggota Sanggar Bambu, belakangan baru mengenali, bahwa Heru Sutopo adalah salah seorang perintis berdirinya Sanggar Bambu. Bahkan, sanggar itu di dirikan di rumah Heru Sutopo, yang bangunan rumahnya sebagian terbuat dari bambu.

“Karena sebagian bangunan rumahnya ada bambunya, oleh pak Narto, pendiri Sanggar Bambu, nama sanggarnya diberi nama Sanggar Bambu,” kata Untung Basuki sebelum menyanyikan satu lagu puisi.

Lugutz Nugroho menyajikan lagu puisi karya Landung Simatupang dalam acara Sewindu Heru Sutopo, Foto: Pelangi
Lugutz Nugroho

Selain Heru Sutopo, yang mendirikan Sanggar Bambu adalah Sunarto Pr, seorang pelukis dan penyair Kirjomulyo. Selama sekitar 1 tahun sejak didirikan 1 April 1959, untuk sementara sekretariat Sanggar Bambu di rumah Heru Sutopo.

Beberapa hari belakangan Yogya diguyur hujan. Minggu malam, bahkan sejak sore, saat acara ‘Mengenang Sewindu Heru Sutopo’ hujan deras mengguyur Yogya, tak terkecuali panggung pertunjukan, sehingga panggung seperti berada di tengah kolam.

Jadi, hujan deras sekaligus malah memberi irama pada pembacaan puisi dan pertunjukan musik. Budhi Wiryawan, penyair yang telah menerbitkan antologi puisi dengan judul ‘Sripah’ membacakan satu puisi yang diambil dari bukunya. Agaknya, Budhi Wiryawan ingin memberi konteks pada acara mengenang kematian seorang tokoh, sehingga dia membacakan puisi dari antologi puisi yang berkaitan dengan kematian.

Puisi memang bisa hadir dibanyak peristiwa, bahkan suatu waktu, ada penyair membaca puisi untuk mengantarkan jenasah yang akan dimakamkan. Pada kali lain, pada upacara pernikahan di gereja puisi tidak dilupakan untuk dibacakan.Almarhum Rendra pernah membacakan puisi di depan anggota legislatif saat melakukan audiensi dengan wakil rakyat tersebut.

Dengan kata lain, puisi bisa hadir dalam beragam peristiwa dan publik tidak alergi terhadap kehadiran puisi.

Kita sertakan satu puisi yang dibacakan dalam acara ‘Mengenang Sewindu Heru Sutopo’ yang dibuat khusus untuk peristiwa tersebut dan dibacakan oleh penyairnya.

Untung Basuki menggubah puisi Slamet Riyadi Sabrawi menjadi lagu puisi dalam acara Sewindu Heru Sutopo, Foto: Pelangi
Untung Basuki

Mengenang Sewindu Yang Tiada

Aku tahu kamu telah pergi diujung sepi
dan tak lagi akan kembali
tapi ingatanku selalu mengenali
seperti Matahari terbit pagi hari

Kita tak lagi di tempat yang sama
kita menjalani hidup berbeda
meski namamu tak pernah kulupa
kepada anak-anakmu aku selalu bersapa

Aku tahu kamu tak akan kembali lagi
kita tak bisa berbincang seperti dulu lagi
tapi namamu terus kukenali
kepada anakmu aku tak habis berbagi

Yogya, 5 Januari 2013

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta