Tembi

Yogyakarta-yogyamu»PAK PRAPTO DAN FANATISME BLANGKON GAYA JOGJA

18 Aug 2010 04:11:00

Yogyamu

PAK PRAPTO DAN FANATISME BLANGKON GAYA JOGJA

Jogja, sebuah wilayah yang sarat dengan tradisi Jawa di samping juga bergelut dan bergerak dengan kemodernan itu hingga kini masih memiliki tokoh-tokoh yang kukukuh menjaga tradisi. Salah satunya adalah A.Praptowiyono, seorang kakek berusi 74 tahun yang tinggal di Pronosutan, RT 56 RW 19, Kalurahan Kembang, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo. Lokasi rumah A. Praptowiyono dapat dicapai melalui perempatan Kenteng Nanggulan ke arah barat (Pasar Kenteng). Di depan Pasar Kenteng ini terdapat sebuah gang kampung. Pengunjung tinggal mengikuti jalan kampung ini masuk ke utara sejauh kurang lebih 200 meter.

Kakek yang masih enerjik dan selalu berpenampilan penuh senyum ini sejak 1956 hingga kini bertekun ria membuat blangkon gaya Mataraman atau blangkon Jogja. Yakni penutup kepala yang terbuat dari selembar kain dengan mondolan atau benjolan sebesar telur bebek di bagian belakang.

Blangkon tentu bukan merupakan komoditas yang menjanjikan. Setidaknya untuk saat ini mengingat semakin sedikitnya orang yang mau dan bisa mengenakan busana tradisional Jawa. Busana semacam itu paling banter hanya dikenakan ketika peringatan Hari Kartini dan pada acara-acara tradisional lain semacam merti dusun, karnaval, pentas kesenian tradisional, atau pengantinan ala Jawa. Di luar acara semacam itu pakaian tradisional Jawa bisa dikatakan telah dilupakan.

Meskipun demikian, Pak Prapto demikian ia akrab disapa, tetap bersemangat untuk terus membuat blangkon. Alasannya adalah bahwa jika di Jogja masih ada keraton serta masih ada sultan, blangkon tidak akan punah atau mati. Demikian kilahnya. Masalahnya, mau tidak mau keraton merupakan pancer atau pusat pengemban tradisi kebudayaan. Dengan demikian, blangkon masih akan tetap dibutuhkan karena para pelaku tradisi budaya di Jogja tidak akan mungkin meninggalkan busana tradisionalnya. Tidak heran jika Pak Prapto tetap eksis di dunia perblangkonan sejak 1956 sekalipun kawan-kawan seprofesinya semuanya sudah beralih ke profesi lain.

Apa yang dilakukan Pak Prapto ini akhirnya menular juga kepada cucunya, Dwi Kris Antoro (22). Mula-mula Dwi juga hanya ikut-ikutan atau membantu, lama-lama menjadi asyik dan tertarik. Apa yang dilakukan Dwi ini telah dimulainya sejak ia duduk di bangku kelas IV SD. Kini Dwi pun telah cukup ahli membuat blangkon. Apa yang dialami oleh Dwi ini mirip dengan apa yang dialami oleh Pak Prapto sendiri. Waktu itu, sekitar tahun 1953 ia juga hanya ikut-ikutan membantu ayahnya. Lama-kelamaan ia pun menjadi ahli. Hingga kini ia tetap mencintai profesi itu sekalipun ia pernah juga menjadi pegawai pada Dinas Kesehatan sebagai tenaga pemberantasan Malaria di tahun 1956-1960.

Bagi Pak Prapto tekadnya untuk membuat blangkon hanya dalam gaya Mataraman atau Jogja sudah bulat sekalipun sesungguhnya ia juga bisa membuat blangkon gaya Solo. Jika ada orang yange menginginkan blangkon gaya Solo kemudian datang kepadanya, biasanya Pak Prapto akan menyarankan pada yang lebih ahli yakni pengrajin blangkon gaya Solo di Solo.

Dalam proses pembuatan blangkon ini tahap yang dianggap paling sulit adalah tahap ketika me-wiru (melipat-lipat kain sehingga membentuk tumpukan lipatan dengan tekstur yang rapi). Sedangkan pada tahap lainnya terbilang relatif mudah. Untuk proses pembuatan blangkon mulai dari lembaran kain hingga menjadi sebuah blangkon diperlukan waktu antara 2-3 hari. Dalam sebulannya Pak Prapto bisa membuat sekitar 12 buah blangkon. Harga untuk masing-masing blangkon buatannya cukup variatif. Semua tergantung modelnya. Akan tetapi untuk kisaran harga (Agustus 2010) adalah antara Rp 175.000,00 hingga Rp 350.000,00. Jika diambil harga rata-rata per buahnya Rp 200.000,00 maka Pak Prapto memiliki penghasilan kotor Rp 2.400.000,00 per bulan.

Menurut pengalaman Pak Prapto hingga kini konsumen blangkonnya tidak pernah sepi. Untuk itu oa juga menerapkan pelayanan yang baik bagi konsumennya, yakni ia selalu tepat janji. Jika ia mengatakan bahwa blangkon pesanan siap dalam 3 hari ia akan menepatinya 3 hari. Jika ia merasa tidak mampu ia akan mengatakan dengan jujur bahwa ia tidak mampu. Intinya, ia tidak ingin mengecewakan konsumen.

Tembi pun sempat menanyakan apa saja motif atau nama blangkon itu. Pak Prapto menjawab bahwa motif atau nama blangkon biasanya sama dengan nama-nama motif batik yang digunakan untuk membuat blangkon. Jadi ada blangkon Sida Asih, Truntum, Winarnan, Wulung, dan lain-lain. Mungkin yang agak lain adalah blangkon Celeng Kewengen. Sedangkan bagian-bagian dari blangkon di antaranya adalah tanjungan (bagian depan blangkon), mondolan (bagian belakang blangkon), sidangan (bagian telinga), dan congkeng/kebut (bagian dalam).

Anda tertarik untuk membeli blangkon gaya Jogja, Pak Prapto mungkin bisa menjadi salah satu referensinya.

a. sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta