Membaca Puisi di Tengah Hujan Deras

Puisi, sejak lama memang sudah dikenal luas, dan kini puisi bukan hanya milik penyair, sehingga kredo ‘yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian’ tidak lagi relevan. Siapa saja boleh membacakan puisi, dan Tembi memberi ruang untuk itu.

Riri Rengganis me-launching buku antologi puisinya, Sekuntum Bunga di Seberang Jendela, dan Slamet Riyadi Sabrawi, yang meluncurkan antologi puisinya berjudul laron di Tembi rumah budaya, 28 desember 2012
Riri Rengganis dan Slamet Riyadi Sabrawi bersama meluncurkan antologi puisi
pada acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya

Hujan tak bisa dihalangi. Apalagi Desember memang musim hujan. Meski penanggalan Jawa jatuh pada bulan purnama, tetapi hujan deras mengguyur Yogya, tidak terkecuali Tembi Rumah Budaya, Bantul. Pada acara Sastra Bulan Purnama edisi 16, 28 Desember 2012, sebelum acara dimulai hujan deras mewarnai acara pembacaan puisi.

Dua antologi puisi ‘Laron’ karya penyair Slamet Riyadi Sabrawi dan ‘Sekuntum Padma Diseberang Jendela’ karya penyair Ririe Rengganis, dari Surabaya di-launching dalam Sastra Bulan Purnama edisi 16, dengan mengambil tema ‘Laron Diseberang Jendela’. Tema ini merupakan gabungan dari judul dua buku puisi tersebut.

Pembaca yang tampil membacakan puisi-puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi dan Ririe Rengganis, adalah para penyair dan pembaca puisi lainnya. Bahkan, seorang camat dari kota Yogyakarta ikut membacakan puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi. Mereka yang tampil adalah, Landung Simatupang, Sitok Srengenge, Evi Idawati, Umi Kulsum, Budhi Wiryawan, Lulu Rahardi, Endah Raharjo, Lilik Zurmailis, Ida Fitri, Octo Noor Arafat dan Anes Prabu Sajdarwo.

Tentu saja, setiap pembaca, apalagi penyair, membaca dengan gaya yang berbeda-beda. Namun semuanya tidak melepaskan ekspresi. Selalu saja, para pembaca mengekspresikan dengan gerak tangan atau mimik muka, termasuk gerak bibir. Maka, tidak perlu heran jika melihat bibir perempuan yang sedang membaca puisi dalam keadaan mencibir.

Seorang pembaca puisi, yang sehari-harinya sebagai camat Danurejan, Yogyakarta, Octo Noor Arafat namanya. Dalam membaca puisi, gerak tangannya tidak bisa diam. Octo seperti sungguh menghayati puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi yang dia bacakan.

“Malam ini saya masuk ‘dunia lain’, karena sehari-hari saya sebagai birokrat di Kecamatan Danurejan,” kata Octo Noor Arafat sebelum membaca puisi.

Rupanya, di ‘dunia lain’ yang tidak begitu dia kenal, Octo Noor Arafat kelihatan tidak asing. Terasa sekali Noor Arafat menikmati membaca puisi di tengah orang-orang, yang barangkali tidak banyak yang dia kenal. Penampilan Octo Noor Arafat setidaknya bisa mengubah citra birokrat yang jauh dari kebudayaan. Alergi terhadap sastra.

Octo Noor Arafat membacakan puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi di Pendapa Tembi Rumah Budaya dalam acara Sastra Bulan Purnama 16, Foto: Sartono
Camat Danurejan, Octo Noor Arafat
membaca puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi

Pembaca yang lain, seorang perempuan, Lulu Rahardi namanya, sehari-hari bekerja sebagai penyiar di RRI pro 2 di Yogyakarta. Lulu yang terbiasa berbicara di depan mike di ruang studio dan didengar banyak orang, membaca puisi karya Ririe Rengganis. Lulu tampak santai, meski kelihatan nervous, tetapi membaca dengan lancar dan ekspresi dari mimik mukanya menunjukkan Lulu Rahardi menghayati puisi yang dibacakan.

Endah Raharjo, yang mengenakan baju warna merah, dan dikenal sebagai penulis novel, tampil membacakan puisi karya Rire Rengganis. Seperti halnya Lulu dan pembaca lainnya, Endah Raharjo kelihatan sekali menikmati puisi-puisi Ririe Rengganis yang dia bacakan.

Yang selalu ekspresif, dimana saja tampil membaca puisi, Evi Idawati, seorang penyair perempuan dari Yogyakarta, membacakan puisi karya Ririe Rengganis, gerak tangan, gerak bibir dan ekspresi dari mimik muka dan intonasi suara yang kadang melambat dan pada titik tertentu suaranya meninggi, menunjukkan bahwa Evi Idawati piawai dalam membaca puisi.

Dua penyair yang dikenal luas, ialah Sito Srengenge, yang tinggal di Jakarta dan Landung Simatupang, selain penyair dikenal sebagai aktor, tampil membacakan puisi pada akhir acara. Penampilan keduanya sekaligus untuk menutup acara Sastra Bulan Purnama edisi 16 di bulan Desember 2012.

Sitok Srengenge membacakan tiga puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi masing-masing berjudul ‘Ketika Kutulis Sajak ini’, ‘Stasiun Tua’ dan ‘Sajak Kangen’. Sitok membacakan tiga puisi tersebut dengan penuh sahaya dan penghayatan. Mengenakan topi, Sitok membaca kata demi kata dengan penuh tekanan, sehingga puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi terasa sekali hidup.

Landung Simatupang, tampil setelah Sitok Srengenge. Sedianya Landung akan membacakan 5 puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi yang sudah dia pilih, tetapi dua puisi sudah dibacakan oleh pembaca sebelumnya, sehingga hanya 3 puisi yang dibacakan.

Mengenakan kaos panjang, yang basah oleh hujan dan topi di kepala, Landung membacakan puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi dengan kekuatan aktor yang dia miliki. Sorot mata dengan gerak mimik serta gerak tangan, mengekspresikan kata demi kata. Landung, dimanapun, selalu tidak main-main dalam membaca puisi. Landung, seperti halnya Sitok, sungguh ‘menghidupkan’ puisi’ karya Slamet Ruyadi Sabrawi.

Lulu Rahardi, seorang penyiar radio RRI pro 2 Yogya, dan Endah Raharjo, seorang novelis, membaca puisi dalam acara Sastra Bulan Purnama 16 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Lulu Rahardi (kiri) dan Endah Raharjo (kanan) membaca puisi karya Ririe Rengganis

Puisi, sejak lama memang sudah dikenal luas, dan kini puisi bukan hanya milik penyair, sehingga kredo ‘yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian’ tidak lagi relevan. Siapa saja boleh membacakan puisi, dan Tembi memberi ruang untuk itu.

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta