"Markesot Bertutur" Dari Emha Ainun Najib

Hanya dalam waktu setengah jam, menggunakan mesin ketik manual, Emha bisa menyelesaikan satu tulisan kolom, dan setiap hari dia menulis kolom untuk media yang berbeda. Markesot hanyalah salah satu kolom dari beberapa kolom yang ditulis Emha Ainun Najib dan menyentuh beragam tema.

Diskusi buku ‘Markesot Bertutur’ Karya Emha Ainun Najib di Pendapa Kadipiro, rumah kediaman Emha di Yogyakarta, Foto: Ons Untoro
Dua pengulas buku Emha: Andityas Prabantoro, editor Penerbit Misan (kiri),
dan dan Kuskridho Ambardi , dosen Fisipol UGM ((kiri)

Emha Ainun Najib, bukan hanya dikenal sebagai penyair dan budayawan, berbagai predikat disandangnya, sehingga Emha dikenal memiliki multitalenta. Puluhan buku sudah diterbitkan. Dan Emha, dalam usianya 59 tahun, tak henti-hentinya menulis. “Hidup tidak dikalkulasi, tapi dijalani,” demikian Emha pernah merumuskan hidupnya.

Satu buku yang baru diterbitkan oleh penerbit Mizan, berjudul ‘Markesot Bertutur’ karya Emha Ainun Najib, Senin malam 5 NoVember 2012 didiskusikan di Pendapa Kadipiro, rumah Emha Ainun Najib, di Kadipiro Yogyakarta. Hadir sebagai narasumber Kuskridho Ambardi, dosen Jurusan Komunikasi Fisipol UGM didampingi Chief editor Penerbit Mizan, Andityas Prabantoro.

Sebelum diskusi, Joko Kamto, seorang aktor dari teater Dinasti, yang juga anggota komunitas Kyai Kanjeng asuhan Ema Ainun Najib, membacakan satu tulisan yang ada di buku ‘Markesot Bertutur’, berjudul ‘Ilmu Tangan Kosong, Ilmu Kantong Bolong’.

Mengenakan kopiah warna hitam, jaket warna hijau dan bercelana jens, Joko Kamto membaca tulisan Emha Ainun Najib dengan penuh ekspresif. Sesekali, wajahnya seolah mengekspresikan sosok Markesot.

“Tangan kosong adalah tangan yang jujur dan apa adanya. Tangan yang tak menggegam apa-apa, tak memiliki apa-apa, tak dibebani apa-apa. Kantong bolong adalah kantong yang fungsinya hanya untuk lewat. Tak bisa menyimpan. Jadi, kantong bolong tidak memiliki sesuatu, ia hanya berfungsi. Persis seperti udara. Udara hadir di dunia hanya untuk memungkinkan manusia bernapas. Udara amat berfungsi,” seru Joko Kamto.

Buku “Markesot Bertutur’ ini merupakan kumpulan kolom yang ditulis Emha Ainun Najib di Surabaya Post sepanjang 26 Februari 1989 hingga 1 Januari 1992. Seperti disampaikan oleh editor Mizan. Adityas Prabantoro, ‘Markesot Bertutur’ merupakan edisi terbaru dari Mizan, karena sebelumnya, tahun 1993, buku ini pernah diterbitkan, dan hanya selang dua bulan, sejak diterbitkan Mizan September 2012, pada bulan November 2012 telah mengalami cetak ulang.

Diskusi buku ‘Markesot Bertutur’ Karya Emha Ainun Najib di Pendapa Kadipiro, rumah kediaman Emha di Yogyakarta, Foto: Ons Untoro
Aktor Joko Kamto membacakan tulisan Emha Ainun Najib yang berjudul
‘Ilmu Tangan Kosong, Ilmu Kantong Bolong’

Kuskridho Ambardi, yang lebih dikenal panggilannya ‘Dodi’ dan kenal dekat dengan Emha Ainun Najib, melihat betapa produktivitasnya Emha. Hanya dalam waktu setengah jam, menggunakan mesin ketik manual, Emha bisa menyelesaikan satu tulisan kolom, dan setiap hari dia menulis kolom untuk media yang berbeda.

‘Markesot hanyalah salah satu kolom dari beberapa kolom yang ditulis Emha Ainun Najib dan menyentuh beragam tema,” kata Dodi Ambardi.

Dalam bukunya sendiri dituliskan, bahwa Markesot adalah sosok lugu nan cerdas. Mbeling, terkadang misterius. Dalam kesehariannya dengan sahabat-sahabat, Markemboh, Markasan, Markemon, dan lain-lain yang tergabung dalam Konsorsium Para Mbambung (KPMb), Markesot membincangkan seabrek problem masyarakat kita. Dari konflik politik internasional sampai soal celana. Dari tasawuf hingga filosofi urap. Dalam gaya bertutur khas jawa timuran, yang penuh canda dan sindiran, Markesot mengajak kita meneropong kehidupan secara arif dan menemukan hakikat di balik nilai-nilai semu yang merajalela.

Bagi Dodi Ambardi, penulis kolom seperti Emha Ainun Najib, bisa diibaratkan seperti seorang pelari marathon. Jika tak lihai mengatur napas, pada pertengahan rute, sang pelari bisa berhenti di tengah perjalanan atau berjalan santai dulu untuk mengatur stamina.

“Namun, seorang penulis kolom kadangkala juga tampak kehabisan residu untuk mencari tema-tema yang layak ditampilkan. Pada akhirnya, munculah problem intensitas atau kedalaman penggarapan sebuah kolom,” ujar Dodi.

Buku setebal 471 halaman ini terdiri dari 8 bab. Dari masing-masing bab, minimal ada 9 tulisan, sehingga ada lebih dari 100 judul tulisan. Kita cuplikan satu tulisan yang berjudul ‘Soejatmoko Tak Dikenal Oleh Ilmuwan Ekor Gajah’. Kita tahu, Soejatmoko adalah cendekiawan Indonesia terkemuka dan pernah menjadi Rektor Universitas PBB. Beliau sudah lama meninggal dan Emha Ainun Najib, melalui ‘Markesot’ menulis untuk mengenang sosok yang dikenal luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dikenal di negara-negara maju itu.

Diskusi buku ‘Markesot Bertutur’ Karya Emha Ainun Najib di Pendapa Kadipiro, rumah kediaman Emha di Yogyakarta, Foto: Ons Untoro
Emha Ainun Najib, seniman serba bisa, yang tiada henti menulis

“Tahun kemarin saya berkunjung ke Samarinda dan bertemu dengan banyak mahasiswa sebuah universitas di sana. Sangat mengagetkan saya bahwa para calon intelektual itu ternyata tidak kenal nama Soejatmoko, Umar Kayam, Juwono Sudarsono, atau apalagi Goenawan Mohamad dan jangankan lagi Ignas Kleden. Mereka hanya tahu celana baggy, rambut klimis, lagu dangdut terbaru, ukuran pinggul artis, ditambah kalimat-kalimat yang terdapat dalam diktat kuliah mereka,” tulis Emha Ainun Najib.

Bagi Emha, mahasiswa seperti itu hanyalah mahasiswa ekor gajah, yang karena dari tubuh gajah ia hanya memegang ekornya, maka ekor itu sajalah batas pengetahuannya tentang gajah. Dengan demikian segala wawasannya pun wawasan ekor, mata pandangnya mata pandang ekor, kerangka teorinya kerangka teori ekor. Maka, hasil pengetahuannya pun sekadar ekor belaka.

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta