Ketoprak Jampi Puyeng Gunung Kidul Berkisah Tentang Takdir di Pendapa Tembi

Pertunjukan ketoprak Jampi Puyeng ini bermain-main pada wilayah lakon-lakon garapan yang tidak mengikuti arus besar ketoprak “klasik” yang mengangkat lakon berdasarkan babad atau sejarah. Tekanan pementasannya lebih pada kesegaran, kejenakaan, ketegangan dan perpaduan dari ketiganya.

Adiguna ditemukan oleh Adipati Sobrang Karang untuk diantarkan ke Kadipaten Pucanganom sebagai “mahar” bagi perkawainan Adipati Sobrang karang, difoto: Rabu 29 Mei 2013, foto: a.sartono
Adiguna ditemukan oleh Adipati Sobrang Karang
dan akan diantarkan ke Kadipaten Pucanganom

Topik percintaan dalam balutan politik, sosial, dan kekuasaan masih menjadi unsur yang demikian penting dalam pementasan ketoprak. Hal ini juga terlihat dalam lakon Pepesthen (takdir) yang dibawakan oleh kelompok Ketoprak Jampi Puyeng dari Gunung Kidul pada hari Rabu malam, 29 Mei 2013 di Pendapa Yudanegaran, Tembi Rumah Budaya, Jl. Parangtritis Km 8,4, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.

Pementasan ini disutradai oleh Angger Sukisno, sedangkan pimpinan dipegang oleh Jhony Gunawan serta diasuh oleh Y Suntono. Para pemain yang mendukung lakon Pepesthen adalah Rini Widyastuti, Angger Sukisno, Subardi, Purwanti, Suraji, Sumadi, Y.Suntono, Regu Riyanto, Min Klowor, Lendo, Tuwuh Bachroni, Suhin Gunawan, dan Grontol.

Pepesthen menceritakan tentang tokoh Dewi Wijanti, putri Adipati Wiranegara yang bertahta di Kadipaten Pucanganom. Dewi Retno Wijanti dilamar banyak raja dari berbagai negara. Ia mau menerima lamaran tersebut dengan syarat orang yang bersangkutan mampu menghadirkan tukang rias pengantin laki-laki yang bernama Adiguna. Syarat itu disanggupi oleh semua pelamar, termasuk Adipati Harya Sumbaga dari Kadipaten Tanggulangin dan Adipati Sobrang Karang dari Kadipaten Bantar Angin. Persaingan pun terjadi sehingga terjadi peperangan antara keduanya namun berhasil didamaikan oleh Patih Harya Sudiman.

Perjumpaan kembali Adiguna dan Dewi Retno Wiianti membangkitkan cinta lama bersemi kembali, difoto: Rabu, 29 Mei 2013, foto: a.sartono
Perjumpaan kembali Adiguna-Dewi Retno Wijanti
membangkitkan kembali cinta lama mereka

Adiguna yang kemudian ditemukan oleh Adipati Sobrang Karang. Ternyata Adiguna hanyalah seorang pemuda yang buta. Ia pun dibawa ke Kadipaten Pucanganom oleh Adipati Sobrang Karang dan diserahkan kepada Dewi Retno Wijanti. Di sinilah rahasia di antara Dewi Retno Wijanti dan Adiguna terungkap. Ternyata keduanya adalah sepasang kekasih di masa lalu ketika mereka menjadi siswa di Padepokan Gunung Kendeng. Di masa lalu Adiguna pernah bersumpah bahwa jika ia mengingkari janji cintanya, maka matanya akan buta. Ternyata hal itu terjadi karena Adiguna akhirnya menikahi Ratemi.

Ratemi yang menyusul Agiduna hingga di Kadipaten Pucanganom terkejut demi melihat Adiguna-Dewi Retno Wijanti memadu kasih. Pertengkaran terjadi. Ratemi justru diseret Adipati Sobrang Karang dan akhirnya dibunuh karena diangap mengganggu kinerja Adiguna yang notabene menjadi “mas kawin” Adipati Sobrang Karang. Akhirnya Ratemi justru dibunuh oleh Adipati Sobrang Karang. Adiguna menyesali semua kejadian yang menimpa dirinya. Tanpa sadar ia membalurkan darah Ratemi ke wajahnya. Ajaibnya ia justru sembuh dari kebutaannya. Kemudian dipercayai bahwa apa yang dimaksudkan Kemlaka Putih Tlutuh Abang yang selama ini dicari untuk mengobati kebutaan Adiguna adalah justru darah Ratemi sendiri.

Takdir atau pepesthen memang sulit ditebak oleh akal manusia. Di sinilah Pepesthen ini ingin bercerita. Adiguna akhirnya dimaafkan oleh Dewi Retno Wijanti dan keluarganya. Mereka pun menikah dan bahagia.

Pertikaian Adipati Sobrang Karang dan Adipati Harya Sumbaga karena memperebutkan Dewi Retno Wijanti, difoto: Rabu, 29 Mei 2013, foto: a.sartono
Pertikaian Adipati Sobrang Karang-Adipati Harya Sumbaga
karena memperebutkan Dewi Retno Wijanti

Keseluruhan cerita ini pada intinya jelas ingin mengajarkan kebijaksanaan hidup. Untuk memegang kesetiaan pada janji yang diucapkan. Untuk tidak mencurigai orang kaya dan menjustifikasinya sebagai wakil keangkuhan, kesombongan, tidak toleran, dan feodal. Bahwa kesedihan, kepahitan, cinta, kesenangan, bisa terjadi kapan saja pada siapa saja dan dimana saja.

Pertunjukan ketoprak Jampi Puyeng ini bermain-main pada wilayah lakon-lakon garapan yang tidak mengikuti arus besar ketoprak “klasik” yang mengangkat lakon berdasarkan babad atau sejarah. Konflik dan tangga-tangga klimaks dibangun dari sebuah lakon dengan setting tempat yang “diciptakan” tanpa harus mengacu pada aspek kesejarahan.

Mungkin tekanan pementasannya lebih pada kesegaran, kejenakaan, ketegangan atau perpaduan dan ketiganya. Kelucuan dan kesegaran yang dominan dari ketoprak ini menjadi aspek yang dinantikan penonton. Kepedihan atau tragedi yang dibungkus sentilan-sentilan komedi mungkin juga menjadi daya pikat yang lain dari pertunjukan Ketoprak Jampi Puyeng ini. Sesuai dengan namanya, pertunjukannya ditekankan pada pengobat rindu, pelepas lelah, obat pusing, dan pengusir kebosanan tanpa harus berberat-berat pada materi yang mendasarkan diri pada aspek kesejarahan.

Ratemi tewas di tangan Adipati Sobrang Karang dan menyebabkan Adiguna menyesal, difoto: Rabu, 29 Mei 2013, foto: a.sartono
Tewasnya Ratemi meninggalkan kepedihan yang mendalam bagi Adiguna

Naskah & Foto:A. Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta