Sastra Bulan Purnama mengingatkan Gempa 7 Tahun lalu

Untuk memberi closing pada acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-21, akan ditampilkan fragmen pertunjukan teater dengan lakon ‘Madekur Takeni’, di Concert Hall Taman Budaya, Yogyakarta pada Rabu dan Kamis, 29-30 Mei 2013 .

Septi Shinta Sunaryati tampil membacakan puisi karyanya dalam Sastra Bulan Purnama 21 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto Sartono
Septi Shinta Sunaryati

Sastra Bulan Purnama edisi ke-21 yang diselenggarakan Tembi Rumah Budaya, Minggu 26 Mei 2013, ternyata bertepatan dengan 7 tahun peristiwa gempa hebat di Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei 2006. Pemda Bantul dan juga sejumlah komunitas pada malam itu, di tempat yang berbeda, termasuk di Pendapa Parasamya, Kabupaten Batul, menyelenggarakan acara untuk ‘mengenang 7 tahun gempa’. Maka tanpa disengaja, Sastra Bulan Purnama malam itu sekaligus untuk mengenang gempa.

Sastra Bulan Purnama yang menampilkan penyair 4 generasi, dari generasi 70, 80, 90 dan 2000-an, dan hanya hadir 3 generasi, dibuka oleh seorang penyair dari generasi 1970, Soeparno S Adhy, yang sehari-harinya menjadi redaktur harian Kedaulatan Rakyat. Rupanya, Soeparno tidak bisa melupakan Umbu Landu Paranggi, penyair dari Sumba, yang cukup lama tinggal di Yogya dan menjadi ‘pengasuh’ para penyair muda Yogya pada tahun 1970-an, termasuk Soeparno S Adhy.

Lima puisi dibacakan oleh Soeparno, puisi pertama berjudul ‘Umbu’. Puisi ini memang untuk penyair Umbu Landu Paranggi, yang sekarang tinggal di Bali. Sebagai teman sekaligus murid Umbu di bidang puisi, meski sudah 40 tahun lebih, tidak bisa melupakan Umbu. Bahkan, setiap menyebut kata puisi, seolah sekaligus menunjuk Umbu Landu Paranggi. Kita kutipkan puisi itu:

Mergita membaca puisi dalam Sastra Bulan Purnama 21 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Margita

UMBU

puisi membiusmu
pertaruhan waktumu
gemuruh sepi yogya-bali

puisi menyita usiamu
merampas urat batinmu
merampok sendi nadimu
hingga tandas hingga tuntas
tak tersisa selain napas

Soeparno membaca dengan suara datar, tak ada gejolak maupun ekspresi. Dia ‘sepenuhnya membaca’ puisi. Kita memang bisa mengerti, bahwa tidak setiap penyair sekaligus pembaca puisi yang hebat. Kita bisa menemukan banyak penyair, puisinya bagus, dan ketika dibacakan oleh penyairnya terasa tidak hidup, tetapi ketika dibacakan oleh seorang aktor, puisinya seperti memiliki ‘nyawa’.

Lain lagi dengan penampilan seorang penyair muda, yang masuk kategori generasi tahun 2000-an, yakni Septi Shinta Sunaryati. Ia ‘menghidupkan’ puisi yang dibacakan. Lebih dari 5 puisi dibacanya dengan penuh gairah.

Puisi-puisi yang dibacakan Septi, antara lain ‘Tentang Pagi’, ‘Kembang Api’, Tentang Rumah Kita’ diekspresikan dengan wajahnya, gerak tangan dan anggota tubuh lainnya, seperti untuk menghadirkan ‘kehidupan’ puisi itu sendiri.

Margita tampil mengawali membaca puisi dengan puisi berjudul “Malam Tahun Baru Di Kotaku’. Suara Margita keras, mantap seolah hendak memberikan ‘daya’ pada puisinya. Puisi yang ditulis pada tanggal 1 Januari 2012 ini memberikan kisah mengenai peringatan tahun baru, bukan di kota dia tinggal, Gunung Kidul, melainkan Yogya;

Soeparno S Adhy, penyair generasi 1970 membaca puisi dalam acara Sastra Bulan Purnama 21 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Soeparno S Adhy

“dari jalan Solo goyangan dangdut berdendang;
sampai Kotabaru, nyanyian jiwa rock terhidang” seru Margita

Pada puisi yang berjudul ‘Bola-Bali, Pola-Poli’ Margita membaca dengan ekspresi yang sungguh-sungguh. Dia menggerakan kepala, badan dan tangganya, ketika kata puisi menyebut kata ‘berulang-ulang, berkali-kali’. Seolah Margita sedang ‘memeragakan’ apa itu ‘bola-bali, pola-poli’. Mudah-mudahan, bukan sebagai kata gelap, yang tidak memiliki makna.

Seorang penyair yang ikut membacakan puisi karya Margita ialah Umi Kulsum. Selain itu ada 2 penyair membacakan puisi karya Separno S Adhy, Titi Yulianti membacakan puisi berjudul ‘Hari Puisi’ dan Anes Prabu membacakan puisi berjudul ‘Tragedi Veteran Pejuang RI’. Tidak ketinggalan, Pedro dengan gitar akustik menyanyikan 4 lagu yang menggubah 3 puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi dan 1 puisi karya Masroom Bara.

Sastra sebagai ekspresi budaya memang bisa memberikan kisah mengenai banyak hal. Ia mengalirkan narasi dengan kata dan visual. Dan Sastra Bulan Purnama khususnya dan Tembi Rumah Budaya memberi ruang untuk ‘mengalirkan’ ekspresi budaya itu.

Orkes Madun yang dimainkan oleh Gabungan Teterawan Yogya tampil dalam Sastra Bulan Purnama 21 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Salah satu adegan Orkes Madun

Untuk memberi closing pada acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-21, akan ditampilkan fragmen pertunjukan teater dengan lakon ‘Madekur Takeni’, di Concert Hall Taman Budaya, Yogyakarta pada Rabu dan Kamis, 29-30 Mei 2013 .

Ons Untoro
Foto: Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta