Seminar Wayang di Universitas Negeri Yogyakarta,
Mendapatkan Pencerahan dari Ajaran Wayang

Seminar Wayang Museum Pendidikan Indonesia di Rektorat UNY, Sabtu 11 Mei 2013, sumber foto: Suwandi/Tembi
Cak Kirun tampil sebagai pembicara

Wayang bagi masyarakat memiliki dua dimensi harapan. Pertama, masyarakat memperoleh hiburan sebagai pelepas kepenatan akibat menghadapi kejenuhan hidup. Kedua, dengan wayang masyarakat juga mengharapkan bisa memetik nilai-nilai tertentu yang bermanfaat dalam menjaga atau meningkatkan kualitas hidup keseharian mereka.

Kualitas hidup tidak bersifat lahiriah, tetapi batiniah (spiritual). Oleh karena itu, nilai tontonan dan tuntunan sebagai dua hal yang saling berkaitan dalam pertunjukan wayang. Demikian pendapat Prof Dr Suminto A Sayuti, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam seminar nasional bertema “Wayang sebagai Media pencerahan Kemanusiaan” yang diselenggarakan oleh Museum Pendidikan Indonesia (MPI) UNY pada Sabtu, 11 Mei 2013.

Lebih lanjut Suminto memaparkan bahwa wayang secara sosiologis bisa memerankan fungsinya yang bersifat komunikatif. Artinya, melalui pagelaran wayang bisa saja dipropagandakan berbagai hal sejalan dengan kapabilitas dan kewenangan wayang sebagai seni.

Berbagai macam nilai bisa disosialisasikan melalui pagelaran wayang. Nilai yang bersifat filosofis-transendental, lanjut Suminto, dipetik masyarakat penonton tidak hanya dari cerita atau lakon, tetapi juga melalui elemen-elemen lain yang memang diperlukan kehadirannya dalam pagelaran wayang, seperti properti, karawitan, sulukan, syair-syair yang dikumandangkan, baik oleh niyaga (penabuh gamelan) maupun waranggana (penyanyi wanita).

Seminar Wayang Museum Pendidikan Indonesia di Rektorat UNY, Sabtu 11 Mei 2013, sumber foto: Suwandi/Tembi
Para peserta seminar

Selain itu wayang juga merupakan sebuah situs ideologis yang di dalamnya berbagai ideologi bertarung, saling meniadakan, saling melengkapi, dan saling memperkaya hingga akhirnya tercapai keseimbangan dalam harmoni yang dibingkai estetisasi pergelaran.

Seminar yang diselenggarakan di Gedung Rektorat UNY ini juga menampilkan dua pembicara lain, yakni Ir Yuwono Sri Suwito MM, (budayawan) dan HM Shakirun (pelaku budaya) atau yang lebih dikenal sebagai Cak Kirun (seniman ludruk) asal Jawa Timur.

Menurut Yuwono, pencerahan dalam ajaran wayang tidak hanya dari lakon saja tetapi juga bisa lewat gendhing maupun wayang. Ajaran pencerahan dalam pagelaran wayang itu sendiri, terdapat pada pathet 6, pathet 9, dan pathet manyura. Masih menurut Yuwono, alumni Fakultas Teknik UGM ini menyampaikan bahwa fungsi pagelaran wayang, awalnya sebagai penghormatan kepada arwah nenek moyang. Namun akhirnya lebih fokus menjadi tontonan. Bahkan di era globalisasi ini lebih bersifat traditional art dan telah mengarah ke pseudo traditional art.

Menurut Cak Kirun, yang penyampaiannya banyak diselingi banyolan dan humor, wayang tidak akan punah, justru semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Justru sebenarnya wayang bisa menghidupi orang-orang yang bersinggungan dengan wayang, mulai dari dalang, niyaga, waranggana, perajin, dan lainnya.

Nilai ajaran dalam wayang yang menjadi sumber pencerahan bagi penonton sebenarnya sudah dikuasai oleh dalang. Maka Cak Kirun sebenarnya termasuk seniman yang tidak setuju, ketika dalam pagelaran wayang, ada bintang tamu dan selingan kesenian lain seperti campursari dan sejenisnya.

Seminar Wayang Museum Pendidikan Indonesia di Rektorat UNY, Sabtu 11 Mei 2013, sumber foto: Suwandi/Tembi
Sapto Sopawiro, dalang asal Suriname, menyampaikan pendapat

Seminar wayang ini dilaksanakan oleh MPI UNY bekerjasama dengan Panitia Dies Natalis UNY ke-49, dan Barahmus DIY. Hadir dalam seminar 283 peserta. Salah satunya adalah Sapto Sopawiro, satu-satunya dalang asal Suriname.

Suwandi



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta