Mengintip Manajemen Seni di Tembi Rumah Budaya

Jika penghuni atau tuan rumahnya tidak ramah, maka dapat dipastikan bahwa tamu tidak akan pernah datang. Untuk itu setiap warga instansi Tembi wajib hukumnya menjadi ramah dan melayani tamu dengan sebaik-baiknya.

N.Nuranto sebagai narasumber dari Tembi Rumah Budaya berfoto bersamapeserta diskusi Manajemen Seni, lokasi pemotretan: Rumah Dokumentasi/Museum Tembi Rumah Budaya, difoto: Sabtu, 25 Mei 2013, foto: a.sartono
Owner Tembi, N Nuranto (nomor lima dari kiri)
bersama peserta diskusi Manajemen Seni dari UNES

Ada hal yang menarik dari Tembi Rumah Budaya dalam kacamata sebagian mahasiswa S2 Universitas Negeri Semarang (UNES). Para mahasiswa tersebut kemudian sengaja berkunjung ke Tembi untuk berbincang-bincang masalah manajemen seni. Kunjungan mereka lakukan pada Sabtu siang, 25 Mei 2013. Kunjungan mereka ini lebih dikhususkan untuk observasi dan berbincang-bincang mengenai manajemen seni yang selama ini dijalankan Oleh: Tembi Rumah Budaya.

Bagi mereka mengelola sebuah instansi kebudayaan atau kesenian tidaklah mudah, bahkan lebih sulit daripada mengelola sebuah industri. Hal ini didasarkan pada pengamatan mereka selama ini bahwa ada cukup banyak contoh dan kasus lembaga-lembaga kebudayaan tumbuh namun tidak lama kemudian mati atau setengah mati, dan kadang pingsan dalam waktu lama. Hal seperti itu dalam kacamata mereka tidak terjadi di Tembi. Untuk itulah mereka mencoba mencari tahu resepnya dari owner Tembi sendiri, N Nuranto.

Intinya manajemen sebuah lembaga kebudayaan tidak jauh beda dengan manajemen rumah tangga. Sisi keuangan memang sangat menentukan. Untuk itu, tutur N Nuranto, sisi ini perlu penanganan yang sangat serius, sangat tertib, sangat disiplin, dan sangat cermat serta tegas.

Karena itu, meski sebagai owner jika ia jajan di Tembi, ia juga bayar, demikian juga karyawan. Hal ini untuk mendidik dan menunjukkan bahwa sekalipun ia owner, namun instansi harus dia perlakukan sebagaimana mestinya sebuah instansi yang benar. Dengan demikianlah instansi dapat tetap terus hidup.

Pada sisi pengelolaan atau manajemen person-person senimannya, bagi para mahasiwa UNES hal demikian juga tidak mudah. Hal ini didasarkan pada pengalaman bahwa umumnya para seniman bersikap atau berperilaku eksentrik, susah diatur, egonya demikian besar, dan seterusnya. Padahal Tembi mengelola atau selalu berhadapan dengan seniman-seniman demikian itu, bagaimana sistem manajemen yang diterapkan agar semuanya dapat berjalan dengan baik. Demikian pertanyaan mendasar mereka.

N.Nuranto dan Anindya Barata dari Tembi Rumah Budaya sedang memberikan keterangan mengenai manajemen seni kepada para mahasiswa S2 dari UNES, difoto: Sabtu, 25 Mei 2013, foto: a.sartono
Staf Tembi Anindya Barata dan N Nuranto
tengah memberikan keterangan kepada peserta diskusi

Atas pertanyaan itu, Tembi punya resep bahwa mendengarkan apa yang dimaui atau diharapkan seniman merupakan salah satu kunci utamanya. Setelah didengarkan kemudian dicarikan jalan atau media yang dirasa pas untuk menyalurkan apa yang dimaui seniman. Sebaliknya, seniman juga diajak berdialog dan belajar menerima hal lain di luar dirinya. Menerima sebuah sistem yang diterapkan instansi. Instansi pun belajar untuk membuat manajemen yang elastis. Ibarat bermain layang-layang. Ada kalanya benang dilonggarkan sedemikian rupa sehingga sang layang-layang bisa “lepas” ke angkasa. Ada kalanya benang ditarik kencang agar layang-layang mendekat dan tidak “hilang” tanpa kendali.

Keramahan dan pelayanan kepada orang lain juga menjadi faktor penentu. Lembaga ibarat rumah. Jika penghuni atau tuan rumahnya tidak ramah, maka dapat dipastikan bahwa tamu tidak akan pernah datang. Untuk itu setiap warga instansi Tembi wajib hukumnya menjadi ramah dan melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian tamu akan kerasan, terkesan, dan suatu ketika akan kangen untuk datang lagi ke Tembi.

Manajemen seni juga berhubungan erat dengan rasa, kata Nuranto. Pengelolaan rasa juga bukan merupakan hal yang mudah. Rasa dan pikiran harus dipaduharmoniskan sehingga semuanya bisa berjalan dengan seiring sejalan.

Manajemen tidak hanya berkutat dengan teori. Kasus dan fakta di lapangan sangat sering tidak sesuai dengan teori. Praktek dan penerapan manajemen di lapangan butuh banyak keluwesan yang cerdas, taktis, tegas, sekaligus santun. Lebih-lebih untuk lembaga yang mengelola kebudyaaan atau kegiatan dan produk kesenian.

A Sartono
foto:A Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta