Kemanusiaan Soegija

Kemanusiaan Soegija

Tidak perlu mengkerutksn dahi. Enak melihatnya, tak lupa menghadirkan kelucuan, tetapi tidak bersifat melawak. Anak-anakpun, setidaknya anak SD kelas 5 dan 6, bisa mengerti film yang ringan ini. ‘Soegija’, demikianlah judul film yang diputar perdana pada 7 Juni lalu di gedung bioskop 21.

Kisah lucu bisa dilihat pada dialog antara Toegimin (Butet Kertarajasa) dan Uskup Soegijapranoto (Nirwan Dewanto). Dialog sederhana seorang rakyat pada pemimpin yang dihormati, memberi kesan, seorang pemimpin memperhatikan anak buahnya dalam arti sesungguhnya. Atau, adegan lucu sekaligus dibuat dramatis. Maka, menjadi dramatic menggeliakan, seorang anak Ling Ling, namanya, merindukan ibunya, semenjak dibawa tentara Jepang belum juga pulang. Memutar musik, Ling Ling berdoa supaya bisa dipertemukan dengan ibunya. Doa belum usai, ibunya muncul dari belakang dan Ling Ling, dan juga ibunya menumpahkan kerinduannya.

“Ah, lucu kayak di film aja’ komentar seorang penonton dalam suasana orang menikmati film, mungkin ada yang terharu melihat adegan Ling Ling bertemu ibunya.

Kisah-kisah lucu dalam film Soegija dihadirkan ditengah perang berkecamuk di Jawa. Pada masa perang, dan Belanda masih menduduki tanah Jawa, Soegijapranoto ditahbiskan sebagai Uskup pribumi yang pertama. Ternyata kehadiran Uskup Soegija tidak hanya untuk warga Katolik, tetapi Soegija sendiri mengambil peran sebagai anak bangsa yang berjuang demi untuk kemanusiaan.

Kemanusiaan Soegija

Maka, ketika tentara Jepang menyerang Jawa dan hendak menduduki gereja untuk dijadikan markas, Soegija menolaknya. Karena gereja adalah tempat suci, dan jika tentara Jepang ingin memakai gereja sebagai markas, Soegija meminta tentara Jepang memenggal kepalanya lebih dulu, baru sesudah itu gereja bisa mereka gunakan.

Latar sejarah perang mewarnai kehadiran Soegija, sehingga melihat film Soegjia bisa menemukan keharuan sekaligus ketakutan, atau lebih parah lagi, memiliki kebencian terhadap penjajah, dalam hal ini bangsa Belanda dan Jepang. Kedua bangsa ini, dengan kejamnya menyiksa rakyat sipil. Orang yang melihatnya bisa membayangkan penderitaan rakyat pada masa penjajahan dulu.

Di tengah penderitaan rakyat dan tidak berdaya, hadir seorang Soegija, Uskup pribumi pertama yang melindungi masyarakat, bukan hanya warga katolik, tetapi siapa saja yang menjadi korban dari penjajahan Belanda dan Jepang. Soegija, ‘menampilkan’ diri sebagai wakil dari Vatikan yang memiliki otoritas keagamaan di negeri yang terjajah.

Rasanya, dari film Soegija, kita bisa merasakan, betapa bergunanya agama untuk kepentingan kemanusiaan. Agama ‘dihadirkan’ oleh Soegija, bukan sebagai agama yang ‘beringas’ ikut angkat senjata, dan meniru tentara penjajah; membunuh menggunakan senjata. Tetapi, oleh Soegija, agama dipraktikan dalam bentuk kasih yang sebenarnya. Dan karena kasih, Soegija tidak gentar menghadapi, Nobuzuki (Suzuki) seorang tentara Jepang yang kejam atau juga, Robert (Wounter Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu merasa sebagai mesin perang.

Kemanusiaan Soegija

Film Soegija, ini memang tidak menghadiran Soegijapraonto secara utuh, karena memang bukan film biografi. Laiknya catatan harian yang dibuat oleh Soegijapranoto, film ini memang berangkat dari catatan harian Soegijapranoto yang diberi konteks sejarah penjajahan, sehingga memberikan makna baru dari catatan harian Soegijapranoto. Kalimat yang dikutip dalam catatan harian Soegijapranoto, misalnya, “Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat-istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar”.

Rasanya, kamusiaan itulah yang melandasi Soegija mengambil sikap dan berpihak pada Republik.

Ons Untoro

Foto2 browsing dari google




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta