Tembi

Berita-budaya»AHLI WARIS BUDAYA DUNIA

24 Nov 2011 07:36:00

AHLI WARIS BUDAYA DUNIADemikianlah, judul tulisan ini merupakan judul buku, yang didiskusikan Selasa (22/110 lalu di ruang diskusi Prodi Kajian Budaya dan Media Pasca Sarjana UGM, dengan menghadirkan narasumber Hilmar Farid dan Jennifer Lindsay. Diskusi dimoderatori Kris Budiman, pengajar di Kajian Budaya dan Media. Jennifer sekaligus bertindak sebagai editor buku ini. Pada subjudul, ada ‘kalimat menjadi Indonesia 1950-1965’. Karena buku ini, meskipun ditulis oleh banyak orang, tetapi bukan sebagaimana kebanyakan buku kumpulan karangan, melainkan hasil riset pada periodisasi yang telah disebut diatas.

“Melalui buku ini kita akan melihat periode 1950-1965, dengan cara pandang baru, atau cara pandang berbeda. Karena selama ini, pada periode itu yang dilihat selalu peristiwa 1965” ujar Jennifer Lindsay.

Hal yang menarik, setidaknya seperti disampaikan Jennifer, masing-masing peneliti saling melakuan tukar data atau informasi, sehingga masing-masing saling melakukan ‘kerjasama’ dalam menulis untuk buku ini. Pada periode itu juga, demikian Jennifer, kita sengaja tidak menyoroti Lekra, karena sudah banyak orang menulis soal itu.

Hilmar Farid, melihat buku ini bukan sebagai kebanyakan teks yang cenderung menatap hasil akhirnya, tetapi melupakan proses dan detil lisan lainnya. Dia mengatakan Teleologi dalan sejarah, menjelaskan gejala berdasarkan hasil akhirnya. Dia contohkan, misalnya menjelaskan ‘pergerakan nasional’ mengacu pada Republik Indonesia, yang dibentuk 1945, dan mengabaikan kekhususan dari pergerakan itu sendiri.

AHLI WARIS BUDAYA DUNIA“Sama halnya dengan sejarah kebudayaan 1950-1965 yang dilihat berdasarkan apa yang terjadi kemudian: G-30-S dan pembataian massal, serta munculnya orde baru” kata Hilmar Farid

Buku ‘Ahli Waris Budaya Dunia’ ini menarik, tetapi sedikit menggelisahkan bagi Halimar Farid, karena inisiatif penulisan buku ini malah datang dari orang lain, bukan dari kita sendiri.

“Hal yang perlu dipikirkan sekarang bagaimana sarjana Indonesia sendiri membuat inisiatif semacam ini, dan mementukan sendiri agenda penelitiannya.” Kata Hilmar Farid.

Buku ini memuat tulisan dari 18 penulis, diantaranya Keith Foucher, Tony Day, Hairus Salim, Budiawan, Melani Budianta, Choirotun Chisaan dan sejumlah penulis lainnya. Hairus Salim, menulis dengan judul ‘Muslim Indonesia dan Jaringan Kebudayaan’. Choirutun Chisaan menulis dengan judul ‘Pencarian identitas kebudayaan Islam Indonesia 1956-1965’.

MenAHLI WARIS BUDAYA DUNIAyangkut judul buku ‘Ahli Waris Budaya Dunia’ apa yang ditulis oleh Jennifer Lindsay pada pengantar, kiranya bisa menjelaskan. Dengarkan apa yang dia lantunkan:

“Pada 18 Februari 1950 – kurang dari dua bulan setelah pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia—sehimpunan seniman (para penulis yang tergabung dengan mingguan Siasat semua laki-laki) melansir Surat Kepercayaan Gelanggang. Nama Gelanggang diambil dari suplemen kebudayaan di dalam mingguan Siasat. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat mengesankan: ‘Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,’

Dari kalimat di atas, Jennifer Lindsay meneruskan dengan perkataan:

“Ada banyak hal yang menarik dalam pernyataan ini (diatas, pen), tetapi akan saya kemukakan tiga saja. (Dan salah satunya dikutipkan ini, pen).Pertama, adalah mengagumkan bahwa kata-kata pembuka pernyataan pertama menyangkut kebudayaan Indonesia ini menekankan konteks dunia. Sejak awal, para penulis Surat Kepercayaan Gelanggang ini mengakui proyek kebudayaan nasional Indonesia bersifat internasionalis; Indonesia menempatkan dirinya di dunia. Pernyataan itu memancarkan keyakinan diri mengenai tempat kebudayaan Indonesia di dunia – para seniman dan pemikirnya, atau orang Indonesia semua (‘kami’) adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia – bukan anak haram yang harus memperjuangkan hak-haknya. Dan kebuadayaan Indonesia jelas dilihat di sini di dalam kerangka interaksi terus-menerus dengan dunua—ia adalah warisan yang kami teruskan ‘dengan caranya sendiri’.”

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta