Sengkuni, Sang Patih Licik (2)

Jika Destarastra sudah marah seperti itu, Sengkuni ketakutan. Ia diam tak melanjutkan kata-katanya. Pasalnya adipati Gajahoya tersebut mempunyai aji lebur sekethi, yang dapat menghancurleburkan apapun yang berada di depannya, hanya dengan rabaan telapak tangannya.

Sengkuni dalam bentuk wayang kulit, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Sengkuni dalam bentuk wayang kulit,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)

Sebagai Patih, Sengkuni dapat dengan leluasa mengatur dan menyusun strategi agar Negara Hastinapura tidak dikuasai oleh keturunan Pandu. Bersama Dewi Gendari, kakaknya, Sengkuni ingin mempersiapkan putra-putra Gendari menduduki tahta Hastinapura. Oleh karenanya mereka membujuk agar Raja Destarastra mengangkat putra sulungnya yang bernama Duryudana menjadi putra mahkota.

“Tidak bisa Sengkuni. Anakku Duryudana tidak berhak atas tahta Hastinapura. Tahta ini titipan adikku Pandu. Oleh karenanya kelak jika anak-anak Pandu sudah dewasa, aku akan menyerahkan tahta Hastinapura kepada mereka. Tidak kepada anakku Duryudana,” kata Destarastra.

“Ampun Kakanda Prabu, sesungguhnya sejak awal tahta ini menjadi hak Kakanda Prabu, bukankah Kakanda Prabu adalah saudara sulung laki-laki?” Sengkuni mencoba meluruskan pemahaman Destrarastra yang dianggap tidak tepat.

“Sengkuni, jangan mencoba menghasut aku. Walaupun aku sebagai saudara tertua, fisikku tidak sempurna, aku cacat, tidak dapat melihat. Karena itu adikku Pandu yang menjadi raja,” jawab Destarastra.

Sengkuni masih berargumen, “Kakanda, jika membicarakan ketidaksempurnaan, Prabu Pandu adalah salah satunya. Bukankah beliau juga menderita cacat ‘tengeng’? Aku tidak habis pikir, mengapa Prabu Kresnadwipayana mengangkat Pandu menjadi raja”.

“Cukup Sengkuni! Jangan menyalahkan Ramanda Prabu Kresnadwipayana. Aku adalah salah satu yang mendukung diangkatnya adikku Pandu menjadi raja. Maka dari itu, jika Sengkuni menyalahkan keputusan Ramanda Prabu Kresnadwipayana, musuhnya adalah aku!” suara Destarastra lantang dan meninggi.

Jika Destarastra sudah marah seperti itu, Sengkuni ketakutan. Ia diam tak melanjutkan kata-katanya. Pasalnya adipati Gajahoya tersebut mempunyai aji lebur sekethi, yang dapat menghancurleburkan apapun yang berada di depannya, hanya dengan rabaan telapak tangannya.

Sengkuni pun beringsut, ia mencari posisi yang aman dari jangkauannya. Dalam suasana seperti itu, Gendari tanggap. Ia segera menjalankan perannya sebagai prameswari yang sabar dan keibuan. Dengan usapan lembut dan dekapan hangat, Destarastra sebagai laki-laki tak mampu menolaknya ketika Gendari menuntunnya memasuki tilamsari.

Demikianlah kedua kakak beradik tersebut saling bahu-membahu menjalankan rencananya untuk menyingkirkan para Pandawa yang adalah anak keturunan Pandu dan mengangkat para Kurawa yang adalah anak Gendari dan Destarastra, untuk menduduki tahta Hastinapura.

Langkah pertama yang ditempuh Sengkuni adalah mempengaruhi Destarastra agar merubah cara pandangnya, bahwasanya pewaris tahta Hastinapura adalah Destarastra, bukan Pandu. Sehingga dengan demikian sudah sepantasnya jika Destarastra mengangkat anak sulungnya Duryudana menjadi putra mahkota.

Walaupun Destarastra bersikukuh, bahwa Negara Hastinapura adalah titipan Pandu, Sengkuni dan Gendari dapat mendudukkan Duryudana sebagai Prabu Anom atau Pangeran Adipati, calon Raja Hastinapura.

Sengkuni mempunyai pusaka Cis, wujudnya tombak pendek, untuk memerintah gajah. Pusaka tersebut mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah.

Sengkuni menikah dengan Dewi Sukesti putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama: Arya Antisura atau Arya Surakesti, Arya Surabasa dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri oleh Raden Udawa seorang Patih Negara Dwarawati, anak Demang Widarakandang.

Herjaka HS




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta