Kata-Kata "Panas" dari Beberapa Tembok Jogja
Peringatan berupa tulisan ada yang dikemas dalam kalimat yang santun dan ramah. Ada pula yang dikemas dalam bahasa hukum yang tegas dan disertai sanksi yang jelas pula. Namun demikian ada juga model-model peringatan atau himbauan yang bernada keras, sarkas, dan bahkan penuh dengan ancaman. Model-model peringatan semacam itu dapat ketia temukan di berbagai tempat. Baik itu di kota maupun di desa-desa.
Kota Jogja yang memiliki banyak lukisan mural dan juga coretan-coretan di tembok-tembok yang nyaris tak terperhatikan juga merekam model-model peringatan dalam bentuk tulisan-tulisan yang bahkan juga diberi kelengkapan berupa ilustrasi. Beberapa model peringatan dengan nada keras dan mengancam juga dapat kita temukan di sana.
Tidak ada yang tahu pasti mengapa tulisan-tulisan itu bernada mengancam atau bahkan juga bernada mencaci. Mungkin tulisan-tulisan itu dibuat karena memang memiliki alasan-alasan tertentu yang menjadi latar belakangnya. Mungkin di masa lalu atau di hari-hari lalu tulisan-tulisan atau lukisan yang mereka buat pernah dirusakkan oleh orang lain atau bahkan dihapuskan. Hal demikian mungkin membuat jengkel para kreatornya. Oleh karena itu tulisan atau lukisan yang mereka buat kemudian lantas diberi kalimat atau kata-kata yang bernada mengancam, menghardik, menggertak, atau menantang.
Kita tidak tahu seberapa perlu tulisan atau peringatan itu dikemas dalam nada mengancam, memaki, atau meledek. Bagi mereka yang memang terlibat dalam semacam ”persaingan” untuk berekspresi dengan media tembok dan cat hal itu mungkin dipandang cukup perlu. Akan tetapi tembok-tembok atau dinding rumah di pinggir-pinggir jalan sudah semestinya menjadi milik warga setempat atau kalaupun bukan milik person mestinya hal itu berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Pemkot. Jadi para pembuat lukisan dan tulisan pada tembok (mural) sudah semestinya juga mempertimbangkan hal demikian. Keterbukaan tembok-tembok tersebut setengahnya juga menjadi semacam presentasi untuk publik. Hal ini menyebabkan keberadaannya tidak sepenuhnya bebas atau lepas.
Oleh karena itu, peringatan atau tulisan yang dikemas dengan nada mengancam atau memaki mungkin tidak perlu disodorkan melalui media tersebut. Alasannya, publik pun akan dapat membaca atau melihat tersebut. Jika publik membaca hal demikian ada perasaan kurang nyaman di hati. Sepertinya, ada perasaan keterancaman. Himbauan atau peringatan tersebut mungkin akan lebih nyaman dilihat atau dinikmati jika dikemas dalam tulisan, kata, atau kalimat yang bernada lebih santun dan ramah atau bisa juga dikemas dalam nada bercanda yang lebih memberikan efek segar, akrab, lucu, dan hangat.
Barangkali pikiran orang memang tidak bisa diseragamkan. Akan tetapi kesantunan mungkin masih merupakan nilai yang akan diterima semua orang di mana pun.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- GEROBAK PENGANGKUT TEBU DI MASA LALU(21/07)
- 3 September 2010, Kabar Anyar - SUARA NUSANTARA KUA ETNIKA(03/09)
- Mecah Plastik-1 (Permainan Anak Tradisional-87)(28/08)
- 5 April 2011, Bothekan - MERANGI TATAL(05/04)
- 29 Nopember 2010, Klangenan - JEJAK-JEJAK DI UJUNG JALAN(29/11)
- White Shoes and The Couples Company Mendunia di Jalur Indie(15/12)
- Adol Welas(08/05)
- Malam Jahaman Motinggo Boosje(18/12)
- Wuku Kurantil Punya Sifat Pemboros dan Pemarah, tapi Dermawan(31/01)
- MASJID KAUMAN PIJENAN (3)(13/12)