FFD ke-11: Mengajak Bersikap Atas Sebuah Fenomena

The Mangoes mendalami sisi-sisi kelam kehidupan seorang waria yang ditolak oleh keluarganya sendiri yang tidak bisa menerima sebuah penyimpangan yang sebenarnya juga tidak dikehendaki oleh siapa pun, termasuk orang yang menderita penyimpangan itu sendiri.

Para voluntir FFD ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: a.sartono
Para voluntir yang terlibat dalam FFD 2012

Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta sebagai satu festival film tertua di Asia Tenggara telah memasuki usianya yang ke-11 di tahun 2012. Dalam usianya yang ke-11 FFD boleh berbangga karena berbagai capaiannya. Bukan hanya itu. Proses menuju pencapaian itu mungkin justru menjadi pengalaman yang amat berharga dalam rangka FFD untuk terus “menjadi”. Program-program yang terus digodog FFD seperti Kompetisi Nasional, Masterclass, Diskusi, Perspektif, Spektrum, SEADOC, Docs on Stage, dan SchoolDoc boleh jadi menjadi tunas-tunas baru yang akan menumbuhkan pohon-pohon baru yang akhirnya juga berbuah seperti FFD itu sendiri.

Kompetisi merupakan program utama FFD yang memang dirancang untuk mengembangkan apresiasi dan penghargaan karya-karya terbaik yang dihasilkan oleh para kreator. Dalam kerangka itu karya-karya para pembuat film dokumenter berkewarganegaraan Indonesia bisa mengirimkan karyanya pada kisaran bulan Mei-Oktober setiap tahunnya.

Penonton FFD ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta, foto: a.sartono
Antusiasme penonton/apresiator FFD cukup tinggi

Berdasarkan data film finalis sejak tahun 2002 hingga 2012, FFD telah memutar sebanyak 163 film yang berasal dari 33 kota dan 15 provinsi di Indonesia. Perlu disampaikan pula bahwa penyumbang film finalis terbanyak ialah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan total 55 film. Pada peringkat kedua adalah DKI Jakarta dengan 40 film. Sementara di peringkat ketiga adalah Jawa Tengah dengan 13 film.

Pada tahun 2012 ini FFD menerima 81 film untuk berkompetisi dengan rincian 14 film kategori film dokumenter panjang, 50 film kategori film dokumenter pendek dan 17 film kategori pelajar. Penjurian dilakukan pada tanggal 22-28 Oktober 2012. Para juri berasal dari Komunitas Dokumenter Indonesia, yaitu Fransiscus Apriwan, Kurnia Yudha, Michael A. Chandra, Krisna E Putranto, Surya Adhi Wibowo. Dari penjurian itu terpilihlan 19 film nominasi.

FFD ke-11 tahun 2012 ini diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta pada 10-15 Desember 2012. Film The Mangoes (Manga Golek Matang di Pohon) karya Tony Trimarsanto dijadikan sebagai pembuka acara tersebut.

Film The Mangoes berkisah tentang seorang waria yang meninggalkan kampung halamannya selama 15 tahun. Waria (Renita, dengan panggilan Reny) yang menyadari bahwa dirinya tidak seperti laki-laki normal atau perempuan normal sejak duduk di bangku kelas 3 SD ini pergi dari kampung halaman karena diusir oleh ayahnya.

Tokoh Reny dalam film The Mangoes, FFD 2012, foto: a.sartono
Reny, waria yang ditolak oleh keluarganya sendiri

The Mangoes mendalami sisi-sisi kelam kehidupan seorang waria yang ditolak oleh keluarganya sendiri yang tidak bisa menerima sebuah penyimpangan yang sebenarnya juga tidak dikehendaki oleh siapa pun, termasuk orang yang menderita penyimpangan itu sendiri. Reny tidak tahu kepada siapa harus memprotes keadaan dirinya yang terlahir sebagai pria, namun kecenderungan utamanya adalah wanita. Ia merasa bahwa tubuhnya pun tubuh wanita. Demikian juga kejiwaannya.

Hidup di Jakarta sebagai waria perantauan membuat Reny Pundagau harus berjuang ekstra keras. Setelah sukses ia merasa rindu pulang kampung. Reny siap untuk ditolak (kembali) oleh keluarganya. Apa boleh buat, ia tidak mampu mengubah dirinya menjadi pria sejati atau wanita sejati sekalipun sesungguhnya ia benar-benar tidak menghendaki menjadi waria. Reny terpaksa menerima kenyataan dirinya. Kenyataan yang dtiolak banyak orang. Kenyataan pahit yang bahkan dinajiskan oleh banyak orang.

The Mangoes merupakan film yang sangat inspiratif dan reflektif. Tekanan reflektif itu terasa begitu kuat dalam dialog-dialog yang dilakukan Reny dengan sahabatnya, Sasa, yang pada intinya mempertanyakan tentang eksistensi waria yang selalu ditempatkan pada persilangan pendapat antara boleh dan tidak boleh. Sementara jalan keluar dari silang pendapat ini tidak juga mampu memberikan solusi yang terbaik bagi mereka yang memang tidak berdaya dalam ”penjara kewariaan” mereka.

Tokoh Reny dengan sabahatnya, Sasa, dalam film The Mangoes, FFD 2012, foto: a.sartono
Reny (mungkin) hanya bisa mendapatkan sahabat sejati dengan sesama waria

Napoleon pernah berkata bahwa dunia ini banyak menderita, bukan saja karena akibat kekerasan orang-orang jahat, tetapi karena kebisuan orang-orang baik. Dengan demikian tentu mengambil sikap atas sebuah fenomena menjadi salah satu kunci atau jalan menuju kebaikan.

a.sartono

Sumber: Katalog FFD 11, 2012.

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta