- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»ETIKA PUBLIK, UNTUK PEJABAT PUBLIK DAN POLITISI
01 Nov 2011 07:48:00Satu diskusi buku diselenggarakan di ruang diskusi lantai 4, Perpustakaan Universitas Atmajaya, Babarsari, Yogyakarta, Jum’at (28/10) lalu. Buku yang dibahas berjudul ‘Etika Publik, untuk integritas pejabat publik dan politisi’, karya Dr. Haryatmoko. Narasumber yang dihadirkan, Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Direktur Program Pasca Sarjana dan dosen Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, serta Dr. Haryatmoko, penulis buku.
Bagi Haryatmoko, etika publik untuk melakukan pencegahan dan pendidikan untuk para pejabat publik dan politisi. Selain itu untuk membentuk habitus baru.
Kalau berbicara tentang etika publik, demikian Haryatmoko, tidak bisa hanya berhenti pada norma moral dan subyek moral, namun harus memperhitungkan dimensi-dimensinya. Etika publik memiliki tiga dimensi yang digambarkan dalam segitiga yang mengacu ke tujuan, sarana dan tindakan.
“Etika publik adalah bagian dari etika politik. Etika politik didefinisikan sebagai upaya hidup baik (memperjuangkan kepentingan publik) untuk dan bersama orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang lebih adil” ujar Haryatmoko.
Disampaikan oleh Haryatmoko, tiga dimensi etika politik adalah tujuan (policy), sarana (polity) dan aksi politik (politics). Dari tiga fenisi itu, Haryatmoko menerjemahkan kedalam versi tiga dimensi etika publik,yaitu pertama tujuan (upaya hidup baik) diterjemahkan menjadi ‘menguasahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan publik yang berkualitas dan relevan. Kedua, sarana : membangun institusi-institusi yang lebih adil dirumuskan sebagai membangun insfratuktur etika dengan menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi, dan netralitas pelayanan publik. Ketiga aksi/tindakan dipahami sebagai ‘integritas publik’ untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.
Sementara Riawan Tjandra melihat, etika publik kini semakin menjadi persoalan yang tak habis-habisnya diperdebatkan di ranah publik dengan kecenderungan yang bahkan menuju pada banalitas diskursus etika publik. Dengan tegas buku etika publik menyatakan adanya korelasi langsung antara etika publik dengan pelayanan publik.
‘Buku Etika Publik memposisikan etika publik sebagai sebuah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab” kata Riawan Tjandra.
Hal yang tak diangkat di dalam buku Etika Publik karya Haryatmoko, demikian Riawan Tjandra, namun bisa dianalisis menggunakan pendekatan etika publik yang ditawarkan buku ini adalah paradoks manajemen publik dalam reshufel kabinet.
“Pada aras street level bureaucracy pemimpin negeri gencar mempromosikan reformasi birokasi bahkan melakukan moratorium PNS. Namun, di aras puncak sistem pemerintahan sektoral pada ranah kementrian terjadi penggelembungan elite birokrasi dengan adanya penambahan struktur wakil mentri dalam jumlah yang cukup mengejutkan” ujar Riawan Tjandra.
Buku setebal 217 halaman yang terdiri dari VI bab ini, pada sampul bagian belakang ada komentar dari Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Wakil Ketua KPK 2003-2007. Dia menuliskan komentarnya seperti bisa disimak berikut ini:
“Ketika pejabat publik bahkan tidak mampu memisahkan dengan tegas dan jelas antara wilayah publik dan wilayah pribadi, maka etika publik menjadi sangat relevan untuk diajarkan. Contohnya: tindakan menguak kemacetan dengan paksa demi kenyamanan pribadi, menetapkan hubungan aktif antara penguasaan anggaran dan kesejahteraan pribadi atau kelompok, membuat keputusan segera demi keselataman diri semata, berkolusi demi komisi, dan bahkan ketidakpahaman atau ketidakpedulian terhadap makna dan cara menghindari benturan kepentingan. Itu semua berkorelasi negative terhadap mutu pelayanan publik, karena bukan saja karena mereka tidak menghayati etika publik, mereka bahkan tidak tahu etika publik. Semuanya berpulang pada keteladanan para pemimpin, karena mustahil rakyat meneladani para pemimpin”.
Pada bagian kesimpulan, khususnya pada aliena terakhir, apa yang dikatakan Haryatmoko barangkali bisa menjadi bahan renungan:
“Memahami kesengsaraan itu berarti membangun kedekatan dengan liyan itu sendiri. Wajah mengungkapkan kerentaan liyan (pihak lain) sebagai bentuk perintah untuk menolong atau bertanggung jawab. Dengan menjawab ajakan liyan, yang rentan terhadap kekerasan ini, kesadaran ‘aku’ terusik tanpa harus mengandalkan pada keputusan subyek. Subyektivitas dan tanggung jawab adalah sinonim yang diwarnai oleh kekhasannya, yaitu tak ada kata diam menghadapi penderitaan liyan.”
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Pentas Baca Sastra Jawa di Tembi Rumah Budaya(20/04)
- Kancil yang Celaka(12/09)
- 27 April 2010, Ensiklopedi - DOLANAN LOWOK(27/04)
- Kendhit Mimang Kadang Dewa(29/05)
- 21 Juni 2010, Kabar Anyar - Perumpamaan Biji Padi(21/06)
- Salah Kaprah Bahasa Jawa. Kontroversi Benar-Salah Bahasa Jawa(13/07)
- SITIHINGGIL TAHUN 1935(17/10)
- 5 Februari 2011, Jaringan Museum - MENGENAL MUSEUM-MUSEUM DI SUMATRA, NTT, DAN NTB(05/02)
- Denmas Bekel(26/05)
- Memahami Tubuh Tradisi(18/05)