Dulu Ingin Merdeka Kini Ingin Adil

Dulu Ingin Merdeka Kini Ingin Adil

Protes sosial yang selama ini terjadi di Indonesia selalu ‘menelan’ korban. Kita bisa melihat, pada protes sosial yang dilakukan mahasiswa tahun 1974, dan dikenal dengan sebutan ‘Malari’, menelan dua orang korban, yakni Hariman Siregar dan Syahrir. Keduanya masuk penjara karena dituduh mempimpin gerakan protes itu. Dalam kontkes kekuasaan, sesungguhnya keduanya bukan korban, melainkan dikorbankan.

Hal di atas hanyalah salah satu contoh bagaimana kekuasaan merespon protes sosial warga masyarakat dengan membungkam. Pada protes sosial tahun 1966, kita bisa melihat seorang Mahasiswa, Arif Rahman Hakim namanya, menjadi korban, dan namanya terus dikenal sebagai mahasiswa yang dikorbankan. Bukan oleh temannya, melainkankan oleh kekuasaan.

Pada tahun 1980-an protes sosial dilakukan oleh mahasiswa dalam bentuk diskusi. Kita tahu, pada tahun 1980-an muncul Kelompok Studi di kampus-kampus, yang memiliki sikap kritis dan disalurkan melalui diskusi-duskusi. Sikap kritis itu, oleh kekuassan dianggap sebagai bentuk dari protes sosial, yang menolak kemapanan. Susahhnya, pada rezim orde baru menolak kemampanan diartikan sebagai anti Pancasila dan menolak pembangunan. Karena itu dianggap subversive.

Untuk melarang sikap kritis melelui diskusi, tiga anggota Kelompok Studi Sosial Palagan ditangkap dan dipenjarakan. Karena peristiwa itu, kegiatan kelompok diskusi surut.

Hal-hal di atas bisa kita pakai untuk memahami, bahwa protes sosial di Indonesia terus berlangsung dari generasi ke generasi, termasuk generasi pra kemerdekaan yang (me-) muncul (-kan) tiga nama, Soekarno, Hatta dan Syahrir. Ketiganya merupakan pelopor protes sosial terhadap rezim kolononial.

Protes sosial dari generasi ke generasi, selalu berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter dan menindas. Bahkan pada masa orde baru, setidaknya peristiwa 15 Januari, kekuasaan menggunakan kelompok lain di luar mahasiswa untuk menimbulkan kekacauan, misalnya dengan membakar mobil dan sejenisnya, sehingga aparat memiliki legitimasi untuk menindaknya.

Satu hal yang membedakan antara protes sosial pra kemerdekaan dan protes sosial setelah Indonesia Merdeka. Pada protes yang pertama, memang bertujuan untuk melepaskan dari penjajah dan berdiri sebagai negara sendiri, yang tentu saja sekaligus untuk memperbaiki keadaan. Pada protes kedua, setelah Indonesia merdeka, protes sosial tidak untuk mencari kekuasaan, tetapi bermaksud mengubah keadaan, meski akhirnya ada beberapa orang yang masuk dalam kekuasaan dan tenggelam di dalamnya, namun kebanyakan pelaku protes sosial tidak untuk kekusaan.

Dalam melakukan protes sosial, apalagi dalam situasi yang sudah menghimpit kehidupan rakyat. Para pelaku protes sosial bukan hanya mahasiswa, tetapai kelompok sosial lainnya, seperti buruh, petani dan lainnya. Termasuk para bandit. Pembrontakan petani di Banten, seperti pernah ditulis oleh Sartono Kartodirjo, merupakan bentuk protes sosial yang dilakukan kelompok masyarakat yang bukan dari kalangan ‘terpelajar’ pada masa itu.

Protes Sosial Dipanegara

Dalam sejarah, kita bisa membaca kisah perang Dipanegara yang berlangsung selama 5 tahun, mulai 1825-1830, yang berakhir (di-) korban (-kan)nya Dipanegara karena dikhianati oleh Belanda. Pada perang Dipanegara ini Belanda kelihatan lelah dan bukan hanya menelan banyak biaya untuk menghadapi taktik perang Dipanegara, tapi juga tidak sedikit menelan korban. Maka, untuk mengorbankan Dipanegara diajaklah berunding, namun yang terjadi bukan perundingan, melainkan Dipanegara ditangkap dan dibuang ke Sulawesi. Penangkapan dan pembuangan, pada generasi berikutnya juga dialami oleh para pemimpin negeri ini, yang melakukan protes terhadap penjajah seperti Soekarno dan lainnya.

Oleh penjajah Dipanegara disebut sebagai pembrotak, padahal dia bukan melawan Kraton, dan tidak akan membangun Kraton baru. Tetapi Dipanegara melakukan protes pada penjajah dalam bentuk melawan. Perang.

Dulu Ingin Merdeka Kini Ingin Adil

Perlawanan Dipanegara didukung oleh banyak kalangan, setidaknya seperti ditulis Peter Carey, dalam bukunya “Kuasa Ramalan’. Dukungan Dipanegara datang dari Bangsawan, Kelompok Agamawan, dan rakyat kebanyakan. Selain itu, Dipanegara tidak menolak para durjana untuk bergabung menjadi pasukan untuk menghadapi penjajah. Dalam babad Dipanegara ditulis mengenai bagaimana Dipanegara meminta untuk mengajak ‘orang-orang jahat’. Kita kutipkan satu pupuh dalam babad Dipanegara itu :

“Pangeran Dipanegara memanggil
para juru tulis beliau, yang rangkap sebagai pengasuh penasehatnya, bernama Sastraprayitna
dan Sastradimeja.
Dua-duanya sudah datang (dan) memberi hormat
Sang Pangeran berkata:
‘Bapak-bapak saya suruh
Bapak dua-duanya
Untuk membujuk orang-orang jahat di dalam negeri
Dan dari luar kota”

Dari kisah Dipanegara kita bisa melihat, bahwa protes sosial terhadap rezim yang bobrok, setidaknya seperti masa Dipanegara. Atau protes sosial karena rezim yang sedang berkuasa sangat otoriter, korup dan tidak peduli pada rakyatnya. Situasi seperti ini yang dialami masa Dipanegara dan para pelaku protes sosial lainnya.

Hanya saja, pilihan yang daimbil tidak sama. Pada masa Dipanegara dan masa pra kemerdakaan bentuk protes sosialnya bisa ditemukan ‘titik sambungnya’ yaitu perlawanan/gerilaya dan sejenisnya. Tetapi, pada rezim setelah merdeka, protes sosial bukan sekedar untuk mengganti pemimpin, tetapi merupakan upaya untuk mengubah sistem agar lebih terbuka dan peduli pada warganya. Meski untuk di Indonesia, hal seperti itu tidak terjadi. Artinya, berhasil mengganti pemipin, tetapi sistem yang (di-) jalan (-kan) bukan jenis sistem terbuka dan peduli pada warganya.

Jadi, protes sosial yang dilakukan setiap generasi pada masa yang berbeda, memiliki tujuan yang berbeda pula dan mempunyai bentuk yang tidak sama. Pada masa lalu, protes sosial dalam bentuk perlawan berupa perang dan tujuannya merdeka, setidaknya pada era pra kemerdakaan.

Namun, pada era kini, protes sosial yang dilakukan berbasis issue, misalya issue tanah, kenaikan upah, biaya pendidikan mahal dan sejenisnya, dan tidak langsung bertujuan mengganti pemimpin, tetapi lebih untuk mengoreksi sistem pemerintahan yang tidak berpihak pada warga masyarakat.

Tapi, masih ada yang bisa ditemukan dari protes sosial pada masa yang berbeda-beda, ialah (yang dianggap) pemimpin dari protes sosial menjadi (di-) korban (-kan) dari rezim yang dilawannya.

Ons Untoro

Tulisan ini pernah dimuat di majalan Warisan Indonesia edisi 15 Mei-15 Juni 2012




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta