Dolanan Layangan-1
(Permainan Anak Tradisional-78)
Layangan, demikian anak-anak Jawa menamakan sebuah permainan yang bisa terbang di angkasa. Dolanan ini termasuk salah satu permainan yang masih tetap eksis serta banyak digemari oleh anak-anak dan juga orang dewasa hingga saat ini. Bentuk layangan berbeda-beda dan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman, mulai dari bentuk maupun bahannya. Setiap daerah memiliki nama sendiri. Bahkan seluruh nusantara mengenal dolanan ini, begitu pula dengan luar negeri. Bahkan di Bali, dolanan ini berkaitan dengan alat ritual keagamaan. Di Riau disebut layang-layang kawau.
Ada banyak ragam bentuk layangan yang dibuat oleh anak-anak, seperti segi empat, kapal-kapalan, binatang, dan lain-lain. Seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk layangan akan semakin beragam dan unik. Bahkan dewasa ini sudah sering dilakukan festival layang-layang di berbagai tempat, seperti tanah lapang, pantai, pinggir danau, dan sebagainya.
Bagi masyarakat Jawa sendiri, setidaknya dolanan layangan ini sudah dikenal jauh sebelum tahun 1939. Dalam kamus Baoesastra Djawa karangan WJS. Poerwadarminta (1939) halaman 256 disebutkan bahwa layangan berarti “araning dolanan awujud dluwang didokoki ragangan diulukake tinalenan ing kenur (bolah)”. Artinya kurang lebih “nama sebuah mainan berujud kertas diberi kerangka bambu lalu diterbangkan dan diberi tali benang”.
Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak laki-laki berumur antara 5—12 tahun. Namun sering pula anak-anak usiadi atasnya banyak bermain layangan. Orang dewasa juga banyak yang senang bermain layangan. Sangat jarang anak perempuan bermain layangan. Biasanya mereka bermain di tanah lapang atau di pantai. Kadang-kadang pula dimainkan di jalan-jalan tengah kampung. Hanya saja, kalau di tengah kampung harus hati-hati karena banyak rintangan, seperti kabel listrik, bangunan, pepohonan, dan lainnya.
Anak-anak bermain di waktu siang atau sore hari. Jika liburan bisa dilakukan pada waktu pagi hari. Hari-hari yang biasa dipakai untuk bermain layangan adalah di saat musim angin. Jika di musim hujan sangat jarang, karena bisa tersambar petir. Selain itu layangan mudah basah dan rusak. Kecuali jika dimainkan di pantai, bisa kapan saja. Jika pas tidak ada angin, biasanya anak-anak sering mengundang angin dengan nyanyian “cempe, cempe, undangna barat gedhe, dak opahi duduh tape” yang artinya “cempe, cempe (anak kambing) panggilkan angin besar, nanti akan kuberi upah air tape”. Lalu dilanjutkan “cempe, cempe, undangna barat dawa, dak opahi duduh klapa” yang artinya “cempe, cempe panggilkan angin panjang, nanti akan kuberi air kelapa”. Demikian berulang-ulang dinyanyikan. Jika sudah datang angin, baru anak-anak mulai menaikkan layangan, bisa sendirian atau dengan bantuan anak lain.
bersambung
Suwandi
Sumber: 33 Permainan Tradisional yang Mendidik, Dani Wardani, 2010, Yogyakarta: Cakrawala; Permainan Tradisional Jawa, Sukirman, 2004, Yogyakarta: Kepel Press; Baoesastra Djawa, WJS. Poerwadarminta, 1939, Batavia; Pengamatan dan Pengalaman Pribadi
Artikel Lainnya :
- KUE PUTHU, NIKMAT SELAGI HANGAT(04/05)
- MENIKMATI SENSASI WARUNG JADUL SIDO SEMI, KOTAGEDE, YOGYAKARTA(30/05)
- Memilih Hari dan Tanggal untuk Berpergian(10/11)
- Sepenggal Kisah Kerusuhan Mei 1998 dalam Teater Monoplay(16/01)
- 12 Juli 2010, Klangenan - RUANG PAMER DI YOGYA:WACANA DAN VISUAL(12/07)
- 4 Februari 2010, Kabar Anyar - Pameran Senirupa Inventory Santri dan Seniman(04/02)
- 10 Desember 2010, Pasinaon basa Jawa - APA BENER DIY MONARKI? (10/12)
- PENGANGKUT MERIAM PADA PERANG JAWA (1825-1830)(03/11)
- KUJANG DAN TOMBAK PANCASULA DI MUSEUM Tembi(24/09)
- Kecelakaan Lalu Lintas(04/06)