Dari Momen, Gigih Mencipta
Proses kreatif penciptaan seorang seniman seringkali menarik dan kerap mengundang rasa penasaran. Bagaimana sebuah ide muncul, dan bagaimana sebuah karya dicipta. Termasuk proses kreatif Gardika Gigih Pradipta, komponis muda yang telah melahirkan puluhan komposisi.
Dari mana datangnya ide penciptaan karya-karya Gigih? Menurutnya, ide-ide itu biasanya datang begitu saja, tidak mengenal waktu dan tempat. “Datangnya ide itu misterius,” ujar Gigih.
Seperti tamu yang tak diundang tapi diharapkan dan dirindukan, mungkin seperti itulah ide. Ketidakdugaan ide itu membuat Gigih harus meresponnya dengan cepat. Jika tidak, ide itu menguap lenyap tanpa bisa dilacak lagi. Biasanya jika mendapatkan ide itu di jalan, sesampainya di kampus atau di rumah ia segera memainkannya dengan instrumen musik, utamanya piano. Minimal kunci petunjuknya sehingga bisa dipanggil lagi sekali waktu.
Gigih menyampaikan hal ini dalam acara Obrolan Musik Malam Hari di Museum bertajuk “a work in process, a work in progress”, 17/2/12. Sesuai dengan tajuknya, komposisi yang dimainkannya malam itu, menurut Gigih, masih berupa sketsa-sketsa yang sedang digarap untuk pementasan mendatang. Rencananya, Gigih akan mementaskan karya-karyanya di Museum Tembi Rumah Budaya pada 22 Maret 2012 yang diberi tajuk ‘Kita Memanggilnya dengan Momen’.
Nyaris semua karya yang dibawakannya malam itudimainkan dengan pengulangan (repetisi), terutama ‘Untitled’. Menurut Gigih, tema yang diulang-ulang bisa menciptakan mood yang kuat. Namun risikonya bisa jadi membosankan. Untuk menyiasatinya ia membuat selingan-selingan variasi.
Ide ‘Untitled’ menari-nari di kepala Gigih di Prawitotaman saat mengendarai motor dari tempat kosnya ke kampus ISI. Segera sesampai di kampus, ia memainkannya dengan piano agar tidak terlupa. Dalam perkembangannya, ia menyempurnakan sketsa tersebut meski menurutnya kini masih jauh dari selesai.
Meski belum berjudul, agaknya Gigih ingin membangun suasana yang hangat dalam nuansa kental. Itu sebabnya, menurutnya, ia lebih memilih cello, yang menurutnya lebih hangat ketimbang biola, untuk menemani permainan pianonya. Meski komposisinya terkesan tidak rumit, Jeremia Kimosabe Bukit —biasa dipanggil Jimmy— sebelumnya perlu memainkan cellonya selama 3 jam sehingga akhirnya mendapatkan efek yang diinginkan. Gaya meliuk cello Jimmy dan dinamika piano Gigih membuat pengulangan yang dilakukan mereka berdua menjadi tidak membosankan..
Ketukan tut piano Gigih dan gesekan dawai cello Jimmy awalnya saling bersahutan “berbalas pantun” dalam nada riang --sempat berkejaran dalam tempo yang meningkat-- kemudian bermain bareng dalam nada sendu berwarna oriental. Gigih mengaku sebagai penggemar Tan Dun (komposer film Crouching Tiger Hidden
Dragon) dan Ryuichi Sakamoto (komposer Last Emperor). Bisa jadi gaya mereka mampir di kepalanya, lantas menjelma menjadi ide.
Dalam komposisi ‘Menikmati Malam Kembang Api’, penonton diajak berpartisipasi aktif meniup peluit mainan untuk melatari ketukan tuts piano Gigih. Biasanya peluit bambu ini ditiup pendek-pendek untuk menirukan suara kicau burung. Namun malam itu Gigih meminta penonton meniup dengan nada panjang sehingga mengesankan bunyi kembang api yang sedang meluncur. Penonton diberi kebebasan penuh perihal gaya, dinamika, tempo dan volumenya.
Di satu sisi, kesannya memang terasa ada kontras yang tidak tertata. Alunan piano yang manis dan keriuhan peluit yang tak beraturan. Tapi di sisi lain, barangkali beginilah suasana pesta yang hiruk pikuk dalam seliweran kembang api. Bagi Gigih, pelibatan penonton ini merupakan eksperimennya. Eksperimen perlu dilakukan karena menurutnya, pemilihan bentuk penuangan ide bisa gagal sehingga perlu dicoba terlebih dulu.
Komposisi ‘Kembang Api’ ini berawal dari penggalan momen yang dialami Gigih saat pesta kembang api pada penutupan pentas seni di SMA, yang menurutnya sangat indah.
Komposisinya, ‘I See the Military Marching Band’, terasa hangat dan lucu, berbeda dengan marching band yang serius. Gigih memindahkan ritme-ritme drumband ke piano dan pianika dengan imajinasi baru. Idenya muncul dalam beberapa gambaran tentang gadis kenalannya yang sedang menonton marching band, yang tiba-tiba diakhiri dengan gambaran bahwa sang gadis teringat pekerjaan rumah yang belum digarapnya. Jadi ada lompatan dari suasana menikmati dan rileks ke suasana kaget dan tegang. Gigih sengaja tidak membuat transisi dalam pergantian suasana tersebut. Meski bagi kuping awam, seperti disampaikan seorang penonton, kontras ini terasa aneh. Menurut Gigih, kontras yang diciptakannya berkemungkinan dua efek, yakni berefek “nggak nyambung” atau berefek menggelitik.
‘Pertemuan Kembali’ lahir dari momen berkesan yang dialami Gigih ketika bertemu kembali dengan kawan lamanya setelah bertahun-tahun tak bertemu. Sebelumnya ketika berpisah, ia sempat merasa kehilangan dan sedih. Permainan piano ini diakhiri dengan percakapan dua gadis kecil India yang direkamnya dari youtube. Percakapan tulus yang mengulang-ulang kalimat “this for you”. Gigih memilih rekaman ini setelah menyeleksinya dari sekian banyak percakapan di youtube. Penempatan speaker juga diperhitungkannya. Menurutnya, penempatan speaker di sudut agar suara anak-anak itu muncul dalam posisinya sebagai latar.
Dalam acara ini, tanggapan dari penonton, baik yang berlatar pendidikan musik maupun yang tidak, cukup hidup dalam merespon sketsa-sketsa karya Gigih. Obrolan yang membahas proses kreatif seniman memang menarik. Dalam dunia sastra atau film cukup banyak buku yang mengungkapkan pengakuan para seniman tentang proses kreatif kelahiran karya-karya mereka. Tapi di bidang musik cukup jarang apalagi yang disertai dengan ‘showcase’. Dalam acara obrolan ini, selain mementaskan sketsa-sketsa karyanya, Gigih juga beberapa kali memberi contoh untuk memperkuat penjelasannya.
Gigih juga sempat berkisah tentang peristiwa yang membahayakan dirinya sebagai komposer. Suatu ketika sebuah ide muncul saat ia sedang mengendarai motor. Tenggelam dalam musik di kepalanya, di perempatan ringroad ia terus melaju ke selatan tanpa sadar lampu lalu lintas telah berganti merah. Ketika sadar, sebuah mobil nyaris menabraknya.
Seniman kelahiran Sragen, Jawa Tengah, pada tahun 1990 ini awalnya belajar keyboard pada usia 9 tahun. Saat duduk di SMA Kolese De Britto, ia belajar piano. Lantas pada tahun 2007, ia meneruskan studi di jurusan musik ISI Yogyakarta dengan minat studi utama komposisi musik, dan lulus pada Januari 2011.
Aktif di Art Music Today dan foMbi (forum musik Tembi), Gigih pernah berduet pianika dengan musisi Jepang Makoto Nomura di Tembi Rumah Budaya, 2/6/11. Karya solo pianonya ‘Kampung Halaman’ dipentaskan oleh Makoto Nomura.di Yokohama, Jepang. Karyanya yang lain ‘Kereta Terbang Sabtu Sore’ dibawakan soprano Ika S. Wahyuningsih di Tembi Rumah Budaya, 15/9/11.
Jangan lupa menyaksikan hasil penyempurnaan sketsa-sketsa Gigih di Museum Tembi Rumah Budaya pada 22 Maret nanti. Pementasan ini, seperti biasa, terbuka untuk umum dan gratis.
Teks: barata
Foto: A. Sartono
Artikel Lainnya :
- RUMAH DESA MENGGAMBARKAN SUASANA KEDAMAIAN(04/08)
- Bisma (4) Tunas Cinta Bersemi(18/01)
- JAGAL KUDA HANYA ADA DI JOGJA(02/09)
- MENUTUP DESEMBER 2011 KORUPSI DAN KEKERASAN(19/12)
- 19 Februari 2011, Jaringan Museum - PESAWAT OV-10 BRONCO, KOLEKSI TERBARU MUSEUM TNI AU YOGYAKARTA(19/02)
- 4 September 2010, Jaringan Museum - BARAHMUS DIY PRIHATIN ATAS HILANGNYA KOLEKSI EMAS MUSEUM SONOBUDOYO(04/09)
- 21 Juli 2010, Yogya-mu - BONG SUPIT, LARIS MANIS DI KALA LIBURAN(21/07)
- PECEL SOLO(24/05)
- UGM TERUS MENGHIJAUKAN KAMPUSNYA(22/09)
- 7 September 2010, Kabar Anyar - PAMERAN POSTER RIFKA ANNISA: HARGAI DAN HORMATI MARTABAT PEREMPUAN(07/09)