Barno Surya Terus Membuat Wayang
Buah tak jauh dari pohonnya. Demikian pula Barno Surya MH yang melanjutkan profesi ayahnya sebagai pengrajin wayang kulit. Jika dihitung-hitung sejak masa belajarnya, sudah 40 tahunan lamanya Barno berkecimpung dalam pembuatan wayang. Dari tujuh bersaudara, empat orang kakak dan adiknya kini juga menjadi pengrajin wayang.
Kombinasi jam terbang dan bakat, wayang garapan Barno terbilang halus, termasuk juga pada detailnya. Pahatan semacam intan intan, patran, seritan yang butuh ketelatenan dan keluwesan tampil halus. Demikian juga pada bedahan (wajah wayang) yang melalui tangan pengrajin ini nampak berkarakter.
Bagi pengrajin wayang, bedahan merupakan tantangan tersendiri. Barno menjelaskan, menggarap mata, hidung dan mulut wayang perlu keahlian khusus agar dapat menampilkan karakter dan ekspresinya. Menurutnya, bukan saja bedahan hasil garapan masing-masing pembuat wayang berbeda bahkan beberapa bedahan tokoh yang sama oleh pengrajin yang sama hasilnya tidak bisa persis sama. Agaknya inilah seninya kerajinan buatan tangan.
Anak ketiga kelahiran 1960 ini belajar menatah dan menyungging wayang dari ayahnya, Pak Ngatiman, seorang pengrajin wayang dari Dusun Gendeng,Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Barno kecil mulai belajar pada usia 10 tahun. Diawali dengan belajar menatah selama dua tahun, dilanjutkan menyungging selama dua tahun, lantas kembali belajar menatah lagi.
Barno teringat bagaimana ia diharuskan ayahnya untuk menguasai ketrampilan ini. Berangkat dari kondisi ekonomi yang termasuk pas-pasan, agaknya ayah Barno menyadari perlunya penguasaan ketrampilan khusus bagi anak-anaknya. Satu pandangan yang, berdasarkan ingatan Barno, ternyata tidak selalu dimiliki pengrajin wayang. Sebagian pengrajin, menurutnya, tidak ingin anak mereka menjadi pengrajin wayang karena masa depannya diragukan secara finansial.
Di sela-sela kegiatannya itu Barno menyerap ilmu pendidikan formal di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia), sekolah menengah kejuruan yang lantas berubah nama menjadi SMSR,dan kini dikenal sebagai SMK 3 Bugisan. Metode pengajaran di sekolah ini pada masa ia bersekolah dipujinya bagus karena menghasilkan lulusan yang siap pakai.
Di sekolah ini ia mengambil jurusan kriya. Meski tidak diajarkan membuat wayang namun di sini ia memperdalam keahlian menggambar dan mendisain. Keahlian ini, menurutnya, sangat bermanfaat dalam membuat wayang. Salah satu alasannya, karena tidak semua contoh gambar wayang yang ada itu bagus padahal bagi pengrajin, contoh gambar sangat penting. Selain menggambar, keahlian mengukir kayu yang dipelajarinya berguna saat mengukir lis pigura wayang.
Selepas dari SSRI, Barno mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kerajinan di Bandung. Di sini pekerjaannya khusus membuat wayang Cina. Wayang ini terbuat dari kulit dua dimensi seperti wayang kulit Jawa tapi ukuran standarnya lebih kecil. Setelah 12 tahun, ia pindah ke Jakarta, masih bekerja di sebuah toko kerajinan. Di sini ia membuat wayang kulit gaya Solo. “Di Jakarta, wayang kulit gaya Solo lebih laku dan disukai,” kenangnya.
Setelah empat tahun di Jakarta, pada tahun 1990an Barno pun kembali ke Yogya. Ia bekerja di perusahaan milik Pak Sagiyo, pengrajin wayang dan kulit terkemuka saat itu. Kali ini ia membuat wayang kulit gaya Yogyakarta. Jam terbang yang tinggi dan keahliannya menempatkan Barno sebagai pengrajin senior dan ahli di sini. Salah satu keahliannya yang jarang dimiliki karyawan lain adalah mendisain wayang. Namun tidak sampai sepuluh tahun, kembali ia harus hengkang karena perusahaan ini kolaps, jumlah karyawannya menyusut dari 80 orang menjadi 3 orang.
Kebetulan sebelumnya Barno lama merenung dan kemudian mengambil ancang-ancang untuk membuka usaha sendiri. Lepas dari perusahaan pak Sagiyo, pada tahun 2004 dengan modal Rp 600 ribu, ia membuka usaha sendiri. Modal Rp 300 ribu untuk mengontrak sebuah rumah di pinggir jalan raya di Gendeng, dan Rp 300 ribu untuk membeli kulit kerbau. Tempat usahanya ini disebutnya sebagai puppet handicraft, sentra tatah sungging wayang kulit ‘Surya Wayang’. Barno tidak sendirian, sepanjang jalan ini berderet tempat usaha serupa.
Selain membuat wayang kulit, Barno juga menggunakan bahan kulit wayang untuk membuat kap lampu, kipas, lis buku, gantungan kunci, dan lainnya. Istrinya, Sumarmi, membantu menyungging. Seiring berjalannya waktu tempat usahanya makin dikenal.
Untuk berkarya, ia membutuhkan kulit kerbau yang halus dan tipis, serta lebar. Biasanya kulit seperti ini yang diperlukan pengrajin wayang kulit. Kulit kerbau yang kasar dan tebal biasanya digunakan oleh pembuat kerupuk kulit atau rambak. Kulit selebar 160 x 150 sentimeter, menurutnya, bisa menjadi 12 wayang ukuran Kresna atau 4 wayang ukuran Bima atau 2 wayang ukuran raksasa. Waktu yang diperlukan menggarap wayang berukuran Kresna sekitar dua minggu. Ini dengan tatahan halus. Sedangkan tatahan yang lebih halus dan luwes dibutuhkan waktu sekitar satu bulan.
Wayang yang telah selesai ditatah dan disungging diberi penjepit atau gapit yang terbuat dari tanduk kerbau. Pak Barno memesannya dari Desa Kuel, Delanggu, yang memang dikenal sebagai sentra produksi gapit.
Di tempat usaha baru ini Barno mengutamakan pembuatan wayang kulit gaya Yogyakarta meski menerima pesanan untuk membuat wayang Solo dan Cina. Menatah wayang gaya Yogya, menurut Barno, lebih rumit ketimbang gaya Solo. Gaya Yogya, misalnya, mengenal motif mas inten-inten (intan-intan) yang tidak ada pada gaya Solo. Sebaliknya, semua motif gaya Solo ada pada gaya Yogya, misalnya motif kawatan.
Siapa tokoh wayang yang paling banyak diminati pembeli? Paling banyak, menurut Barno, adalah Kresna. Lainnya adalah tokoh-tokoh Pandawa Lima, Rama dan Sinta, Anoman, Kamajaya dan Ratih, dan Semar.
Setiap Rabu, Barno menatah wayang di Museum Tembi Rumah Budaya. Demo ini merupakan wujud museum hidup dimana koleksi wayang di museum tidak semata benda mati yang statis.
Pengunjung museum dapat melihat proses pembuatan wayang, khususnya cara menatah wayang sambil bertanya dan berbincang dengannya. Pengunjung juga bisa melihat peralatan tatah, mulai dari dhumpal (tatakan), gandhen (palu kayu), sampai pahat berbagai pahat jenis dan ukuran, baik penatas, penguku, penceplik maupun pembubuk. Dapat dilihat pula wayang yang sudah disungging (diwarnai) dan yang belum disungging. Wayang yang masih polos ini tak kalah menarik karena keindahan ukirannya justru lebih nampak mencolok.
Barno Suryo telah memilih jalan sebagai pengrajin wayang dengan sepenuh hati, dan berniat terus menekuni profesi ini. “Yang penting bekerja, hasil akan mengikuti”, ujar Barno menutup pembicaraan.
barata
Artikel Lainnya :
- 5 April 2010, Kabar Anyar - RUANG SEPI SASTRA (DI) YOGYA(05/04)
- Denmas Bekel(28/01)
- 3 Maret 2010, Yogya-mu - GEROBAK: KENDARAAN LANGKA DI JOGJA(03/03)
- B2 PANGGANG BANG UCOK(26/09)
- Pangeran Paku Wojo Salah Satu Tokoh Dusun Tulung Pundong, Bantul 2(21/06)
- ORA NGINANG ORA UDUT(10/01)
- Sentra Mebel Bambu(30/03)
- Maaf dan Terimakasih(16/09)
- PUSAT PENYELAMATAN PENYU DI JOGJA(15/12)
- 9 Juli 2010, Kabar Anyar - MENINGKATKAN CITRA MUSEUM LEWAT TOILET(09/07)