Maaf dan Terimakasih

Hari raya lebaran, seperti hari yang ditunggu untuk mengucapkan sebuah permohononan maaf kepada orang. Kalimat klise yang selalu dipakai itu seperti jadi penyelamat karena bisa mewakili banyak kesalahan sekaligus yang bisa jadi sudah tidak bisa diingat secara terperinci.

Kebiasaan mengucapkan kata maaf seharusnya tidak hanya disampaikan ketika hari raya saja. Mengakui kesalahan secara terbuka memang sebaiknya dibiasakan sejak kecil. Bukan sebagai basa-basi tapi sebagai bagian dari kontrol atas perilaku diri sebagai mahluk sosial.

Mengucapkan maaf atas kesalahan rasanya tidak sulit kita temui dalam kehidupan sehari-hari antar pribadi. Berbeda sekali dengan kesalahan yang dibuat oleh lembaga. Kata maaf seperti jadi barang yang sangat mahal.

Meluapnya lumpur lapindo di Porong Jawa Timur yang sudah berlangsung bertahun-tahun, tak secuilpun kata maaf yang diucapkan oleh pemilik perusahaan yang mengakibatkan terjadinya bencana tersebut. Lebih aneh lagi, DPR yang seharusnya membela rakyat malah sepakat untuk menamakan peristiwa tersebut sebagai bencana alam, padahal jelas-jelas bencana itu terjadi akibat pengeboran.

Kebalikan dengan kata maaf, mengucapkan kata terimakasih, malah lebih sering kita dengar diwakili oleh lembaga kepada masyarakat. Lihat saja tulisan Terima Kasih untuk tidak merokok di dalam bis ini, atau Terima Kasih untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kalimat-kalimat itu terpampang di banyak tempat atau fasilitas umum. Jika kita perhatikan maka timbul pertanyaan, mengapa ucapan itu diwakili dengan tulisan? Tentu saja itu tidak jelek, namun terasa tidak ada sentuhan personal atau peribadi. Kata maaf dan terimakasih akan terasa jika diucapkan secara langsung yang mana tanpa sadar sering kita lupakan esensinya. Mengucapkan maaf lebih sering kita ucapkan untuk mempercepat penyelesaian masalah dan mengucapkan terimakasih sering kali kita lewatkan tanpa sadar.

Mungkin saking jarangnya orang mengucapkan kata terimakasih, sebuah program reality show di SCTV bahkan sampai memberi hadiah uang kepada semua pengendara yang mengucapkan terimakasih kepada petugas pom bensin setelah mengisi bensin kendaraannya. Kebalikan dari itu, beberapa tahun yang lalu saya melihat pengumuman pada sebuah pom bensin di daerah Pantura yang berani member imbalan 100 ribu jika menangkap petugas di pom tersebut yang tidak mengucapkan kata terimakasih kepada konsumen setelah transaksi selesai. Aneh, mengucapkan terima kasih kok sudah jadi aturan, bukannya kesadaran.

Mungkin dirasa berlebihan membicarakan dua kata tersebut. Tapi bagi saya rasanya tidak. Kata maaf yang diucapkan dengan tulus dan intonasi yang sopan pasti akan terasa lain bagi orang yang kita minta maafkan. Begitu juga dengan kata terimakasih. Diucapkan dengan bahasa tubuh akan membuat orang merasa dihargai, coba praktekkan kepada orang kecil seperti pelayan, asongan dan orang-orang kecil lainnya. Kita akan ditunjukkan bahwa penghargaan bukan melulu harus dengan uang.

YP Kris
Ilustrasi: Rumah Zakat (Sumber: Buletin Mimbar Jumat No. 17 Th XXIII)