- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»40 YEARS OF SILENCE
20 Aug 2011 07:27:00Diskusi dan pemutaran film dokumenter yang berjudul ’40 years of silence an Indonesian Tragedy’ di Lembaga Indonesua Perancis, jalan Sagan, Yogyakarta dihadiri kalangan anak muda, para korban peristiwa 1965, dan keluarga korban. Film ini memang mengkisahkan mengenai peristiwa 1965 dan dampak ikutannya. Selesai diskusi dilakukan diskusi dengan pembicara Dr. Baskara T. Wardaya, sejarawan dan Djoko Pekik, pelukis dan korban peristiwa 1965.
Kisah film ’40 years of silence’ memang memberi tekanan mengenai ‘korban lanjutan’ dari peristiwa 1965, sehingga film ini menunjukkan seorang anak kecil, anak dari eks tapol, yang lahir jauh setelah peristiwa 1965 berlalu, ikut menjadi korban. Budi, nama anak itu, yang hadir dalam pemutaran film dan diskusi, memang sudah tidak lagi sebagai anak kecil, seperti dalam filmnya yang dibuat mulai tahun 1997. Budi yang hadir bersama ibunya, Sumini, ‘dihadirkan’ dalam film itu.
“Film ini memang mengkisahkan mengenai peristiwa 1965, namun sesungguhnya film ini sekaligus menunjukkan bahwa penderitaan korban 1965 tidak hanya berhenti pada tahun itu, tetapi berlanjut sampai panjang dan diderita oleh anak-anak keluarga korban yang lahir setelah 1965” kata Baskoro.
Djoko Pekik, yang hadir sebagai narasumber, meski tidak ikut ‘dihadirkan’ dalam film ’40 years of silence’ menambahkan cerita mengenai penderitaan ketika ia ditahan. Hukuman-hukuman selalu dia terima dan tidak bisa ditolak.
Seorang anak korban peristiwa 1965, yang masih belia, dalam film itu mengatakan bahwa masa depannya hilang dari pikirannya. Ia merasa tidak lagi memiliki masa depan. Semuanya seperti gelap. Situasi traumatik masih kuat mengendap dalam diri Budi.
“Budi, sekarang kamu sudah besar bukan kanak-kanak lagi, apakah masa depannya masih gelap seperti ketika kamu kecil?” tanya moderator diskusi.
“Sebenarnya masih, apa yang saya rasakan dulu sampai sekarang belum hilang. Saya merasa masa depan saya masih gelap” kata Budi di Lembaga Indonesia Perancis sambil menangis seperti belum bisa lepas dari situasi traumatik.
Lain lagi dengan Lany dan saudara-saudaranya. Menyadari sebagai korban peristiwa 1965, dan sebagai etnis China, ibunnya membangkitkan semangat anak-anaknya untuk terus tegar dan tidak meratapi. Bahkan ibunya memberi motivasi, agar menjadi Chines yang sungguh-sungguh, bukan hanya Chines-chinesan.
Lany, betul-betul bangkit dari penderitaan peristiwa 1965. Dari keluarga yang kaya pada waktu itu, apalagi pada waktu itu orang tuanya mempunyai mobil dan sepeda motor, sehingga menunjukkan orang tua Lany adalah orang yang termasuk kaya. Karena, pada saat itu hanya sedikit orang yang memiliki mobil dan sepeda motor. Tetapi setelah peristiwa 1965 semuanya lenyap. Keluarga Lany menjadi miskin.
“Saya akan buktikan, bahwa saya bisa berhasil tanpa kamu” kata Lany dengan yakin. Karena sebagai keluarga korban peristiwa 1965, dikucilkan, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat.
Film ’40 years of silence’ memang menyentuh perasaan yang melihatnya. Auditorium LIP, tempat pemutaran filmitu penuh sesak hadirin yang datang, namun suasana sunyi karena semua menyimak kisah film yang, menggetarkan, namun ada beberapa titik yang mengundang tawa. Pada titik ini, penoton tidak bisa menahan tawa, misalnya, ketika mama Lany dengan tegas mengatakan: ‘Tunjukkan kalau kita ini Chines betulan, bukan Chines-chinesan..’.
Diantara para korban peristiwa 1965, nampak sekali berusaha mengatasi situasi traumatik. Seperti halnya Lany yang berusaha menghilangkan rasa dendam dengan berbuat kebajikan. Karena bagi Lany, dendam tidak akan membuat dirinya hidup bahagia. Dengan berbuat kebajikan, justru malah mendatangkan kebahagiaan.
Upaya-upaya menghilangkan situasti traumatik, oleh para korban peristiwa 1965, meski sulit, tetap terus diupayakan untuk bisa dihilangkan.
“Saya tahu, perasaan sakit sulit dihilangkan, tetapi hal itu harus saya lakukan” kata bu Mamik, korban peristiwa 1965 yang hadir dalam pemutaran dan diskusi film ini.
Sumini sebagai istri korban 1965,. Kebahagiaannya ditumpahkan pada anaknya Budi, meski kalau mengingat penderitaannya, masih terasa sakit.
“Hanya ini, sambil memeluk Budi anaknya, sumber kebahagiaan saya” kata Sumini.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Haryo Pramoe, Makanan Itu Seperti Mainan(02/04)
- Denmas Bekel(13/10)
- Kemanusiaan Soegija(12/06)
- Visualisasi Kontemporer Mulur Mungkret di Cemeti(05/03)
- 14 Februari 2011, Klangenan - LAGI-LAGI NEGARA ABSEN(14/02)
- DOLANAN BENGKAT(18/10)
- POMPA AIR KERETA API DI DEPAN STASIUN TUGU, MENGGUGAH KENANGAN SEJARAH PERKERETAAPIAN(08/09)
- 12 Januari 2011, Yogya-mu - BROWNIES SALAK PONDOH: OLEH-OLEH KHAS JOGJA YANG MASIH KINYIS-KINYIS(12/01)
- 19 Februari 2011, Kabar Anyar - RAGAM SENI SERAT DALAM TRANSFORMATION(19/02)
- Awal Kedirgantaraan di Indonesia. Perjuangan AURI 1945 - 1950(24/11)