- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Bale-dokumentasi-resensi-buku»Wayang Cina Jawa di Yogyakara
18 Apr 2006 08:27:00Perpustakaan
Judul : Wayang Cina – Jawa di Yogyakara
Penulis : B. Soelarto, S. Ilmi Albiladiyah
Penerbit : Depdikbud, 1980/1981, Jakarta
Halaman : v + 134
Ringkasan Isi :
Adanya wayang Cina-Jawa di Yogyakarta tidak bisa dipungkiri ada hubungannya dengan Sri Sultan Hamengkubuwana I atau Pangeran Mangkubumi. Pada masa pemerintahannya beliau mengijinkan orang-orang Cina bermukim di ibukota kerajaan untuk menyemarakkan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sejak abad XIX sebagian besar masyarakat Cina bermukim di suatu daerah yang terletak di sebelah selatan Loji Ageng. Dalam perkembangannya terjadi pembauran dengan penduduk asli misal lewat perkawinan. Pengaruh kebudayaan Jawa lambat laun meluas di kalangan masyarakat Cina misal dalam penggunaan bahasa. Bahasa Cina mulai ditinggalkan dan mereka mulai menggunakan bahasa Jawa kecuali idiom-idiom tertentu misal kekerabatan dan keagamaan.
Dalam tahun duapuluhan di Yogyakarta muncul bentuk baru jenis wayang kulit bercorak Cina yang diciptakan seniman peranakan bernama Gan Thwan Sing. Peregelaran wayang kulit ini mengambil lakon-lakon yang digubah dari cerita-cerita yang telah lama hidup di negeri Cina, namun penyajiannya mengikuti pola pertunjukan wayang kulit Jawa. Bentuk wayang bercorak Cina tetapi mempunyai pengaruh Jawa misal pada ragam hias dan penggunaan cempurit (alat penguat dan pemegang wayang), beberapa wayang memakai siten-siten/palemahan (alas kaki wayang yang menghubungkan tumit kaki depan dengan ujung jari kaki belakang), tangan berbentuk ngepel atau ngithing (sikap tangan penari Jawa gaya Yogyakarta). Gan Thwan Sing juga membuat gunungan atau kayon yang dalam pertunjukan wayang di negeri Cina tidak ada. Pola pertunjukan wayang kulit ciptaan Gan Thwan Sing bukan bertumpu pada pola pertunjukan wayang di negeri Cina, melainkan bertolak pada pola pertunjukan wayang kulit di Jawa. Jadi merupakan suatu wujud pembauran kultural dalam bentuk seni pewayangan sehingga lebih tepat apabila disebut wayang Cina – Jawa.
Gan Thwan Sing dilahirkan di Jatinom Klaten tahun 1885, dan sejak kecil ikut kakeknya. Kedua orang tuanya merupakan Cina Peranakan bukan Cina asli (sin-ke). Dari kakeknya yang masih sin-ke ia mendapat pengetahuan mengenai bahasa dan aksara Cina, serta aneka cerita rakyat Cina yang dihafalnya dengan luar biasa. Dari sinilah timbul rasa cinta terhadap seni. Pergaulannya selama bertahun-tahun dengan anak-anak pribumi (priyayi / non priyayi) menjadikan lebih akrab dengan kehidupan masyarakat pribumi dan ia menggemari pertunjukan wayang kulit yang dipergelarkan semalam suntuk. Dari sinilah ia gemar terhadap seni pertunjukan.
Pada awal abad ke XX Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta untuk memperdalam masalah kesenian. Di Yogyakarta ia bekerja sebagai artis sandiwara untuk mencari nafkah, sambil belajar seni pedalangan gaya Yogyakarta. Bahkan ia tekun mempelajari bahasa dan aksara Jawa. Ketika pengetahuan tentang seni pedalangan sudah cukup muncul gagasannya untuk menciptakan suatu bentuk baru wayang kulit. Gan Thwan Sing memadukan dua aspek yaitu alam pakeliran Jawa dan alam legenda Cina. Penyajian pertunjukannya mengikuti pola pedalangan gaya Mataraman (Yogyakarta). Gan Thwan Sing juga menulis buku lakon / cerita mengikuti pola pakem / cerita pedalangan Jawa. Nama tokoh, kerajaan dan lain-lain ditulis menurut nama aslinya tetapi istilah kepangkatan, jabatan, gelar memakai istilah Jawa. Misal Rabenipun Raja Thig Jing (Pernikahan Raja Thig Jing).
Penyebaran wayang Cina-Jawa mula-mula terbatas pada lingkungan masyarakat Cina. Dalam perjalanannya meluas sampai pada masyarakat umum. Pada awal tahun tigapuluhan daerah persebarannya sampai di kota Sentolo, Wates, Purworejo, Muntilan, Magelang, Klaten, Delanggu, Surakarta. Menjelang awal tahun 1940 daerah persebarannya meluas sampai di kota-kota pantai utara Jawa tengah seperti Semarang, Kudus, bahkan tahun-tahu berikutnya meluas sampai Jawa Timur seperti Madiun, Kediri, Pare, Surabaya dan Malang. Untuk mengimbangi perkembangan wayang tersebut Gan Thwan Sing mendidik beberapa orang untuk dijadikan dalang yaitu Raden Mas Pardon, Megarsemu, Pawiro Buwang dan Kho Thian Sing. Dan setelah berusia lanjut ia hanya menjadi asisten bagi dalang-dalang didikannya.
Wayang Cina-Jawa mempunyai fungsi sosial yaitu sebagai salah satu jenis pertunjukan umum dan sumber pendapatan bagi dalang dan kawan-kawannya (pemusik, waranggana dan lain-lain). Adapun peranan sosialnya sebagai media hiburan, sarana pendidikan moral, dan media kultural.
Wayang Cina-Jawa adalah pertunjukan yang dilaksanakan secara kolektif / kelompok terdiri dari dalang, pemusik/niyogo, biduan/waranggana. Bentuk kegiatannya berupa pertunjukan yang bersifat profan karena tak berkaitan dengan suatu peristiwa keagamaan atau upacara kepercayaan yang bersifat sakral.
Untuk menjadi dalang wayang Cina-Jawa syaratnya sama dengan dalang wayang kulit Jawa antara lain harus trampil (bisa memanjangkan dan memendekkan cerita tanpa menyimpang), menguasai antawecana (pengucapan harus mempunyai warna suara sesuai tokohnya), mahir dalam greget, unggah-ungguh, dan lain-lain. Dalang juga tidak boleh merubah kerangka lakon, menyimpang dari jalan cerita, bersikap sembrono, mempercepat atau memperpendek pergelaran sehingga selesai tidak tepat waktu. Seorang dalang harus tepat waktu, tetap di tempat sejak awal sampai akhir pertunujukan dan tidak boleh terpancing oleh ejekan penonton.
Alat-alat pertunjukan wayang Cina-Jawa sama dengan wayang kulit, terdiri kelir (tirai/layar kain putih), kambi kelir (rangka untuk mengikat bentangan kelir dengan lima buah penyangga kayu untuk tempat batang pisang), kotak/peti penyimpan wayang dan cempala (ada dua cempala ageng dan cempala japit), kepyak (empat lempengan besi yang menghasilkan suara agak gemerincing jika diketuk-ketuk dengan cempala japitan), blencong (lampu dengan bahan bakar minyak kelapa sebagai alat penerang dan memberi efek bayang-bayang), sapit blencong (pembersih sumbu blencong terbuat dari besi), dan batang pisang (gedebok) untuk menancapkan wayang.
Pertunjukan wayang Cina-Jawa terbagi tiga babak yaitu babak awal, pertengahan dan akhir yang menggambarkan siklus hidup manusia dari masa bayi sampai kanak-kanak, masa remaja sampai dewasa dan masa dewasa sampai tua. Pada awal-awal pertunjukan wayang Cina-Jawa tidak mengenal adegan banyolan (gara-gara) seperti wayang kulit. Pada pertengahan pertunjukan diselingi istirahat bagi dalang, niyaga dan waranggana. Tetapi setelah semakin banyak penggemarnya Gan Thwan Sing membuat tokoh-tokoh banyolan untuk melawak sebagai pengganti masa istirahat.
Buku yang dilengkapi gambar-gambar menarik (berwarna dan hitam putih) ini juga menyajikan perincian wayang Cina-Jawa mengenai bentuk badan, wajah, hidung, mata, kumis, jenggot, tata rambut, sikap tangan, bentuk perhiasan, penutup kepala, alas kaki, tata busana, perlengkapan senjata, pewarnaan, teknik gerak wayang, teknik penggantian kepala (beberapa wayang dibuat kepala terpisah dengan badan sehingga bisa diganti kepalanya tergantung kebutuhan), bentuk pahatan, ukuran dan bahan baku serta cara pembuatan wayang.
Setelah berkembang dan tersebar luas selama hampir empat puluh tahun pergelaran wayang ini berakhir pada tahun 1960. Hal ini disebabkan dalang-dalang didikan Gan Thwan Sing telah meninggal lebih dulu. Sedang Gan Thwan Sing tidak mampu lagi mendidik dalang baru.
Artikel Lainnya :
- Tripama. Wedjangane Kandjeng Gusti Pangeran Adipati Arja Mangku Nagoro IV marang para pradjurit (04/04)
- SOTO KUDUS DI DEPAN DE BRITTO(25/05)
- Nilai Filosofis Kidung Pakeliran(03/10)
- PENATAAN BANTARAN SELOKAN MATARAM(01/01)
- 2 Februari 2011, Yogya-mu - DAUN PINTU SEBAGAI PENGINGAT AKAN BENCANA(02/02)
- 15 Maret 2011, Bothekan - KAYA TIMUN JINARA(15/03)
- 18 Nopember 2010, Kabar Anyar - GUNUNG MERAPI DALAM KARYA ANAK-ANAK(18/11)
- DJAKA LODANG 1 (15/06)
- Denmas Bekel(21/07)
- Napak Tilas Jawa di Tembi(07/05)