Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Suran. Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni

18 Jun 2008 10:24:00

Perpustakaan

Judul : Suran. Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni
Penulis : Hersapandi, dkk
Penerbit : Pustaka Marwa, 2005, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Halaman : vii + 216
Ringkasan isi :

Malam 1 Sura dalam kalender Jawa atau 1 Muharam dalam kalender Islam menurut orang Jawa memiliki makna spiritual sebagai perwujudan perubahan waktu yang diyakini akan berdampak pada kehidupan manusia. Orang Jawa mempunyai keyakinan bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang baik untuk melakukan sesuatu “pekerjaan”. Oleh karena itu orang Jawa cenderung menghindarinya ketika akan melakukan “pekerjaan” terutama dalam melakukan kegiatan hajat khitanan dan perkawinan. Sebaliknya pada bulan Sura orang Jawa dianjurkan untuk melakukan laku prihatin, terutama saat malam menjelang pergantian tahun. Bulan Sura dianggap sebagai waktu yang tepat untuk instropeksi diri atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Ketidakpastian hidup akibat faktor manusia dan faktor alam menjadi pertimbangan manusia untuk memohon kepada Tuhan agar di kehidupan yang akan datang menjadi lebih baik.

Budaya ritual itu berjalan sesuai semangat zaman, meskipun disadari dewasa ini orang Jawa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan menuju era industrialisasi yang rasional dan efisien. Hal ini disebabkan orang Jawa masih memandang pada keseimbangan dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Sejalan dengan konsepsi ini orang Jawa memandang nilai-nilai spiritual pergantian tahun baru Jawa sebagai salah satu acuan dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Dalam menyiasati hidup orang Jawa cenderung melihat pada hitungan waktu, termasuk bagaimana memandang bulan Sura. Perubahan tahun baru Jawa bagi kebanyakan orang Jawa merupakan saat yang kritis, oleh karena itu dipandang penting untuk melakukan laku spiritual dengan berbagai cara yang diyakini. Misal berendam di “tempuran” sungai, jamasan pusaka/benda-benda bertuah lainnya, berjalan menggelilingi benteng kraton dengan membisu, berpuasa atau mengadakan pentas pertunjukan sesuai tradisi yang berlaku. Salah satunya adalah menyelenggarakan pertunjukan wayang, baik wayang kulit maupun wayang wong. Pelaksanaannya tidak harus menjelang malam tanggal 1 Sura, tetapi yang penting masih dalam bulan Sura terutama malam Selasa atau Jumat Kliwon. Pilihan ini sudah tentu dilatarbelakangi tradisi ritual dalam masyarakat Jawa. Pertunjukan wayang merupakan pencerminan permasalahan kehidupan sehari-hari manusia yang bersifat universal. Dalam kaitannya dengan bulan Sura pertunjukan wayang dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana dinamika perilaku sehari-hari orang Jawa.

Dalam buku ini ada tiga lokasi dan kegiatan yang dikaji sehubungan dengan ritual bulan Sura. Pertunjukan wayang orang Sriwedari sebagai salah satu media laku spiritual orang Jawa di wilayah Surakarta dan sekitarnya adalah gejala baru yang muncul pertama kali tahun 1987 dengan lakon Banjaran Srikandi, dan kemudian menjadi tradisi pada tahun-tahun berikutnya. Uniknya pentas ini bersifat ritual-komersial karena penonton harus membayar. Walaupun karcisnya lebih mahal daripada hari-hari biasa tetapi penonton justru lebih banyak.

Perkembangan pertunjukan wayang wong lakon Dewi Sri Kembang dalam rangka upacara kesuburan di desa Tutup Ngisor, kecamatan Dukun, kabupaten Magelang pada tanggal 15 Sura merupakan ekspresi kolektif masyarakat berupa ruwatan bumi dengan tujuan menjaga ketentraman dan keseimbangan kehidupan sekaligus membangun ikatan solidaritas sosial masyarakat. Hal ini terlihat dengan keikusertaan secara aktif semua warga dalam kegiatan yang dianggap penting tersebut.

Tradisi adat Suran berupa upacara bersih desa/meri dusun/rasulan di Gunung Panggang Tambakkrama Gunungkidul merupakan ekspresi sosial budaya masyarakat dalam upaya menjaga keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. Gunung Panggung adalah daerah perbatasan antara wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Di sana terdapat mitologi dan legenda tentang Gunung Panggung, Gua Paesan, Gunung Kelir, Watu Kenong, Sendang Sanga dan Sendang Panjangilang. Untuk mengawali kenduri bersih desa dipentaskan tari tayub, sedang malam harinya pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon pilihan seperti Wahyu Makuta Rama, Wahyu Cakraningrat, Rama Tambak.

Tradisi di atas selain sebagai kegiatan ritual, dapat pula untuk pengembangan kesenian. Kesenian yang dipentaskan dapat dikembangkan sesuai keadaan, dibuat lebih bagus dan menarik. Dan akhirnya dikembangkan sebagai aset pariwisata tanpa mengurangi nilai kesakralannya.

Teks : M. Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta