Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Ekspedisi Anjer Panaroekan. Laporan Jurnalistik Kompas 200 Tahun Anjer Panaroekan, Jalan (untuk) Perubahan

25 Nov 2009 01:43:00

Perpustakaan

Judul : Ekspedisi Anjer – Panaroekan. Laporan Jurnalistik Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Jalan (untuk) Perubahan
Penulis : Tim Kompas
Penerbit : Kompas, 2008, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : x + 445
Ringkasan isi :

Jalan Raya Pos (Grote Postweg) memanjang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Arsitek jalan tersebut adalah Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang berkuasa tahun 1808 sampai tahun 1811. Daendels menjadi gubernur jendral atas perintah Louis Napoleon (saudara Napoleon Bonaparte kaisar Perancis), raja Belanda waktu itu (karena pada masa tersebut Belanda “ditaklukan” Perancis) dengan tujuan utama mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan perjalanan dari Batavia menuju ujung timur Pulau Jawa. Sepanjang perjalanan Daendels berpikir bagaimana ia bisa mempertahankan Pulau Jawa dengan kondisi jalan yang buruk. Akhirnya terpikirkan untuk membuat proyek Jalan Raya Pos tersebut. Selain itu Daendels juga membangun benteng-benteng pertahanan di tempat yang kemungkinan besar akan didarati pasukan Inggris.

Dalam pelaksanaannya, pembuatan Jalan Raya Pos tersebut membutuhkan banyak biaya serta menimbulkan banyak korban di kalangan penduduk pribumi. Banyaknya biaya yang harus ditanggung menyebabkan pemerintah kolonial Belanda tidak sanggup menyediakannya, sehingga pada prakteknya biaya tersebut dibebankan kepada para bupati yang berkuasa di daerah-daerah. Daendels juga meminta para bupati menyediakan tenaga kerja dengan upah yang murah. Sedangkan korban-korban ini berjatuhan antara lain disebabkan medan yang berat seperti tanah yang bergunung-gunung, menimbun tanah berawa atau membuka hutan lebat, sementara peralatan dan kondisi fisik pekerja tidak memadai. Demikian pula dengan upah yang diterima. Sistem tradisional dalam dalam membangun jalan, memperbaiki desa, membersihkan makam dimanfaatkan dan dilegalkan dengan nama herendiensten (lebih dikenal dengan nama kerja rodi). Mobilisasi kerja wajib ini menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan antara pribumi dan pemerintah kolonial Belanda. Bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX atau dikenal dengan nama Pangeran Kornel adalah salah satu yang secara terang-terangan menentang kebijaksanaan Daendels.

Pasda saat membangun Jalan Raya Pos, Daendels dalam posisi kesulitan keuangan, karena disamping biaya yang tinggi juga blokade Inggris terhadap Pulau Jawa menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan pasokan dana dari negeri Belanda. Cara praktis pun ditempuh yaitu dengan menjual tanah negara seperti Bogor atau Buitenzorg, Tangerang, Banten, Krawang, Besuki, Panarukan dan Probolinggo kepada orang-orang kaya yang berminat.

Jalan Anyer-Panarukan ini sebenarnya bukan sepenuhnya jalan baru, sebagian hanya memperbaiki dan melebarkan jalan yang sudah ada. Di beberapa tempat jalan tersebut masih tetap dipisahkan oleh sungai sehingga harus disambung dengan rakit atau perahu. Dengan terbangunnya jalan tersebut maka waktu tempuh dapat dipersingkat. Misal dari Batavia ke Semarang bila sebelumnya memerlukan waktu 10-14 hari di musim kemarau dan 3 minggu di musim hujan, bisa dipersingkat menjadi 3-4 hari menggunakan kereta pos. Daendels juga mengadakan “pos kuda” yang teratur mulai 18 Juni 1808, untuk mempercepat pengiriman laporan dari tentara yang berada di daerah terpencil sehingga tidak tergantung pada keberangkatan kapal-kapal. Jalan pos menjadi sarana kontrol dalam administrasi pemerintahan, termasuk toernee dengan tujuan inspeksi oleh petinggi kolonial tanpa perlu menunggu musim yang cocok. Terciptanya jaringan jalan tersebut membuat gubernur jendral berikutnya tinggal menambah, memperluas, memperbaiki dan memeliharanya.

Daendels merencanakan pembangunan Jalan Raya Pos tersebut tidak hanya untuk kepentingan militer tetapi juga kepentingan ekonomi. Keuntungan ekonomi tersebut didapat dari pembukaan perkebunan dan bagi hasil panen kopi, teh atau komoditi lain yang dikirim melewati Jalan Raya Pos tersebut. Tetapi keuntungan tersebut ternyata tidak dirasakan oleh rakyat jelata. Selama 40 tahun hanya kereta pos milik pemerintah dan kereta milik pribadi (orang Belanda) dan elite pribumi yang boleh lewat jalan tersebut. Gerobak dan cikar milik rakyat tidak boleh melewatinya karena dikhawatirkan merusak jalan. Mereka tetap harus melewati jalan-jalan yang kondisinya buruk untuk bisa bepergian ke luar kota atau melewati jalan buruk yang dibangun sekedarnya di sisi Jalan Raya Pos. Baru pada tahun 1853 ada ketetapan bahwa jalan tersebut dibuka untuk semua jenis kendaraan termasuk pedati milik rakyat pribumi.

Ketika Jalan Raya Pos dibangun, sebenarnya di sepanjang pantai utara Jawa telah muncul dan tumbuh kota-kota. Beberapa kota tersebut sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang yang lainnya meredup atau bahkan mati (ditinggalkan). Terdapat 4 faktor yang menyebabkan kota tumbuh atau ditinggalkan yaitu kebijakan politik administrasi pemerintahan, jaringan transportasi, pengembangan sumber daya ekonomi dan faktor alam. Kota-kota di Jawa sebenarnya tumbuh dari kekhasannya masing-masing. Kekhasan yang terimplementasikan hingga ke tingkat kampung dan mempengaruhi toponiminya. Misal Cirebon untuk menunjukkan banyaknya rebon (udang kecil), lambang kota Surabaya berupa ikan sura dan buaya, yakni cerita rakyat yang melegenda tentang asal-usul Surabaya. Lambang kotapraja Pasuruan berupa tiga lembar daun tembakau melambangkan perkebunan tembakau di daerah Besuki yang dahulu menjadi pusat pengembangan tanah swasta penghasil devisa besar bagi negeri Belanda. Kekhasan daerah juga mendorong spesifikasi antar kota. Pada masa lalu, kota-kota di pantai utara Jawa memiliki ciri khas masing-masing sesuai kondisi alam dan komoditas unggulan di daerah sekitarnya. Misal Banten sebagai penghasil lada, Cirebon penghasil tebu dan gula, Demak merupakan pelabuhan ekspor beras Mataram, Lasem dan Rembang penghasil kayu jati dan produsen kapal, dan Panarukan sebagai pelabuhan eskpor tembakau.

Namun, globalisasi yang ditafsirkan sebagai penyeragaman wajah kota telah menghilangkan kekuatan lokal di tiap kota. Seiring dengan itu, kota-kota pelabuhan yang dibesarkan oleh kawasan sekitarnya (hinterland) mulai memudar. Diversifikasi kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos akhirnya memusat di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang dan Jakarta. Contohnya, untuk mengirim tembakau warga Jember dan Besuki tidak ke pelabuhan Panarukan, tetapi memilih membawanya menggunakan truk ke Surabaya. Dalam perkembangannya (di masa sekarang) kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos menuju warna yang seragam dengan Jakarta sebagai pusat orientasi. Di kota-kota kecil selain munculnya ruko-ruko yang mengekspansi area persawahan, fenomena baru adalah munculnya jaringan bisnis waralaba nasional. Jaringan pertokoan yang sama juga merangsek ke dalam pusat kota-kota kecil ini, hingga jauh dari Jalan Raya Pos dan menggeser (bahkan mematikan) toko-toko tradisional.

Kota-kota besar itu menyedot daerah sekitarnya dan tidak membagi remah ekonomi ke kawasan sekitarnya selain “sampah dan limbah”. Akhirnya, kota penyangga tumbuh menyedot kawasan lain yang lebih kecil untuk bisa tumbuh. Demikian seterusnya. Menyusutnya pertanian karena terus terdesak pembangunan kota yang tak terkontrol menjadi potret kegagalan pengembangan diferensiasi menuju spesialisasi kota yang memiliki keterikatan kuat dengan hinterland atau kawasan pedesaan sekitar yang mendukungya. Kegiatan pembangunan di sepanjang pesisir pantai Jawa terlihat kurang mempertimbangkan kemampuan daya dukung lingkungannya. Tak jarang rawa-rawa pantai dirubah menjadi lahan pemukiman dan kawasan industri.

Disesaki oleh hampir separuh penduduk Pulau Jawa, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos saat ini ibarat kapal bocor yang hampir tenggelam. Bahkan sebagian daratan di utara pulau ini benar-benar tenggelam dalam arti yang sesungguhnya seperti di Jakarta dan Semarang akibat banjir rob. Padahal, Jawa masa lalu adalah permata hijau di sabuk katulistiwa yang di tanahnya mengalir sungai-sungai berair jernih. Setidaknya itu yang tergambar dalam catatan Thomas Stanford Raffles (The History of Java, Oxford University Press/Kuala Lumpur, 1978) pada saat berkuasa di Jawa 1811-1816. Menurut catatan Raffles, sepanjang pantai utara Jawa awal abad ke -19 hampir di setiap distrik mempunyai sungai utama. Kebanyakan sungai ini bisa dilayari kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil produk lokal, dan kota-kota besar tumbuh di sana seperti Banten, Batavia, Cirebon, Demak, Lasem, Rembang, Tuban, Gresik hingga Panarukan. Kini pendangkalan akibat kerusakan hutan di daerah hulu dan pencemaran, telah membunuh sungai-sungai tersebut dan akhirnya pelan-pelan mematikan pelabuhan. Jejak kejayaan tersebut hanya menyisakan gudang-gudang tua di sekitar pelabuhan seperti Cirebon dan Panarukan. Di Lasem terlihat dari bekas galangan kapal Belanda dan Jepang yang berada di tengah ladang warga. Banyaknya toko-toko tua serta gudang-gudang tua dengan tulisan “dijual” menunjukkan bahwa pemiliknya tidak mampu lagi bertahan di tengah pusaran perubahan ekonomi dan tata ruang di sepanjang jalan Raya Pos.

Tetapi jalan yang pernah menjadi saksi hasil tanam paksa di tanah Jawa yang dikeruk ke Batavia kemudian dikirim ke Belanda ini, sampai sekarang masih diandalkan untuk menjadi urat nadi Pulau Jawa. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada kapasitas lingkungan jalan dalam menampung arus lalulintas kendaraan dan barang yang semakin padat. Untuk mengatasi hal tersebut tentunya pemerintah harus bertindak secara bijak.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta