Ayah Anak Beda Warna! - Anak Toraja Kota Menggugat
Cerita-cerita yang semula hanya didengar Tino si ‘Anak Toraja Kota’, kini mendadak ia rasakan. Ia dan keluarga mendadak mempunyai utang kerbau dan babi sumbangan yang harus ia bayarkan di masa depan.
judul buku: “Ayah Anak Beda Warna! - Anak Toraja Kota Menggugat”
Penulis: Tino Saroengallo
Penerbit : Tembi Rumah Budaya
Tahun terbit : 2010
Tebal : xxvii, 363 halaman
Dimensi : 15x21 cm
Sebuah judul yang begitu provokatif untuk sebuah buku tulisan Tino Saroengallo, yang melabeli dirinya dengan sebutan ‘Anak Toraja Kota’. Lantas apa yang digugat Tino, hingga ia menulis buku setebal 363 halaman ini?
Semua kisah berawal dari berita sakitnya ayah Tino Saroengallo, Renda Saroengallo yang pada tahun 2003 berusia 81 tahun. Ne’Renda, begitulah panggilan akrab sang ayah, sepanjang tahun 2003 tiba-tiba saja kerap memanggil Tino ditengah kesibukannya untuk sekadar bertemu. Barangkali sudah firasat akan berpulang, Ne’Renda selalu menyisipkan kisah pemakaman adat Toraja dalam pembicaraan dengan Tino, si ‘Anak Toraja Kota’ ini.
Identitas Tino Saroengallo, si ‘Anak Toraja Kota’ ini memang unik. Ne’Renda, ayahnya merupakan keturunan pewaris dan penuluan dari tongkonan kesu, tokoh adat yang sangat dihormati masyarakat. Ne’Renda pada masa mudanya mendapat beasiswa pendidikan Malinobeurs untuk studi ke Universitas Leiden, Belanda, di jurusan hukum pada tahun 1948-1952. Saat masa studi di Belanda, Ne’Renda bertemu dengan seorang gadis cantik asli Belanda yang kelak dinikahinya dan menjadi ibu dari Tino, LWJ Langendoen. Selepas lulus studi, Ne’Renda pulang ke Indonesia bersama Langendoen dan menetap di Jakarta untuk bekerja.
Pada 10 Juli 1958, Tino Saroengallo lahir di Jakarta. Jadilah ia sebagai ‘Anak Toraja Kota’ – seperti yang ia sebut bagi dirinya dalam buku ini. Tino yang tinggal di Jakarta mengalami Toraja hanya dari ayahnya. Sementara sang ayah walaupun menetap di Jakarta untuk bekerja, masih sering bolak-balik ke Toraja untuk mengurus berbagai upacara adat dan kegiatan masyarakat di kampung halaman.
Setelah jatuh sakit selama beberapa hari, pada Desember 2003 Ne’Renda berpulang dan meninggalkan sebuah tanggungjawab besar bagi keluarganya, termasuk Tino sendiri. Tanggung jawab yang akhirnya berada di depan mata tersebut adalah penyelenggaraan upacara pemakaman adat khas Toraja, Rambu Solo’.
Rambu Solo’, upacara adat Toraja yang tersohor itu memang menjadi sebuah hajatan besar, kalau tidak mau disebut besar-besaran, bagi setiap anggota keluarga Toraja yang ditinggalkan, terlebih bagi tokoh masyarakat dan orang penting terpandang.
Hal yang paling kasat mata, rambu solo’ dikenal dengan upacara potong kerbau – mantunnu tedong – dan babi, pembuatan tau-tau – patung potret orang yang meninggal, sarigan – peti mati, hingga pembuatan lantang – rumah singgah bagi jenazah, kerabat, dan para hadirin saat rangkaian upacara berlangsung.
Inilah ‘masalah’ yang akhirnya menjadi kasat mata bagi Tino dan saudara-saudaranya. Penyelenggaraan upacara adat yang pasti akan menelan biaya sangat banyak, apalagi sang ayah merupakan penuluan di tongkonan kesu, tokoh adat yang sangat berpengaruh.
Beberapa hari setelah Ne’Renda meninggal, anak-anaknya dan keluarga yang menetap di Jakarta langsung mengadakan rapat untuk upacara pemakaman di Toraja nantinya. Upacara pemakaman yang pasti akan menyita banyak energi, pikiran, waktu, dan tentu biaya bagi keluarga.
Dari titik inilah Tino mulai kisah panjangnya dengan gaya bertutur sebagai orang pertama di tengah medan kejadian. Tino yang lahir dan besar di Jakarta, mendadak bersentuhan kembali secara nyata dengan tanah leluhurnya, Toraja.
Menarik mendengarkan kisah tentang Rambu Solo’ dari sudut pandang orang pertama yang mengalaminya langsung. Tentu akan berbeda jika membaca tulisan mengenai Rambu Solo’ yang ditulis oleh orang ketiga.
Mulailah Tino Saroengallo dengan kacamatanya sebagai ‘Anak Toraja Kota’, menyampaikan seluruh rasa gelisahnya terhadap adat. Tino yang berprofesi sebagai pekerja lepas di bidang perfilman dan iklan tengah berada dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan saat sang ayah meninggal. Ia tak punya tabungan cukup banyak untuk bisa iuran membiayai rambu solo’ bagi ayahnya. Begitu pula kondisi ekonomi kakak dan adiknya yang meski saat itu masih lebih baik dari Tino, tetap saja ngeri menghadapi persiapan upacara rambu solo’. Apalagi sang ayah, sudah menyebutkan jumlah minimal 24 kerbau sebagai syarat adat bagi dirinya yang seorang penuluan tongkonan kesu’. “Betul-betul pening”, begitulah kalimat yang sering dilontarkan Tino dalam buku ini, menghadapi kenyataan berat yang harus dipikulnya dan keluarga.
Bergulat dengan Adat
Saat masih di Jakarta, anak-anak Ne’Renda telah rapat terlebih dahulu, membuat kontrak penawaran yang akan dibawa ke kampung halaman yang sesuai dengan kondisi ekonomi mereka sebagai berikut:
- Kerbau yang dipotong berjumlah 24 ekor
- Lamanya upcara 3-4 hari
- Anak-anak hanya mampu menyumbang seekor kerbau (selain itu ditanggung oleh kerabat dan sumbangan dari tongkonan lain)
- Pelaksanaan Upacara akhir Februari
Akhirnya pada saat rapat di Toraja, usulan ini ditolak mentah-mentah (terutama kontrak nomor 2 dan 3) oleh masyarakat adat yang menganggap Ne’Renda begitu terpandang di mata mereka. Karena itu, kata mereka, harus dihormati dengan upacara yang paling layak, walaupun tentu masyarakat ini tidak andil dalam urusan pembiayaan yang memang menjadi tanggungjawab keluarga yang ditinggalkan.
Inilah yang digugat keras oleh Tino di tengah rasa frustasinya saat tidak ada order syuting iklan dan film. Masyarakat adat menghormati ayah Tino dengan cara pandang ke-adat-an mereka, dan seakan memang tidak mau tahu bagaimana anggota keluarga harus pontang-panting mencari dana ratusan juta untuk seluruh biaya pemakaman rambu solo’ itu. Mereka ‘hanya’ menyumbang pikiran dan tenaga, yang itu pun harus dibayar juga dengan makananlauk kerbau, babi, tuak, dan rokok. Apalagi dalam sidang adat sudah diputuskan setelah diskusi alot bahwa upacara tingkatan rapasan sundun dipilih oleh masyarakat secara adat bagi Ne’Renda, seorang penuluan.
Upacara rapasan sundun, tingkat kelima dalam enam tingkat adat rambu solo’ Toraja, terkhusus bagi tokoh adat yang terpandang, mempunyai ketetapan turun temurun sebagai berikut: lama upacara lima sampai tujuh hari dengan memotong antara 24-33 ekor kerbau!.
Lengkap sudah rasa frustasi Tino yang terus mendapat kejutan dengan berbagai perkembangan dan pembengkakan biaya di tengah jalan saat persiapan upacara. Secara sangat detail ia menulis berbagai aspek dalam persiapan rambu solo – rapasan sundun bagi ayahnya, mulai dari anggaran, tahapan-tahapan persiapan, intrik-intrik dalam rapat kampung yang sangat ia kritisi, dan segala kerepotan lainnya.
Tino Saroengallo memang bukan seorang antropolog ataupun budayawan. Namun pengalamannya sebagai sutradara film dokumenter khususnya, dan beberapa film yang memberikan kesempatan baginya untuk berkeliling menjelajah Nusantara membuat matanya begitu tajam. Ia tentu sudah terbiasa dengan riset saat membuat film dokumenter dan terbiasa berpikir kritis – analitis. Catatan, salah satu film dokumenternya berjudul “Student Movement in Indonesia: the army forced them to be violent” menjadi film pendek terbaik pada Asia Pasific Film Festival di Seoul, Oktober 2002. Film ini kemudian juga menjadi film dokumenter terbaik dalam Festival Film Indonesia 2004.
Tino yang juga merupakan alumni Fakultas Sastra Jurusan Studi Cina Universitas Indonesia begitu mahir dalam bertutur melalui tulisannya. Memang seringkali dalam buku ini Tino melompat dari satu persoalan ke persoalan lainnya secara cepat dan bebas. Misalnya ketika membahas intrik-intrik dalam rapat adat, Tino bisa melompat dan turut menyinggung masalah politik Indonesia hingga masalah zaman Orde Baru. Luas sekali wacananya.
Kembali dalam masalah pergulatan dengan adat. Tino menggugat bahwa adat pemakaman di Toraja harus ditinjau kembali oleh masyarakat adat karena zaman tentu telah berubah banyak dibandingkan dengan puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Jika dahulu seorang tokoh adat memang memiliki kekuatan ekonomi sangat kuat, seperti misalnya memiliki banyak tanah dan ternak, kerbau, babi, namun sekarang di zaman ‘modern’ ini, juragan tanah ternak jarang lagi ditemui. Anak-anak tokoh adat, hidupnya bisa jadi sederhana dengan profesi yang begitu beragam. Dahulu tokoh adat yang punya tanah dan ternak banyak ini bersedekah saat upacara rambu solo’, agar masyarakat bisa menikmati makan daging kerbau dan babi, sebuah keistimewaan. Namun kini?
Inilah pangkalnya bahwa ‘kewajiban’ dan hukum adat menjadi mata rantai yang tidak terputus. Salah satu contoh, kerbau yang dianggap binatang sakral oleh masyarakat Toraja, selain menjadi lauk dalam upacara adat, sesungguhnya juga terhitung sebagai utang-piutang dalam hukum adat. Kepala kerbau yang disembelih wajib dikirim antar tongkonan untuk menjaga silaturahmi, sedangkan sumbangan kerbau dari kerabat dan tongkonan lain dianggap sebagai utang yang harus dilunasi di masa depan. Demikianlah terus bergulir turun temurun. Seorang yang melanggar mata rantai ini dengan tidak memenuhi kewajibannya, harus menanggung malu seumur hidup beserta keluarganya karena terus menerus menjadi pergunjingan dalam masyarakat.
Banyak cerita yang telah didengar umum, bahwa banyak keluarga yang mendadak jatuh miskin karena harus melunasi kewajiban adat untuk anggota keluarga yang meninggal. Pernah ada cerita, seorang suami istri yang dahulu begitu kaya raya – punya banyak tanah, kini sang istri hidup merana karena seluruh tanah keluarga telah dijual untuk membayar biaya rambu solo’ bagi sang suami. Ternyata cerita serupa bukanlah cerita yang asing lagi. Cerita-cerita yang semula hanya didengar Tino si ‘Anak Toraja Kota’, kini mendadak ia rasakan. Ia dan keluarga mendadak mempunyai utang kerbau dan babi sumbangan yang harus ia bayarkan di masa depan.
Sebagai penutup, menarik kiranya menutup resensi singkat di sampul belakang buku “Ayah Anak Beda Warna!– Anak Toraja Kota Menggugat” terbitan TembiRumah Budaya, yang ditulis oleh Ismail Marahimin, Dosen Fakutas Ilmu Budaya Universitas Indonesia:
Keluhan-keluhan serupa sudah banyak terdengar, yang diajukan secara lisan, oleh teman-teman dari berbagai suku Indonesia ini. Namun, Tino melakukannya secara kolosal dengan menulis perlawanannya itu dalam bentuk buku.
Baca yuk ..!
Naskah & foto:Gardika Gigih Pradipta
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Judul Buku, 7 Desember 2013(07/12)
- Kota Yogyakarta Tempo Doeloe. Sejarah Sosial 1880-1930(05/12)
- Prajurit Perempuan Jawa. Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18 (02/12)
- Penjelajah Bahari. Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika Bukti-bukti Mutakhir tentang Penjelajahan Pelaut Indonesia Abad ke -5 Jauh Sebelum Cheng Ho dan Columbus (27/11)
- Sejarah Keraton Yogyakarta(23/11)
- Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)(20/11)
- Tembikar Upacara di Candi-candi di Jawa Tengah Abad ke 8 - 10(18/11)
- Rute Perjuangan Gerilya A.H. Nasution pada Masa Agresi Militer Belanda II (13/11)
- Inventarisasi dan Kajian Komunitas Adat Sedulur Sikep Desa Sumber Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora (11/11)
- Pemandu di Dunia Sastra(08/11)