- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Bale-dokumentasi-aneka-rupa»SOBYUNG (DOLANAN ANAK TRADISIONAL 11)
30 Jun 2009 10:35:00Ensiklopedi
SOBYUNG
(DOLANAN ANAK TRADISIONAL-11)
Bagi anak-anak sekarang yang belum pernah mendengar nama permainan tradisional ini tentu merasa aneh dan asing. Namun tidak demikian bagi anak-anak masyarakat Jawa yang pernah mendengar atau bahkan memainkannya. Begitulah nama permainannya cukup sederhana. Sering dimainkan oleh anak-anak perempuan di kalangan masyarakat Jawa tempo dulu yang sekarang sudah agak jarang dimainkan lagi. Walaupun kadang dilakukan oleh anak-anak laki-laki atau campuran laki-laki dan perempuan.
Permainan sobyung menurut Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 halaman 578 berarti jenis permainan anak yang dimainkan dengan cara menunjukkan jari-jari tangan kemudian dihitung dengan nama “janak, deng (bandeng), urang, dan kèper”. Kalau sumber lain, hitungan “janak” merupakan hitungan terdiri dari “jan dan nak”. Sehingga menurut sumber lain itu, yakni buku Permainan Rakyat DIY karangan Ahmad Yunus (editor) terbitan Departemen P & K, menyebutkan hitungannya adalah “jan, nak, deng, urang, dan kèper”. Hanya beda pada istilah “janak” dan “jan, nak”.
Dolanan anak sobyung ini biasanya dimainkan oleh 5 anak. Namun bisa pula dimainkan oleh 4, 6, atau 7 anak. Pemain umumnya berusia 6 hingga 10 tahun. Namun bisa pula lebih, asalkan anak-anak yang bermain sudah memahami aturan main. Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus mempunyai wawasan luas, cekatan, bandel (tidak cengeng), dan tidak egois. Sebab sifat permainan ini adalah hiburan. Anak yang bermain sobyung tidak membutuhkan tempat yang luas, kecuali hanya sebatas alas tikar saja. Bisa dimainkan di teras rumah, di dalam rumah, di halaman rumah, atau tempat-tempat lain, asalkan nyaman bagi anak-anak yang bermain. Waktu bermain juga bebas, kadangkala dimainkan saat liburan, malam bulan purnama, atau waktu senggang (istirahat sekolah). Namun akhir-akhir ini lebih banyak dimainkan dalam acara festival, workshop, atau acara-acara sejenisnya.
Anak yang akan bermain, biasanya mereka duduk sambil berkeliling, saling berhadapan satu sama lain. Salah satu dapat dijadikan ketua atau pemimpin. Biasanya yang jadi pemimpin permainan dipilih yang tertua, berlaku adil, atau yang cerdas. Setelah itu, anak-anak yang bermain mengucapkan kata “so” sambil mengangkat kedua tangan ke atas (kira-kira sebatas telinga). Lalu sambil mengucapkan kata “byung”, anak-anak meletakkan kedua tangan (dengan jari-jari diregangkan) ke atas lantai atau tikar, kecuali pemimpin hanya tangan sebelah karena tangan satunya berfungsi untuk menghitung. Dalam meregangkan jari-jari tangan setiap pemain bebas memilih. Misalkan, anak A menunjukkan tangan kiri dua, tangan kanan tiga. Sementara anak B menunjukkan tangan kiri lima, tangan kanan satu. Begitu pula dengan pemain-pemain lainnya. Setelah itu, pemimpin mulai menghitung. Selanjutnya ada dua versi permainan sobyung yang sempat direkam.
Pertama, anak-anak mulai menghitung jari-jari yang diregangkan tadi dengan menyebut “jan, nak, deng, urang, dan kèper”. Setiap jari yang jatuh pada hitungan kelima, harus ditekuk hingga jari-jari setiap pemain berkurang. Begitu diulang-ulang hingga akhirnya tinggal ada satu anak yang jarinya masih tersisa. Maka anak itulah yang dianggap “dadi”, misalkan D. Sementara keempat anak, A, B, C, dan E dianggap anak yang menang. Permainan dilanjutkan dengan menghukum D. Misalkan mulai dari anak A. Anak A dan D saling berhadapan. Lalu A bernyanyi “are-are bang ji” sambil meletakkan salah satu jarinya –misalkan ibu jari, telunjuk, atau kelingking-- di lutut anak yang kalah. Anak D juga harus menirukan sesuai dengan jari anak yang menghukum. Jika tidak sama, dilanjutkan “bang ro” dan seterusnya. Namun jika belum sampai “bang sepuluh” kebetulan jari yang ditunjukkan disamai oleh jari anak yang dihukum, yakni anak “D”, maka hukuman dihentikan. Lalu dilanjutkan dengan hukuman pemain B. Apabila sampai “bang sepuluh” anak yang dihukum belum bisa menebak atau menyamai jari yang ditunjukkan oleh pemain yang menang, maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya.
Tahap hukuman selanjutnya adalah hukuman wayangan. Anak yang menang pada babak pertama dan tebakannya belum terjawab dapat dilanjutkan pada tahapan ini. Maka sang anak akan menyanyikan lagu “gung-gung-gung dang gentak gendhang” sambil mengangkat salah satu tangannya. Saat nyanyian jatuh pada kata “gendhang” maka si anak harus segera menempelkan tangan yang diangkat tadi pada salah satu anggota badan, misalkan telinga, hidung, dan sebagainya. Langkah itu harus cepat dilakukan agar tidak bisa ditirukan oleh pemain kalah. Jika anak yang kalah bisa menirukan dengan tiruan gerak yang sama, maka kesempatan pemain menang telah habis.
Hukuman lain berupa tamparan telapak tangan. Anak yang kalah meletakkan salah satu tangan menyerupai “orang hendak bersalaman” di hadapan pemain yang menang. Lalu anak pemenang meletakkan kedua tangan di sisi kanan kiri telapak tangan yang kalah dan posisinya sejajar. Lalu anak pemenang segera mangayunkan salah satu atau kedua tangannya menampar tangan anak yang kalah. Jika ayunan tangan mengenai telapak tangan anak yang kalah, maka dilakukan terus hingga tangan anak yang menang tidak mengenai sasarannya. Hukuman ini memang agak menyakitkan bagi anak yang kalah, karena akan terasa panas oleh tamparan tangan lawan. Maka jika ada anak yang merasa kasihan dengan anak yang kalah, maka dapat dilakukan dengan cara agak pelan. Jika hukuman sudah selesai, dilanjutkan dengan permainan dari awal lagi.
Versi kedua, anak-anak yang bermain sama, yakni meletakkan jari-jari tangan di atas lantai atau tikar. Bebas, boleh dua tangan atau satu tangan. Jari yang ditunjukkan juga bebas, boleh satu, dua, atau lima. Namun sebelumnya sudah harus disepakati, akan menyebutkan nama-nama apa, misalnya nama hewan, nama orang, nama PO Bus, dan sebagainya. Jika sudah ada kesepakatan, misalkan nama hewan, maka setiap kali nanti di akhir menyebutkan huruf-huruf, maka harus menyebutkan nama hewan sesuai dengan abjad awalnya.
Lalu pemimpin dolanan sobyung mulai menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan abjad mulai dari /A/ hingga abjad terakhir sesuai dengan jumlah jari yang ditunjukkan oleh semua pemain. Jika dari kelima pemain, si pemimpin terakhir menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan huruf /O/, maka anak-anak yang bermain segera menyebut hewan-hewan yang berawal dengan huruf /O/, misalnya “onta”, “orong-orong”, dan sebagainya. Jika ada pemain yang belum sempat menyebutkan nama hewan yang berawal dengan huruf /O/ atau terakhir kali menyebutnya, maka dianggap pemain yang “dadi”. Bisa jadi, sekali menyebut belum semuanya memperoleh nama hewan, maka diulangi lagi hingga ada satu pemain terakhir yang “dadi”. Pemain yang dadi lalu mendapat hukuman sesuai dengan kesepakatan. Biasanya hukuman dengan cara seperti di atas, yakni menampar telapak tangan. Jika semua sudah menghukumnya, permainan dapat diulangi dari awal.
Begitulah permainan tradisional sobyung yang sering dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa tempo dulu.
Teks: Suwandi
Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta
Artikel Lainnya :
- Denmas Bekel(10/09)
- 10 Maret 2011, Primbon - Wuku Bala(10/03)
- DOLANAN SEKITAN-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-59)(10/05)
- 18 Februari 2011, Kabar Anyar - PENCITRAAN DAN KEBOHONGAN DALAM JAGAT PEWAYANGAN DAN PANGGUNG POLITIK(18/02)
- Sabdatama Sultan dan Penantian UUK DIY(07/09)
- 26 Oktober 2010, Kabar Anyar - EMIRIA SOENASSA: PELUKIS WANITA PERTAMA INDONESIA YANG MISTERIUS(26/10)
- MENIKMATI KEINDAHAN JURANG RUAS DLINGO-PATUK(15/07)
- 20 Januari 2010, Yogjamu - BANTULAN: SENTRA KERAJINAN BERBAHAN PAKU PASIR DAN SEMEN(23/01)
- SITUS PANCURAN BUTO(28/07)
- AKTIVITAS MEMBUAT TOPENG KAYU DI Tembi RUMAH BUDAYA(19/05)