Tonny Trimarsanto Dengan Matang Di Pohon Si Mangga Golek

Dengan pendekatan yang cukup lama, Tonny mampu memasuki wilayah-wilayah privasi Renita. Dia mampu mengambil gambar-gambar yang detail dan wawancara yang tidak memiliki batasan, jarak antara kamera dengan obyek pada akhirnya hancur.

Film Mangga Golek Matang di Pohon, Tonny Trimarsanto , foto: dokumen pribadi
Tonny Trimarsanto sutradara film “Mangga Golek Matang di Pohon”

Lingkungan sosial masyarakat Jakarta mampu membuat sebagian para pendatang menjadi hidup di luar kenyataan. Mimpi-mimpi yang muncul di tempat asal, mejadi sebuah motivasi dalam benak masyarakat daerah. Tapi lain hal dengan “Mangga Golek Matang Pohon”.

Film dokumenter, berdurasi 98 menit buatan Tonny Trimarsanto, ini mencoba menghadirkan perginya seseorang dari ruang lingkup sosial yang paling kecil (keluarga), dikarenakan keinginan untuk merubah kodrat. Alhasil mimpi seorang lelaki mejadi waria terwujud. Renita alias Muhamad Zein, kemudian diusir oleh keluarganya.

Setelah 25 tahun merantau di Jakarta, jauh dari kampung dan keluarganya, dia memutuskan untuk pulang menemui keluarganya. Idul Fitri menjadi momen yang tepat bagi Renita untuk kembali ke kampung. Walaupun sang ayah telah memberi ultimatum "Anda hanya dapat pulang jika Anda membawa istri dan anak-anak."

Dengan pendekatan yang cukup lama, Tonny mampu memasuki wilayah-wilayah privasi Renita. Dia mampu mengambil gambar-gambar yang detail dan wawancara yang tidak memiliki batasan, jarak antara kamera dengan obyek pada akhirnya hancur.

Tetapi, kenapa dari ketiga bangunan ide besar ini pada akhirnya menjadikan Renita sebagai pendorong warga desa menjadi apa yang mereka inginkan. Di akhir film ini, Tonny mencoba berpendapat bahwa jadilah diri kalian sendiri walaupun Tuhan sudah menciptakan kodrat. Hanya tinggal memodifikasi, maka kalian akan menjadi apa yang kalian inginkan.

Film Mangga Golek Matang di Pohon, Tonny Trimarsanto , foto: dokumen pribadi
Cuplikan film “The Mangoes”

Dari pola pembuatan juga hampir sama dengan film “Denok & Gareng” buatan D. S. Nuraini. Mencari obyek kemudian mulai merekam dan mengikutinya berbulan-bulan, tanpa tahu film tersebut akan menjadi apa. Dalam filmnya, Heni dapat banyak footage yang menarik. Tanpa sadar dia mendapat keseharian tokoh-tokohnya. Setelah melihat dan belajar bagaimana mengedit dan menyusun sebuah footage, jadilah film tersebut.

Bedanya, Tonny sadar akan bagaimana cerita ini disusun di awal ide, dan cerita akan berakhir dimana. Memang cara pendekatan tersebut banyak dipakai oleh para pembuat film di Indonesia. Dalam arti teknik penyusunan yang dilakukan oleh kedua film tersebut masih mengandalkan alur yang naratif, sama seperti yang kita lihat di televisi.

Walaupun pemilihan ide cerita cukup menarik, tapi editing menjadi kunci utama di dalam sebuah film. Pada akhirnya penonton dibuat bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah adegan ini. Bukan apa yang terjadi setelah gambar ini. Karena penonton dapat dengan mudah memahami sebuah ide besar cerita, tetapi penonton tidak dengan mudah memahami susunan-susunan gambar dalam film.

Mereka mungkin lebih tertarik untuk memecahkan teka-teki sebuah susunan gambar yang dimainkan oleh si pembuat. Isu transgender memang sangat menarik, tapi bagaimana permainan visual dan editing dapat menjadikannya lebih menarik lagi. Penggalian informasi di lapangan menjadi dasar atau bahan sebuah interpretasi visual seorang pembuat.

Tetapi Sutradara yang pernah meraih penghargaan International Best Asia Film di 9th Cinemanila International Film Festival 2007 dan Best Popular Film dari Film Renita Renita ini berhasil memancing penonton untuk tetap duduk sampai filmnya garapannya selesai.

Film Mangga Golek Matang di Pohon, Tonny Trimarsanto , foto: dokumen pribadi
Poster film “The Mangoes”

Setelah filmnya berjudul “Gerabah Plastik” menjadi Film Terbaik di Festival Film Dokumenter Yogyakarta, berbagai penghargaan kemudian berhasil diraih lewat karya-karyanya. Bahkan filmnya pernah diputar di festival film paling bergengsi di Eropa Cannes International Film Festival Perancis, Miami International Film Festival Florida, Toronto International Film Festival, dan Tokyo International Film Festival dengan film "Serambi".

Temen nan yuk ..!

Natalia S.



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Radio KombiRadio Kombi [ ON AIR ] Sign Up| Lost Password
What is Kombi?
Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta