Membicarakan 9 Kubah Karya Evi Idawati

Evi Idawati mengatakan, dalam menulis puisi dia mempunyai mimpi-mimpi, yang diwujudkan menjadi puisi. Puisi berjudul kubah, dan puisi yang lain merupakan eksplorasi dari apa yang Evi Idawati mimpikan.

Evi Idawati, penyair, membacakan salah satu puisi yang ada di dalam antologi 9 Kubah di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, foto: Tegoeh Ranu
Evi Idawati, foto: Tegoeh Ranu

Diskusi antologi puisi berjudul ‘9 Kubah’ karya Evi Idawati dengan narasumber penyair Slamet Riyadi Sabrawi diselenggarakan Rabu malam 11 Desember 2013 di Universitas Ahmad Dahlan, Jl Pramuka, Yogyakarta.

Sebelum diskusi sejumlah pembaca puisi tampil, tetapi tidak membacakan puisi karya Evi Idawati. Ada yang membacakan puisi karya orang lain, dan karyanya sendiri. Evi Idawati membacakan satu puisi karyanya sendiri.

Slamet Riyadi Sabrawi melihat puisi karya Edi Idawati menggunakan perspektif gender, karena pada puisi-puisi yang terkumpul dalam ‘9 Kubah’ sejumlah puisinya berkisah mengenai perempuan.

“Beberapa puisi seperti ‘Perempuan-perempuan Gerabah Kasongan’, Perempuan-perempuan Batik Imogiri adalah puisi yang ramah gender,” kata Slamet Riyadi.

Dari konteks gender, puisi karya Evi Idawati yang dibukukan dalam judul ‘9 Kubah’, memang menunjuk identitas perempuan, meskipun tidak menggunakan kata perempuan, seperti puisi berjudul ‘Ranjang’, ‘Tubuh Rindu’ dan beberapa judul lainnya.

“Saya kira, puisi yang berjudul ‘Narasi Djonggrang’, karya Evi Idawati, merupakan ‘induk’ dari puisi gender dalam 9 Kubah ini,” ujar Slamet Riyadi Sabrawi.

Pada daftar isi, yang dibagi dalam 9 bab, setiap bab diberi judul ‘Kubah 1-9’, tetapi puisi yang berjudul Kubah hanya ada di bab 9 dan jumlahnya ada 9 puisi, yang semuanya kata depannya menggunakan kata kubah, seperti ‘Kubah Di Atas Rumah’, ‘Kubah Di Dalam Sajadah’, ‘Kubah Di Kedalaman Doa’, ‘Kubah Dalam Ritmis Tasbih’, ‘Kubah Langit’ dan beberapa judul lainnya.

Evi Idawati mengatakan, dalam menulis puisi dia mempunyai mimpi-mimpi, yang diwujudkan menjadi puisi. Puisi berjudul kubah, dan puisi yang lain merupakan eksplorasi dari apa yang Evi Idawati mimpikan.

Evi Idawati telah menerbitkan antologi puisi, diantaranya ‘Pengantin Sepi’ (2002), ‘Namaku Sunyi’ (2005), Imaji dari Batas Negeri’ (2008), ‘Mencitaimu’ (2010), Selain itu ia juga menulis cerpen dan naskah drama. Pernah ikut main dalam sejumlah sinetron dan FTV.

Yasraf Amir Piliang, yang memberi pengantar pada antologi puisi 9 Kubah karya Evi Idawati, menyebutkan bahwa puisi adalah sebuah proses kreatif merangkai makna. Persoalan mendasar seorang penyair adalah menemukan dunia kemungkinan makna yang berlum pernah ada.

“Penyair melihat ‘makna’ sebagai sesuatu yang selalu bergerak di dalam garis waktu. Makna adalah sesuatu yang harus ditemukan secara terus menerus. Puisi adalah sebuah pembentangan kemungkinan makna ‘dunia’, yaitu segala sesuau yang dibicarakan, dilihat, dirasakan, diinginkan, dihasratkan, diimajinasikan, ditafsirkan,” kata Yasraf Amir Piliang

Berikut ini puisi ‘Kubah Rindu’.

Kubah Rindu

Aku sering mengatakan kepadamu, bahwa kesendirian adalah
sekat yang mengepung dan menggempurmu hingga membuatmu
kokoh berdiri menghadapi. Sampai tiba saatnya, engkau
menjadi asing, menjadi tak tahu apapun kecuali hatimu yang
Terikat dan engkau tak mampu berpaling.

Begitupun aku. Di dalam kesendirian. Di dalam hujaman perih
dan luka. Aku hanya merindukanmu. Engkau yang
mencengkeram hatiku dan memaksaku untuk takluk dan
tunduk. Engkau mengikatku dengan doa dan tangis. Maka derai
airmataku menjelma butir tasbih yang bertaburan di atas
sajadahku.

Aku ingin tahu. Aku ingin tahu. Aku ingin bertemu denganmu.
agar tuntas. Agar tuntas. Agar tuntas kularungkan doa dan
tangisku.

Jogja 2012

Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Radio KombiRadio Kombi [ ON AIR ] Sign Up| Lost Password
What is Kombi?
Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta