Landung Membaca Petikan Novel Meja 17 Karya Irwan Abu Bakar

Author:editorTembi / Date:18-11-2014 / Novel ‘Meja 17’ terdiri dari 18 bab, dan Landung memilih bab 3 yang berjudul “Adat’ untuk dibacakan. Mengenakan kaos merah yang dibalut kemeja warna kelam, dan kancingnya dibiarkan terbuka, Landung membaca dengan penuh ekspresi. Selalu saja Landung mampu menghidupkan kata.

Landung Simatupang membacakan petikan novel Meja 17 karya Irwan Abu Bakar dalam acara Sastra Bulan Purnama di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono
Landung Simatupang

Sudah berulang kali Landung Simatupang tampil di Sastra Bulan Purnama, dan pada kali ini, Senin malam 10 Nvember 2014, ia membacakan petikan novel berjudul “Meja 17” karya Irwan Abu Bakar, sastrawan Malaysia, yang bukunya di-launching dalam acara itu di Amphytheater  Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta.

Novel ‘Meja 17’ terdiri dari 18 bab, dan Landung memilih bab 3 yang berjudul “Adat’ untuk dibacakan. Mengenakan kaos merah yang dibalut kemeja warna kelam, dan kancingnya dibiarkan terbuka, Landung membaca dengan penuh ekspresi. Selalu saja Landung mampu menghidupkan kata. Di tangannya, kata yang beku selalu bisa berdenyut.

Irwan Abu Bakar, penulis novel, yang duduk di bagian depan di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, terlihat menikmati penampilan Landung, bahkan matanya seperti tak berkedip memperhatikan penampilan Landung.

“Karena sudah larut malam, saya akan membaca satu petikan novel karya profesor Irwan pada bab 3 yang berjudul Adat,” kata Landung sebelum membaca.

Sedianya, Landung akan tampil pada pertengahan acara dan membacakan dua petikan novel. Tapi karena rangkaian acara agak panjang, dan ada beberapa acara ‘susulan’, sehingga waktunya molor, akhirnya Landung ditaruh paling akhir.

“Kemampuan Landung membaca novel mampu menahan penonton tidak meninggalkan tempat duduk,” kata salah seorang penonton.

Meski malam belum larut, jarum jam menunjuk angka 22.30, Landung seperti menghidupkan suasana yang sudah terlihat lelah. Kalimat demi kalimat dalan petikan novel yang berjudul “Adat” mengalir penuh makna, apalagi kisah persahabatan pemuda dari lain suku yang menggetarkan membuat yang mendengar kisah yang dibaca Landung seperti menghadirkan suasana miris.

“Sahabatku, biarlah aku jelaskan kepadamu apa yang akan terjadi. Aku kini berumur 27 tahun dan hendak menikah. Sudah ada gadis yang kuidam-idamkan. Namun sudah menjadi adat suku kaumku bahwa aku mesti terlebih dahulu membuktikan kelelakianku dengan membawa pulang kepala seorang pemuda dari suku lain. Dan kau adalah korbanku untuk mendapatkan kepala itu,” Landung membacakannya dengan penuh hidup.

Dari apa yang dibacakan Landung diatas, penonton seperti diajak memahami bagaimana dua suku yang berlainan saling bermusuhan, atau setidaknya menjaga kebiasaan adat, khususnya dalam perkawinan, untuk terus dijaga dan ditegakkan. Dan kepala pemuda dari suku lain adalah bentuk dari bagaimana adat itu dijaga.

Novel karya Irwan Abu Bakar ini disebutnya sebagai sebuah novel tanpa plot. Mungkin karena setiap bab memiliki judul sendiri dan masing-masing bab tidak saling terkait. Tak ada tokoh utama dalam novel berjudul Meja 17 ini, tetapi masing-masing judul dalam setiap bab memiliki tokohnya sendiri.

Sesungguhnya, novel ini merupakan bentuk dari kumpulan cerpen, yang maasing-masing kisahnya terpisah dan tidak saling terkait. Dan ketika disebut sebagai novel tanpa plot, barangkali sekadar untuk menandai sesuatu yang berbeda.

Irwan Abu Bakar, penulis novel Meja 17, lahir di Segamat, Johor, 11 Mei 1951, menulis sajak, cerpen, novel dan artikel di media massa sejak tahun 1995. Karya-karyanya terpublikasi di majalah Drwan Sastera terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia serta di Akhbar Berita Harian dan Mingguan Malaysia.

Nonton yuk ..!

Ons Untoro

Bale Karya Pertunjukan Seni

Latest News

  • 02-12-14

    Membincangkan Puisi

    Wayang mungkin memang bukan hal asing bagi Gunawan Maryanto sebagai orang Jawa sekaligus yang berkecimpung di dunia pedalangan. Oleh karenanya karya... more »
  • 02-12-14

    Theresia berbicara t

    Lewat karya seni grafisnya yang dipamerkan di Bentara Budaya, Jakarta, pada 21-30 November 2014, Theresia Agustina Sitompul memanfaatkan karbon... more »
  • 02-12-14

    Sri Sultan Hamengkub

    Sri Sultan HB VIII berkunjung ke penerbit ini sekitar tahun 1936—1937. Kunjungannya diberitakan Majalah Kajawen No 14 tanggal 17 Februari 1937. Pada... more »
  • 01-12-14

    KOLABORASI BUDAYA DA

    Penonton terhibur dan menikmati serangkaian gerak tari yang lincah serta energik khas Didik Nini Thowok. Ia memadukan tari topeng khas Indonesia... more »
  • 01-12-14

    Safari Gebyar Museum

    Usai sudah kegiatan safari Gebyar Museum 2014 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY bersama 6 museum anggota Barahmus DIY. Kegiatan safari... more »
  • 01-12-14

    Nasihat Tanpa Terkes

    Buku ini bisa dijadikan bacaan penghibur hati, sekaligus untuk belajar tembang macapat. Melalui tembang-tembang tersebut seseorang memperoleh... more »
  • 29-11-14

    Prajurit Keraton Kas

    Berdasarkan hirarkhi keprajuritan keraton, di bawah Komandan (Kumendham) ada Pandhega (Kapten). Sebutan kalenggahan dari Pandhega adalah Bupati Enem... more »
  • 29-11-14

    Orang Jumat Pon Cepa

    Orang kelahiran Jumat Pon hatinya baik, kalau bicara berusaha tidak menyakiti orang lain, mendambakan kerukunan dan kedamaian keluarga dan saudara,... more »
  • 29-11-14

    Pasinaon Basa Jawa K

    Ini contoh penerapan kata pada tataran bahasa Jawa saat ini, dengan keterangan: n = singkatan dari bahasa ngoko, na = bahasa ngoko halus, k = bahasa... more »
  • 29-11-14

    Kebo Bule Nongol Pad

    Konon ketika Paku Buwono II berniat memindahkan Keraton Kartasura, ia mempercayakan kepada kebo bule, yang sudah beranak pinak, untuk menemukan... more »