Banyusumurup Sentra Perkerisan di Yogyakarta
Author:editorTembi / Date:05-08-2014 / Ada yang menduga bahwa empu keris mulai menempati wilayah ini sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Dugaan ini didasarkan pada alasan karena Pajimatan Imogiri (makam raja-raja Mataram) mulai didirikan sejak zaman pemerintahan Sultan Agung.
Sebagian koleksi keris Mbah Jiwodiharjo di showroomnya
Dusun Banyusumurup, Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta hingga kini dikenal sebagai dusun pengrajin keris. Entah sejak kapan wilayah ini menjadi tempat bersemayamnya para empu keris dan pembuat warangka keris (mranggi).
Ada yang menduga bahwa empu keris mulai menempati wilayah ini sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Dugaan ini didasarkan pada alasan karena Pajimatan Imogiri (makam raja-raja Mataram) mulai didirikan sejak zaman pemerintahan Sultan Agung. Sebelumnya wilayah ini mungkin memang belum “tersentuh”.
Seiring dengan pembangunan makam, maka para abdi dalem Kerajaan Mataram mulai menempati wilayah di seputan Pajimatan Imogiri. Abdi-abdi tersebut tentu saja memiliki aneka keahlian. Salah satunya adalah dalam hal pembuatan keris dan juga batik.
Mbah Jiwodiharjo menerima upakarti dari Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (2011)
Salah satu empu keris yang hingga kini masih terus membuat keris di wilayah ini adalah Mbah Jiwodiharjo (80). Mbah Jiwo yang mengaku sebagai keturunan ke-19 dari Empu Supandriya dari Majapahit ini telah mulai membuat keris sejak tahun 1956 setelah ia lulus dari sekolah rakyat (SR). Kini ia memiliki 6 orang karyawan yang bertugas membantu pekerjaannya.
Mbah Jiwo yang masih kelihatan bugar dan lincah ini menerangkan bahwa untuk membuat keris pusaka setidaknya dibutuhkan waktu 6 (enam) bulan. Sedangkan untuk keris asesori (keris yang dipakai untuk main ketoprak, kelengkapan pakaian adat, dan lain-lain) ia bisa memproduksi 10 bilah dalam seminggu. Bahkan dalam sebulan ia bisa membuat keris jenis asesori sebanyak 70-80 bilah.
Mbah Jiwo yang mengantongi hampir 100 helai piagam penghargaan ini juga pernah mendidik puluhan pemuda di Banyusumurup, yang kini telah mandiri sebagai empu ataupun pengrajin keris dengan segala macam asesorinya (warangka, ukiran/tangkai keris, mendak, dan lain-lain). Hal ini menyebabkan Banyusumurup kian mekar sebagai sentra perkerisan di DIY-Jateng.
Mbah Jiwo menunjukkan keris pamor Blarak
Sineret/Ngirid warisan leluhurnya
Selain membuat keris Mbah Jiwo juga memproduksi aneka jenis senjata tradisional dari daerah lain. Di showroom-nya dipajang belati dan pedang Arab, kujang, golok, cundrik, badik, rencong, dan sebagainya. Harga paling rendah dari senjata-senjata itu adalah Rp 750.000. Sedangkan untuk keris pusaka harganya bisa sangat variatif. Setidaknya ia pernah membuat jenis keris pusaka pesanan dari Ida Bagus Mantra (mantan gubernur Bali) senilai 165 juta rupiah, pada tahun 1972.
Menurut Mbah Jiwo hal yang paling sulit bagi para empu keris zaman sekarang adalah apabila konsumen memesan keris dengan jenis logam tertentu, misalnya logam atau besi purosani, karangkijang, walulin, kamboja, terate, mangangkang, dan sebagainya. Jenis-jenis logam tersebut sangat sulit ditemukan di toko besi. Jadi harus diburu hingga ke pasar-pasar barang bekas (loak).
Keris karya Mbah Jiwo telah tersebar ke berbagai tempat. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga Malaysia, Timur Tengah, Ethiopia, Belanda, Perancis, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Sebagian senjata tradisional nonkeris karya Mbah Jiwo
Mbah Jiwo sendiri masih mewarisi beberapa keris karya leluhurnya yang juga empu. Keris pusaka warisan ini tidak akan pernah dijualnya karena merupakan pusaka kenang-kenangan dari leluhurnya. Salah satu keris pusaka warisan yang ditunjukkannya kepada Tembi berasal dari eyang buyutnya yang bernama Empu Dipomenggolo. Keris tersebut berpamor Blarak Sineret. Menurut kepercayaan keris berpamor Blarak Sineret membuat pemiliknya berwibawa dan disukai dalam pergaulan. Baik dengan atasan maupun bawahan.
Ke Yogya yuk ..!
Naskah & foto: A.Sartono
Yogyakarta YogyamuLatest News
- 29-09-14
Jaya Giri Jaya Bahar
Meski sejak tahun 1815, peradaban Tambora telah lama terkubur oleh letusan Gunung Tambora, namun hasil penelitian arkeologi memerlihatkan dengan... more » - 29-09-14
Pelajaran Budaya unt
Kunjungan anak-anak di Tembi Rumah Budaya, kiranya merupakan cara mengenalkan produk kebudayaan sejak dini. Anak-anak bermain piano Suasana riuh... more » - 29-09-14
Hidup Jubing Kristan
Musik sudah menjadi bagian hidup gitaris Jubing Kristanto. Sempat absen 4 tahun menelurkan album, gara-gara ia sibuk manggung, tapi tahun ini ia... more » - 27-09-14
Tim Fombi Nonton Sol
Malam itu Benteng Vastenburg terlihat sangat eksotis dengan balutan artistik bambu dan lampu-lampu indah yang membelit. Ternyata di benteng itu juga... more » - 27-09-14
Apri Menggali Tradis
Apri Susanto menggali nilai pisang dalam tradisi Jawa, memaknainya kembali, dan memvisualkannya secara kontemporer, dengan tajuk ‘Menembus Batas’.... more » - 27-09-14
Woodbury & Page.
Judul : Woodbury & Page. Photographers Java Penulis : Steven Wachlin Penerbit : KITLV Press, 1994, Leiden Bahasa :... more » - 26-09-14
Latihan Wayang Orang
Para peserta yang memang kebanyakan bukan pemain teater ini benar-benar baru merasakan betapa tidak mudah menjadi pemain wayang orang. Aneka... more » - 26-09-14
Sifat Ksatria Jadi F
Tema ksatria sengaja diambil untuk terus-menerus mengingatkan orang akan arti pentingnya nilai keksatriaan tersebut. Cerita tentang Tripama dan... more » - 26-09-14
Makna Baju Surjan da
Surjan bisa berbagai macam motif dan corak warnanya. Namun baju pranakan selalu satu corak dan warna, yakni lurik biru nila yang cara memakainya... more » - 25-09-14
Tidak Ketinggalan FE
Minggu, 21 September 2014 siang Tembi Rumah Budaya menerima tiga kelompok pengunjung dengan tujuan yang berbeda-beda. Satu kelompok menghendaki dapat... more »