Puisi Membuka Pemeran Seni Rupa

22 Jun 2015

Pada pembukaan pameran seni rupa karya Choerodin, terasa agak berbeda, karena hanya diisi dengan pembacan puisi, tanpa ada acara lain. Dengan demikian, puisi dan seni rupa saling mengisi dan memaknai sekaligus bisa memberi tahu pada para perupa muda, bahwa di Yogya pergaulan antarkreator dan pekerja seni memiliki sejarah dan saling menghargai.

Puisi dan seni rupa dua jenis karya seni yang berbeda, tetapi keduanya merupakan bentuk ekspresi budaya. Selama bertahun-tahun di Yogya pertautan antara sastra dan seni rupa pernah terjalin sangat intensif, bahkan dengan para aktivis di kampus (UGM), sehingga pada dekade 1970-an dikenal istilah poros Bulaksumur-Malioboro-Gamping.

Bulaksumur tempat para aktivis mahasiswa, ternasuk sastrawan kampus berada. Malioboro adalah tempat para penyair asuhan Umbu Landu Paranggi yang dikenal dengan sebutan PSK (Persada Studi Klub) berkumpul, dan Gampingan adalah tempat kampus Akadami Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogya.

Pertautan itu sudah lama berlalu, dan sekarang tak lagi ada interaksi intensif. Tapi pada Jumat malam 12 Juni 2015 di Tembi Rumah Budaya, pada acara pembukan pameran seni rupa, dengan tajuk ‘The Circle’ karya C.Roadin Choerodin, dua orang penyair Slamet Riyadi Sabrawi dan Agus Ania, dan seorang aktor teater Liek Suyanto, tampil membaca puisi untuk mengisi pembukaan pameran tersebut.

Dari pertemuan dua jenis karya seni di Tembi Rumah Budaya, rasanya seperti mengembalikan kisah masa lalu betapa akrab pergaulan kesenian antarseniman. Para hadirin dalam pembukan adalah anak-anak muda yang tidak mengenal masa pergaulan kesenian tahun 1970-an di Yogya.

Bahkan kurator pameran, Mikke Susannto, apalagi perupa Choerodin, sama sekali tidak mengenal situasi pergaulan akrab antarseniman yang terjalin sampai tahun 1980-an. Mungkin hanya mendengar kisah romantis masa lalu.

Penyair Slamet Riyadi Sabrawi, yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) dan, pada masa itu statusnya sebagai mahasiwa Fakultas Kedokteran Hewan, paham akan situasi pergaulan pada masa lalu, dan ketika dia membaca puisi untuk pembukaan pameran seni rupa itu, rasanya seperti ‘menghadirkan’ kisah masa lalu yang romantis.

Slamet Riyadi Sabrawi membaca puisi, yang berjudul ‘62’, karena kebetulan pada hari itu, saat pembukaan pameran tepat pada hari ulang tahunnya yang ke 62. Pada ulang tahun 62 ini, yang disebut sebagai tumbuk ageng, merupakan pertemuan antara weton kelahiran. Jadi, antara weton kelahiran dan weton ulang tahun ke-62, harinya sama.

Agus Ania adalah penyair yang jauh lebih muda. Alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegara ini tidak mengenali situasi pergaulan pada masa itu, bahkan dia masih sangat belia. Dia membacakan puisi karya Timur Sinar Supraba, penyair dari Semarang.

Liek Suyanto adalah seorang aktor teater, yang sejak tahun 1960-an sudah aktif di seni pertunjukan, padahal Liek adalah mahasiswa ASRI. Jadi, sebenarnya, Liek adalah contoh dari pergaulan antara seniman lukis pada masa itu dengan sastrawan dan pemain teater. Liek membacakan puisi karyanya, karena dia juga ‘mulai’ menulis puisi.

Tiga pembaca puisi dalam pembukaan pameran di Tembi Rumah Budaya, tentunya bukan yang pertama kali. Sudah beberapa kali penyair tampil membaca puisi di Tembi untuk acara pembukaan pameran.

Pada pembukaan pameran seni rupa karya Choerodin, terasa agak berbeda, karena hanya diisi dengan pembacan puisi, tanpa ada acara lain. Dengan demikian, puisi dan seni rupa saling mengisi dan memaknai sekaligus bisa memberi tahu pada para perupa muda, bahwa di Yogya pergaulan antarkreator dan pekerja seni memiliki sejarah dan saling menghargai.

Pembacan puisi itu sekaligus memberi tahu bahwa puisi dan seni rupa tak bisa dipisahkan, dan keduanya saling mengisi dan memaknai.

Ons Untoro 
Foto: Sartono

Liek Suyanto, Agus Ania tampil membaca puisi dalam pembukaan pameran di Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 26-06-15

    OK Video 2015 Tampil

    Masih dalam rangkaian OK Video 2015, kumpulan arsip hasil penelitian tentang cerita pendek berjudul ‘Langit Makin Mendung’ karangan Ki Pandjikusmin... more »
  • 26-06-15

    Mario Kahitna Masuk

    Selain seni suara dan musik, pria kelahiran Jakarta 11 Maret 1982 ini mengaku sangat menyukai hal-hal yang berbau desain busana. Desain pertama Mario... more »
  • 25-06-15

    OK Video 2015 Worksh

    Festival seni media berskala internasional, OK Video – Indonesia Media Arts Festival, kembali hadir. Bertempat di Galeri Nasional Indonesia tahun ini... more »
  • 25-06-15

    Sisa Peninggalan Tua

    Rumah penginapan atau orang sering menyebutnya sebagai Hotel Tuan John Kersch sekarang sudah tidak berbekas lagi. Hotel itu berada di sebelah barat... more »
  • 24-06-15

    Pendok Bunton dalam

    Disebut Pendok Bunton karena pendok ini menutup seluruh bagian gandar dari warangka (sarung) keris. Pada umumnya, keris berpendok Bunton banyak... more »
  • 24-06-15

    Slamet Riyadi Sabraw

    Sejak masih sebagai mahasiswa, Slamet selain dikenal sebagai penyair, dia juga ikut mengelola majalah kampus “Gelora Mahasiswa” bersama diantaranya... more »
  • 23-06-15

    Ruang Selfie dari Ar

    Artjog dalam perkembangannya memang telah menjadi fenomena kebudayaan, yang memberi ruang kepada siapa saja untuk ikut merespon’ karya-karya yang... more »
  • 23-06-15

    Upacara Peh Cun Tanp

    Peringatan hari besar Peh Cun biasanya dimeriahkan dengan festival barongsai, tapi untuk tahun 2015 ini hal itu tidak dilakukan. Ini semua untuk... more »
  • 22-06-15

    Puisi Membuka Pemera

    Pada pembukaan pameran seni rupa karya Choerodin, terasa agak berbeda, karena hanya diisi dengan pembacan puisi, tanpa ada acara lain. Dengan... more »
  • 22-06-15

    Cheng Ho, Salah Satu

    Dalam pelayaran tersebut Cheng Ho mengemban misi kemiliteran, kebudayaan dan diplomatik. Cheng Ho banyak membantu dalam menyebarkan agama Islam di... more »