Dhenok Menangis Sambil Memeluk Kopor
06 Aug 2015Dhenok Kristianti, seorang penyair dan pemain teater, pentas monolog dengan lakon ‘Kisah Nyai Ontosoroh atau Misteri Kopor Coklat Tua.’ Dhenok memerankan Nyai Ontosoroh, salah satu peran penting dalam kisa novel tetralogi yang ditulis Pramudya Ananta Toer.
Dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-46, Jumat malam 31 Juli 2015 di Tembi Rumah Budaya, Dhenok Kristianti, seorang penyair dan pemain teater, pentas monolog dengan lakon ‘Kisah Nyai Ontosoroh atau Misteri Kopor Coklat Tua.’ Dhenok memerankan Nyai Ontosoroh, salah satu peran penting dalam kisa novel tetralogi yang ditulis Pramudya Ananta Toer.
Nyai Ontosoroh, yang sebenarnya bernama Sanikem, adalah seorang gadis desa yang lugu yang dijadikan gundik, yang kemudian namanya diganti Ontosoroh. Sosok perempuan yang tegar dan penuh keberanian, meskipun awalnya adalah tipikal perempuan pribumi Jawa yang patuh dan tidak memiliki keberanian melawan.
Mengenakan kostum warna putih yang dipadu dengan batik dan mengenakan kerudung warna putih, seolah Dhenok hendak menghadirkan sosok Nyai Ontosoroh sebagai orang Jawa yang sudah mengalami ‘perubahan’. Properti yang disediakan hanya berupa meja dan kursi serta sebuah kopor coklat tua, yang sudah lusuh.
Sambil duduk di kursi, kepalanya disandarkan, Dhenok seperti sedang menghadirkan wajah sendu. Seolah dia sedang berusaha menghilangkan rasa sendu itu, dan ketika sebuah kopor dilemparkan, Dhenok terhenyak sambil berkata dengan marah, “Hanya sebuah kopor tua yang akhirnya kembali padaku.”
Sanikem dan Ontosoroh, dua perempuan yang sama, tetapi sesungguhnya berbeda. Karena pada perempuan pertama, orang bisa mengenali sebagai perempuan yang tidak memilki otoritas atas dirinya. Sebaliknya Ontosoroh, meski statusnya sebagai seorang gundik, tetapi memiliki keberanian untuk melawan dan merupakan perempuan yang tegar dan karakternya kuat.
Entah kenapa, Dhenok menghadirkan Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan yang lemah, mudah menangis, seolah tidak memiliki kekuataan. Walaupun dia melawan, tetapi tak bisa melepaskan tangisnya. Seolah, oleh Dhenok, Nyai Ontosoroh dipersepsikan sebagai perempuan-perempuan dalam sinetron, yang gampang menangis setiap kali menghadapi masalah.
Sambil memeluk kopor coklat, Dhenok menangis, seolah sedang menangisi nasibnya yang dicampakan oleh kekuatan yang tidak mampu dilawannya. Sebenarnya, ketika dia tidak berdaya sambil memeluk kopor coklat merupakan momentum yang dramatis, karena memberikan imajinasi Ontosoroh kembali pada Sanikem, dengan kopor miliknya.
Ketika Nyai Ontosoroh melawan Herman Malema, orang yang menjadikan gundik, sebenarnya bukan pribadi Ontosoroh melawan individu Herman. Melainkan kisah perlawan pribumi melawan penjajah. Dia, Ontosoroh tahu, bahwa apa yang dilakukannya akan gagal, namun lebih baik melawan dan kalah ketimbang tidak melawan tapi dinistakan.
Dhenok memang tampil dengan sungguh-sungguh, dan hadirin menyimaknya. Bahkan dengan tekun dan tenang, para hedirin menikmati penampilan Dhenok, malah, terasa hadirin ikut hanyut dalam kesenduan Dhenok. Seolah duka hidup Nyai Ontosoroh dibagikan kepada para hadirin.
Nyai Ontosoroh kalah, tetapi bukan hal itu yang sebenarnya hendak diperlihatkan. Melainkan keberanian seorang perempuan pribumi, yang dengan tegar melawan orang lain yang menjajahnya, bahkan sampai memasuki ruang privat: hal inilah yang tak bisa diterima Nyai Ontosoroh.
Dhenok, melalui Nyai Ontosoroh, telah memberi warna pada Sastra Bulan Purnama edisi ke-46, dan semua yang hadir menikmatinya.
Ons Untoro
SENI PERTUNJUKANBaca Juga
- 07-08-15
Pagelaran Macapat Tentang Keutamaan Wanita dalam Serat Musthika Buwana
Jika para wanita tidak memiliki sifat-sifat utama, maka kekacauan akan mudah ditemukan di masyarakat. Menurut “Serat Musthika Buwana,” perempuan... more » - 05-08-15
Geguritan Campur Ludruk, Jadilah Tontonan Penuh Tawa
Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga... more » - 04-08-15
KOLING: Kodaly Keliling oleh Cellist muda, Alfian Emir Adytia
Zoltan Kodaly adalah seorang komponis, pedagog (pendidik), linguis (ahli bahasa), dan juga etnomusikolog berkebangsaan Hungaria yang berkarya untuk... more » - 03-08-15
Wayang Pesisiran Tampilkan Lakon Kurawa Lahir
Ki Tri Luwih Wiwin Nusantara dari Kayen, Kota Pati, Jawa Tengah, mendapat kesempatan tampil mendalang, lengkap bersama rombongan pengrawit serta... more » - 28-07-15
From The New World dimainkan IYSO di Tembi Rumah Budaya
Indonesian Youth Symphony Orchestra (IYSO) kembali tampil di Tembi Rumah Budaya dengan melibatkan banyak anggota Sri Aman Orchestra, Malaysia,... more » - 28-07-15
Penggurit Dua Kota Akan Tampil Di Tembi
Para penggurit dari dua kota, Yogyakarta dan Surabaya, akan tampil bersama dalam launching antologi geguritan karya masing-masing penggurit, Jumat 31... more » - 10-07-15
Pesan terakhir SAS menghasilkan Karya Imajinatif, Ekspresif & Eksploratif
Pertunjukan yang diselenggarakan oleh Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama dengan Akademi Jakarta ini, untuk mengenang komponis... more » - 06-07-15
Kali ini IYSO Bermusik Kamar
Ini kali ke-6 IYSO pentas sejak Januari 2015, dan yang ke-4 di Museum Tembi Rumah Budaya. Untuk pementasan kali ini mereka membawakan tema musik... more » - 22-06-15
Puisi Membuka Pemeran Seni Rupa
Pada pembukaan pameran seni rupa karya Choerodin, terasa agak berbeda, karena hanya diisi dengan pembacan puisi, tanpa ada acara lain. Dengan... more » - 20-06-15
Katim Sang Dermawan Dunia
Selain dari serat Centhini, Macapatan Malam Rabu Pon putaran ke-138 pada 2 Juni 2015 di Tembi Rumah Budaya menembangkan tembang hari jadi Tembi Rumah... more »
Artikel Terbaru
- 08-08-15
Prajurit Bugis Kerat
Prajurit Bugis merupakan salah satu nama regu prajurit milik Kasultanan Yogyakarta. Struktur Prajurit Bugis terdiri atas Panji yang membawa pedang,... more » - 08-08-15
Pesta Puisi Di Malam
Satu acara yang diberi tajuk ‘Malam Sastra Nol Kilometer’ akan diisi pesta puisi dalam bentuk pembacaan puisi, yang diselenggarakan Minggu 9 Agustus... more » - 08-08-15
Hari Baik dan Hari B
Orang yang lahir pada Selasa Paing, pada usia 0 s/d 12 tahun, adalah ‘Pa’ Pandhita, baik. Usia 12 s/d 24 tahun, adalah ‘Ha’ Hajar, tidak baik. Usia... more » - 07-08-15
Pagelaran Macapat Te
Jika para wanita tidak memiliki sifat-sifat utama, maka kekacauan akan mudah ditemukan di masyarakat. Menurut “Serat Musthika Buwana,” perempuan... more » - 07-08-15
Sebuah Refleksi Di B
Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran dengan tema Di Balik Kelambu. Pameran berlangsung dari Senin malam, 3 Agustus hingga 11 Agustus... more » - 07-08-15
Golek Memanising Pat
Pepatah ini ingin menegaskan bahwa orang yang telah mencapai umur tertentu (tua) hendaknya lebih banyak golek memanising pati sehingga jika orang... more » - 06-08-15
Dhenok Menangis Samb
Dhenok Kristianti, seorang penyair dan pemain teater, pentas monolog dengan lakon ‘Kisah Nyai Ontosoroh atau Misteri Kopor Coklat Tua.’ Dhenok... more » - 06-08-15
Museum Sonobudoyo Pa
Dari jenis uang logam yang dipamerkan, terdapat uang kepeng berbahan kuningan, tembaga, dan timah. Uang logam berbahan kuningan dibuat pada zaman... more » - 05-08-15
Geguritan Campur Lud
Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga... more » - 05-08-15
Menguak Identitas Ka
Buku ini mengulas tentang dinamika dan perkembangan kampung Kauman, mencakup antara lain bidang agama, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, status dan... more »