Geguritan Campur Ludruk, Jadilah Tontonan Penuh Tawa

05 Aug 2015

Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa dihindarkan.

Sebuah pertunjukan yang menarik ditampilkan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, Jumat malam 31 Juli 2015, yakni pembacaan geguritan yang dikemas dalam bentuk ludruk Jawa Timuran, yang dipentaskan oleh para penggurit dari Surabaya. Pertunjukan ini memadukan pembacaan geguritan dan ludruk.

Para penggurit dari Surabaya itu Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, Giryadi dan Suharmono. Aming dan Widodo Basuki memukul gendang dan Giryadi memainkan wayang. Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa dihindarkan.

“Kita memang sengaja mencoba tampil beda tanpa melepaskan khas surabayaan, meskipun geguritan ditulis dengan bahasa Jawa yang halus,” ujar Aming Aminoedhin.

Para pembaca geguritan dari Surabaya dalam gaya ludrukan ini memang kocak dan sadar akan panggung, sehingga dalam membaca bisa merespon gejala yang dirasakannya, seperti apa yang dilakukan Giryadi. Ketika dia sedang membaca geguritan ada seorang anak yang tiba-tiba menangis.

‘Kosik ta, aja nangis aku tak maca dhisik (Nanti dulu, jangan menangis aku membaca dulu),” kata Giryadi.

Tentu saja penonton tergelak, dan Giryadi dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa, kembali melanjutkan membaca geguritan, yang terkumpul dalam antologi geguritan ‘Gurit Bandha Donya.’

Sambil memainkan wayang, Giryadi, Widodo Basuki dan Aming Amonoedhin, saling meledek. Melalui tokoh Gareng, Giryadi yang memainkan wayang itu bisa meledek siapa saja, sehingga suasana segar dan tawa tak bisa dihilangkan.

Pertunjukan sastra, dalam konteks ini membaca geguritan, memang perlu menghidupkan suasana, agar tidak kaku dan tegang sehingga membuat penonton cepat bosan. Tetapi ludrukan geguritan dari penggurit Surabaya ini membuat penonton tidak cepat bosan, dan seolah pertunjukan seperti cepat selesai.

Para penggurit dari Surabaya ini tergabung dalam satu komunitas yang mereka namakan PPSJS kependekan dari Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, yang sudah berumur 38 tahun. Satu umur yang termasuk tidak muda untuk sebuah komunitas sastra Jawa.

“Malam ini, tepat 31 Juli 2015 saat acara Sastra Bulan Purnama diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya, usia PPSJS genap berumur 38 tahun,” kata Suharmono, ketua PPSJS mengawali pengantar sebelum membaca geguritan karyanya.

Apa yang kita lakukan dengan ludruk geguritan ini, demikian Suharmono mengatakan, merupakan satu aktvitas yang kita sebut sebagai ngamen geguritan atau ngamen sastra. Kita sudah melakukan ngamen seperti ini di beberapa kota di Jawa dan malam ini kita ngamen di Tembi Rumah Budaya.

Sambil ludrukan dan memukul gendang, para penggurit saling bergantian membaca geguritan. Widodo Basuki, yang mengenakan pakaian serba hitam, membacakan geguritan karyanya sambil tidak melupakan banyolan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aming Aminoedhin dan penggurut lainnya.

Ludruk geguritan jelas merupakan terobosan dari pertunjukan sastra.

Ons Untoro 
Foto: Barata

Ludruk Geguritan dari Surabaya tampil di Sastra Bulan Purnama Tembi Rumah Budaya, foto: Totok Aming Aminoedhin membaca geguritan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Amphytheater Pendapa Tembi Rumah Budaya, foto: Totok Widodo Basuku membaca geguritan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, foto Totok SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 05-08-15

    Geguritan Campur Lud

    Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga... more »
  • 05-08-15

    Menguak Identitas Ka

    Buku ini mengulas tentang dinamika dan perkembangan kampung Kauman, mencakup antara lain bidang agama, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, status dan... more »
  • 04-08-15

    Pameran Seni Rupa “M

    Ada 50 pelukis yang mengikuti pameran tersebut, di antaranya adalah nama-nama pelukis yang sudah dikenal masyarakat, seperti: KH D Zawawi Imron, KH... more »
  • 04-08-15

    KOLING: Kodaly Kelil

    Zoltan Kodaly adalah seorang komponis, pedagog (pendidik), linguis (ahli bahasa), dan juga etnomusikolog berkebangsaan Hungaria yang berkarya untuk... more »
  • 04-08-15

    Masih Ada Beberapa L

    Kereta pusaka lain milik Kasultanan Yogyakarta adalah Kyai Wimanaputra. Kereta ini khusus digunakan oleh putra mahkota. Kereta ini dipesan di pabrik... more »
  • 03-08-15

    Sendang Kali Ayu Dod

    Sendang Kali Ayu ini dulu dibuat atau ditemukan oleh Mbah Ronowijoyo. Kisahnya, pada suatu ketika Mbah Ronowijoyo kedhuk-kedhuk (menggali tanah) di... more »
  • 03-08-15

    Wayang Pesisiran Tam

    Ki Tri Luwih Wiwin Nusantara dari Kayen, Kota Pati, Jawa Tengah, mendapat kesempatan tampil mendalang, lengkap bersama rombongan pengrawit serta... more »
  • 01-08-15

    Hari Baik dan Hari J

    Orang yang lahir pada Selasa Kliwon, pada periode usia 0 s/d 12 tahun, adalah ‘PA’ Pandhita, baik. Usia 12 s/d 24 tahun, adalah ‘SA’ Sunan, baik.... more »
  • 01-08-15

    Tajong Samarinda Dib

    Tajong Samarinda pada mulanya dibawa oleh para pendatang Suku Bugis Wajo yang berpindah ke Samarinda karena tidak mau patuh pada perjanjian Bongaja... more »
  • 01-08-15

    UU Tata Niaga Gula d

    Di Perpustakaan Tembi tersimpan dengan baik buku lawas ini yang berisi tentang undang-undang tata niaga gula di Hindia Belanda. Peraturan ini... more »