Didik Nini Thowok Berani Mendalami Dunia Cross Gender
06 Oct 2015Ia adalah perias yang piawai, ia juga bisa melukis, ia manajer yang baik, ia juga seorang pengajar di berbagai institusi, komedian, pantomimer, koreografer, penyanyi, dan ia luwes menjalin relasi demikian luas. Pendek kata ia mau belajar banyak hal.
Salah satu karya tari terkenal kreasi Didik Nini Thowok, yang terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian, adalah Tari Dwi Muka. Menurut Didik Nini Thowok, Tari Dwi Muka yang diciptakannya berawal dari serba kebetulan. Tahun 1970-an ia terkesan dengan lagu/gending Sunda yang berjudul Salome. Selain itu pada tahun yang sama ia terkesan dengan sebuah film pembunuhan dengan tokoh pembunuh yang menggunakan topeng yang diletakkan di belakang kepalanya sehingga mengecoh aparat yang memburunya.
Tahun 1987 Didik Nini Thowok dikontrak selama 3 bulan di Depok oleh WS. Rendra untuk melatih gerak-gerak untuk pementasan Oedhipus. Di sana pula Didik mulai semakin mengembangkan Tari Dwi Muka-nya. Ia juga mulai memperbaiki kostumnya. Pada saat itu Tari Dwi Muka yang digarapnya lebih menekankan muka baik dan muka buruk (jahat).
Pada sisi itulah Didik Nini Thowok mulai berfilosofi bahwa pada intinya manusia mudah terjebak, tertipu, terjerumus, terkorbankan oleh penampakan fisik yang seolah baik dan suci namun hatinya jahat, palsu, penuh iri, dan dengki. Sebaliknya orang juga sering salah terka dengan penampilan fisik yang kasar, urakan, sederhana dan sebagainya yang justru di dalam hatinya menyimpan banyak kebaikan dan kebenaran. Dari Tari Dwi Muka itu pula bisa ditampilkan banyak hal berkenaan dengan ajaran baik dan buruk.
Didik adalah sosok yang tidak mau berhenti atau puas pada satu pencapaian saja. Oleh karena itu, di samping menari ia juga belajar pada banyak hal. Tidak aneh jika ia kemudian juga dijuluki sosok yang multi talenta.
Ia adalah perias yang piawai, ia juga bisa melukis, ia manajer yang baik, ia juga seorang pengajar di berbagai institusi, komedian, pantomimer, koreografer, penyanyi, dan ia luwes menjalin relasi demikian luas. Pendek kata ia mau belajar banyak hal. Satu hal untuk dapat meraih itu semua adalah sikap rendah hati (tidak sombong) dan ketulusan Didik kepada siapa pun, sekalipun ketulusannya sering juga dimanfaatkan oleh orang yang berhati tidak baik.
Dari Tari Dwi Muka itu pula Didik kemudian juga menjadi sangat berminat serta berani untuk mendalami dunia cross gender, yang sebenarnya ada di mana-mana. Bahkan di dunia tari klasik di Jawa dan wilayah lain. Arjuna atau tokoh ksatria halus pada masa lalu sudah sangat sering ditarikan oleh perempuan. Pun dalam dunia ludruk, banyak laki-laki yang berperan sebagai tokoh perempuan. Tari Dwi Muka bisa berperan sebagai laki-laki sekaligus perempuan dalam satu tampilan tari oleh satu sosok orang dalam ruang dan waktu yang sama sekaligus.
Hal yang paling penting untuk dilakukan oleh para seniman cross gender adalah kualitas karya. Bukan semata-mata meniru gaya perempuan atau meniru gaya laki-laki belaka, tetapi harus mampu menjiwainya. Masuk dalam ruhnya. Bukan tiruan dan tempelan seperti mosaik belaka. Jadi orientasinya memang pada kualitas, bukan untuk dimain-mainkan atau bahkan dilecehkan.
Cross gender di dunia kebudayaan/seni di berbagai tempat umumnya memiliki alasannya sendiri-sendiri. Ada yang beralasan karena kalau hal demikian diperankan oleh laki-laki kurang memberi tekanan pada sisi estetika feminitas. Ada pula yang beralasan karena kalau hal demikian dilakukan oleh perempuan akan menghilangkan kesaktian pihak laki-laki dan sebagainya.
Ada beberapa keunikan Tari Dwi Muka di antaranya adalah menampilkan dua sisi atau sosok yang berbeda dalam satu tubuh penari. Penari juga harus bisa berpikir secara terbalik: muka-belakang. Ia harus mampu menarikan dan memunculkan karakter topeng di belakang kepalanya seluwes dan seindah jika ditarikan dengan arah hadap tubuh yang sesungguhnya. Kostum muka dan belakang (yang kelihatan persis seperti kostum yang dikenakan di muka) juga harus dikenakan penari sebaik dan seluwes seperti menari dengan arah hadap yang sebenarnya. Tentu, gerak-gerak tari dengan menggunakan punggung, pantat, kepala belakang sebagai “bagian muka” bukanlah hal yang mudah. Namun Didik mampu melakukannya dengan sangat baik dan mungkin sangat sulit untuk ditirukan.
a. sartono
PROFILBaca Juga
- 11-12-15
Umi Kulsum, Penyair yang Guru Bahasa Indonesia
Umi selalu aktif dalam acara Sastra Bulan Purnama, yang diselenggarakan tiap bulan oleh Tembi Rumah Budaya. Dia bertindak sebagai pembawa acara,... more » - 01-12-15
Tara Basro Ingin Berguna Bagi Industri Film
Jatuh bangun di dunia film tak membuat perempuan berkulit eksotis ini patah arang. Berbagai casting dilalui sampai akhirnya ia berhasil membuktikan... more » - 11-11-15
Giryadi, Penyair dan Perupa
Sebagai ulusan seni rupa, dia malah menekuni sastra dan teater, dan puisi adalah karya yang terus diciptakan dia. Makanya, dia dikenal sebagai... more » - 02-11-15
David Nurbianto, Menjadi Komika Tak Harus Cerdas
Menjadi juara pertama ajang Stand Up Comedy season empat yang diadakan Kompas TV membuat nama David Nurbianto semakin melambung. Selain semakin tenar... more » - 26-10-15
Inayah Wulandari Wahid Akan Terus Berteater
Putri bungsu dari mantan Presiden Gus Dur ini aktif dan serius berteater sejak tahun 2000-an, meski sempat terhenti sejenak karena kesibukan. Ia... more » - 24-10-15
Atien Kisam, Guru Silat dan Pewaris Kebudayaan Betawi
Ayahnya juga merupakan keturunan dari seniman Betawi tempo dulu Djiun, hasil perkawinannya dengan Mak’ Kinang yang berprofesi sebagai penari. Bisa... more » - 20-10-15
Maudy Koesnaedi, Cinta Mati Pada Betawi
Meski memiliki darah Sunda, wanita yang dikenal dengan perannya sebagai Zaenab dalam serial Si Doel Anak Sekolah ini mengaku sangat mencintai budaya... more » - 16-10-15
Wanto Tirta Penyair Dari Banyumas
Selain menulis puisi Wanto juga menulis geguritan, yaitu puisi bahasa Jawa. Jadi, dia penyair sekaligus penggurit. Tapi, agaknya, ia lebih tekun... more » - 12-10-15
Ki Bayu Gupito Aji Nugroho, Dalang Muda Potensial
Setiap kali mendapat kesempatan mendalang, mahasiswa tingkat akhir di ISI ini mengajak anak-anak muda untuk bersama-sama, bahu membahu melestarikan... more » - 28-09-15
Olga Lidya, Tak Kenal Lelah Demi Perfilman Indonesia Lebih Baik
Dipercayai sebagai ketua FFI 2015, Olga mengaku sempat ragu mengemban tugas yang sangat berat ini. Namun sahabat-sahabat seperti Lukman Sardi, dan... more »
Artikel Terbaru
- 12-12-15
Pasar Keroncong Kota
“Pasar Keroncong Kota Gede” diselenggarakan Sabtu ini, 12 Desember 2015, pukul 16.00-24.00 WIB. Sesuai dengan nama acara, pertunjukan ini akan... more » - 12-12-15
Sanggar Kummis Terba
Festival Teater Jakarta 2015 sudah berakhir, Sanggar Kummis dari STIE Ahmad Dahlan, Jakarta berhasil menyabet juara pertama kelompok teater terbaik... more » - 12-12-15
Rombongan ACICIS Ant
Keberhasilan mereka dalam menawar ternyata membawa kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Sekalipun selisih yang didapatkan dari tawar-menawar itu hanya... more » - 11-12-15
Umi Kulsum, Penyair
Umi selalu aktif dalam acara Sastra Bulan Purnama, yang diselenggarakan tiap bulan oleh Tembi Rumah Budaya. Dia bertindak sebagai pembawa acara,... more » - 10-12-15
Rekaman Otentik Cand
Buku lawas terbitan tahun 1903 koleksi Perpustakaan Tembi ini bisa menjadi salah satu rujukan untuk mengetahui kondisi Candi Mendut, yang berada di... more » - 10-12-15
Ayam Bakar Kanil Saj
Di bulan Desember nan sejuk oleh rinai hujan, menyantap Ayam Bakar Kanil hasil olahan Warung Dhahar Pulo Segaran Tembi sungguh pas. Di samping... more » - 08-12-15
Catatan Bung Tomo Te
Karena terlibat secara langsung, tidak heran apabila Bung Tomo bisa menggambarkan pertempuran Surabaya secara detail. Seperti sebuah peristiwa ketika... more » - 08-12-15
Joglo di Bantul Buat
Kompleks bangunan rumah joglo milik Raditya Wahyu Kumara ini seluas sekitar 900 m persegi. Luas tanah sekitar 1.960 meter persegi. Rumah ini... more » - 07-12-15
Ki Margiono Suguhkan
Ki Margiono (65), dalang senior yang juga dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Pedalangan membawakan lakon Kumbakarno Gugur dengan serius... more » - 07-12-15
Lampah Kasiswan, Aja
Buku ini tidak dijelaskan bahasa aslinya dan tahun penciptaannya. Namun demikian, terjemahan dalam bahasa Jawa dicetak tahun 1938. Buku terjemahan... more »