'Sumantri Gugah’ Ketika Ambisi Pribadi Mengalahkan Cinta

Author:editortembi / Date:25-03-2014 / Sumantri menangis, memeluk dan menciumi adiknya yang sudah tidak bernyawa. Baru terasa sekarang, bahwa sesungguhnya Sumantri sangat mencintai adiknya. Namun sayang, selama ini perasaan cintanya tertutup oleh ambisi pribadi dalam upayanya menjaga citra sebagai Patih Mahespati yang muda, tampan dan sakti mandraguna.

Pentas Wayang Orang Panca Budaya dengan lakon ‘Sumantri Gugah,’ Jumat 14 Maret 2014, Gedongkiwo, Yogyakarta, foto: Herjaka HS
Adegan perang Bambang Sumantri melawan dua raksasa

Ratusan penonton berbagai umur berbaur menjadi satu di pendapa Condronegaran Gedongkiwo Yogyakarta, untuk menyaksikan pentas Wayang Orang Panca Budaya yang memilih lakon ‘Sumantri Gugah,’ pada Jumat 14 Maret 2014. Pertunjukan diawali dengan keluarnya dua tokoh utama dalam lakon tersebut yaitu Sukrasana dan Sumantri.

Dalam adegan tersebut Sumantri ingin meninggalkan adiknya, pergi mencari pekerjaan di Negara Mahespati. Dikarenakan Sukrasana tidak mau ditinggal, maka Sumantri berupaya membuat Sukrasana tidur. Setelah berhasil menidurkan adiknya, Sumantri bergegas meninggalkan Sukrasana.

Sejenak kemudian, Sukrasana pun bangun dan mencari Sumantri. “Akang Ati, kowe ning endi Akang? Aja inggal aku Akang, aku elu Akang, aku elu” (Kakang Mantri kamu di mana Kakang? Jangan tinggalkan aku Kakang, aku ikut Kakang, aku ikut)”. Penonton pun dibuat tertawa oleh logat bicara Sukrasana yang cedal dan lucu.

Pentas Wayang Orang Panca Budaya dengan lakon ‘Sumantri Gugah,’ Jumat 14 Maret 2014, Gedongkiwo, Yogyakarta, foto: Herjaka HS
Dewi Setyawati sedang bersenang-senang dengan para putri

Banyak hal di pentas wayang orang tersebut yang menjadi daya tarik, sehingga mampu menyedot perhatian penonton dalam jumlah besar. Daya tarik tersebut diantaranya adalah: kostum dari para pemain atau penari, yang berjumlah 40-an itu, kelihatan mewah dan gemerlap.

Selain itu, beragam karakter diekspresikan oleh para pemain dengan cukup berhasil, baik lewat dialog maupun gerakan tari. Ada gerakan tari putri, gerakan tari gagah, gerakan tari alus dan gerakan tari raksasa. Unsur-unsur humor pun ditata dengan baik dengan porsi secukupnya, tidak berlebihan. Penata iringan digarap dengan sungguh-sungguh sehingga dapat membawa alur cerita yang telah ditentukan sutradara, serta mampu mendukung karakter yang dibangun oleh para pemain. Ditambah lagi dengan kehadiran bintang tamu Yati Pesek yang cukup segar dan menghibur.

Pentas wayang orang yang dibarengkan dengan festival kopi Nusantara serta pameran aneka kerajinan dari masyarakat Gedongkiwo tersebut merupakan agenda pentas keliling setiap bulan yang dilakukan oleh grup Wayang Orang Panca Budaya dalam setahun terakhir ini. Wayang Orang Panca Budaya yang didukung oleh seniman-seniman profesional dari empat kabupaten dan kota se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dimaksudkan sebagai representasi dari grup wayang rrang di Yogyakarta.

Para seniman profesional yang mendukung pentas malam itu diantaranya adalah: Rini Widyastuti, Paryati SIPE, Sukirno, Slamet GK, Damarwulan, Nanang Tegolelono, Semaji. Sedangkan penulis naskah dan sutradara: Tukiran, penata gendhing: Eko Purnomo, art direktur: Agus Ley Loor, penata tari: Widodo K, Dalang Ki Agus Hadi Sugito, pimpinan Agus Setyawan.

Pentas Wayang Orang Panca Budaya dengan lakon ‘Sumantri Gugah,’ Jumat 14 Maret 2014, Gedongkiwo, Yogyakarta, foto: Herjaka HS
Adegan Sumantri menyesali perbuatannya 
karena membunuh adiknya, Sukrasana

Cerita Sumantri Gugah atau lebih dikenal dengan judul ‘Sumantri Ngenger’ sangat pupoler di masyarakat. Cerita tersebut mengisahkan dua saudara laki-laki yang masing-masing mempunyai kesaktian luar biasa, namanya Sumantri dan adiknya Sukrasana. Walaupun keduanya lahir dari pasangan Resi Suwandageni dan Dewi Darini, dua saudara kandung tersebut sangat berbeda, baik wataknya maupun wujud fisiknya. Sumantri bertubuh ideal, tampan dan rupawan, namun ambisius dan tinggi hati. Sedangkan Sukrasana bertubuh cebol dan berwajah raksasa menakutkan, namun rendah hati.

Menurut cerita kedua orangtuanya, saat Sumantri dalam kandungan, pasangan tersebut masih terhitung pengantin baru. Dewi Darini bahagia dan senang hidup di hutan, mendampingi suaminya yang adalah petapa. Rasanya seperti berbulan madu, bercengkrama berdua sepuasnya di tempat yang sepi jauh dari keramaian.

Namun setelah kelahiran anak pertama yang diberi nama Bambang Sumantri, Dewi Darini mulai merasa bosan hidup di hutan. Rasa bosan tersebut mencapai puncaknya ketika ia sedang mengandung anak yang kedua. Ada kata-kata yang selalu dilontarkan kepada suaminya “Kita ini seperti raksasa, yang hidupnya di hutan. Aku bosan!”

Kata “raksasa” yang selalu diungkapkan dan dikatakan oleh Dewi Darini saat dirinya mengandung, rupanya berpengaruh nyata pada pembentukan janin dalam kandungan. Ibarat mengutuk diri sendiri, akibatnya anak kedua lahir dalam wujud raksasa kerdil dan diberi nama Sukrasana.

Setelah kelahiran Sukrasana, baik Resi Suwandageni maupun Dewi Darini menyesali akan kesalahannya. Mereka berjanji untuk menghilangkan rasa mau menangnya sendiri dan berusaha membangun hidup bersama dengan lebih baik. Maka kemudian dibangunlah hutan tersebut menjadi sebuah padepokan yang asri dan diberi nama Ardisekar atau Jatisarana, agar Dewi Darini merasa betah tinggal di padepokan tersebut.

Walaupun pasangan Resi Swandageni dan Dewi Darini telah menjalani hidup baru yang lebih baik, akibat kesalahan masa lalu tidak pernah dapat terhapuskan. Sumantri dan Sukrasana yang mulai tumbuh dewasa masih menyisakan dosa masa lalu dari kedua orangtuanya.

Karena kondisi fisik yang sangat ‘njomplang’, tidak seimbang, Sumantri malu mengakui adiknya di depan umum. Apalagi saat Sumantri telah menjabat kedudukan patih dengan nama Suwanda di negara Mahespati. Ia menyangkal kepada Dewi Citrawati dan para putri yang sedang bersenang-senang di Taman Sriwedari, bahwa Sukrasana yang dianggap sebagai setan oleh para putri itu adalah adiknya.

Pentas Wayang Orang Panca Budaya dengan lakon ‘Sumantri Gugah,’ Jumat 14 Maret 2014, Gedongkiwo, Yogyakarta, foto: Herjaka HS
Penonton anak-anak pun serius menyimak pertunjukan

Bahkan Sumantri tega mengusir adiknya yang telah memindahkan taman Sriwedari demi dirinya agar tidak dipecat dari jabatan patih.

“Kakang Mantri aku mencintai kamu,” demikian ungkapan Sukrasana yang diperankan oleh Sukirno dengan suara cedal. “Sejak engkau meninggalkan aku, aku hidup kebingungan. Oleh karenanya jauh-jauh dari pertapaan aku menyusulmu sampai di negara Mahespati ini, karena aku tidak dapat berpisah denganmu. Satu-satunya kebahagiaan yang aku rasakan dalam hidupku, saat aku berkumpul bersamamu.”

“Kakang Mantri, aku tahu, bahwa engkau malu mempunyai adik seperti aku yang jelek ini, sehingga engkau mengusirku untuk pulang ke pertapaan. Kakang Mantri, apapun yang engkau minta pasti akan aku penuhi sejauh aku bisa. Namun jangan meminta, agar aku meninggalkanmu. Karena aku tidak akan pernah mau meninggalkanmu dan berpisah denganmu.”

Sumantri jengkel kepada adiknya yang ‘ngeyel’ tidak mau pulang ke padepokan. Maka kemudian diambilnya panah pusaka guna menakut-nakuti Sukrasana agar mau meninggalkan taman Sriwedari. Namun sekali lagi, Sukrasana lebih takut berpisah dengan Sumantri daripada menghadapi panah pusaka milik Sumantri.

“Aja dolanan pusaka, mengko yen ana setan lewat’(jangan bermain pusaka, nanti kalau ada setan lewat),” demikian kata para kakek saat melihat cucu-cucunya bermain benda-benda tajam yang membahayakan. Benarlah apa yang dikawatirkan kakek, saat Sumantri menakut-nakuti adiknya dengan panah pusaka, ada setan lewat dan menepak tangan Sumantri, sehingga panah pusaka itu pun lepas dengan sendirinya dan menghujam dada Sukrasana.

Pentas Wayang Orang Panca Budaya dengan lakon ‘Sumantri Gugah,’ Jumat 14 Maret 2014, Gedongkiwo, Yogyakarta, foto: Herjaka HS
Penonton usia muda pun berjubel

Sumantri menangis, memeluk dan menciumi adiknya yang sudah tidak bernyawa. Baru terasa sekarang, bahwa sesungguhnya Sumantri sangat mencintai adiknya. Namun sayang, selama ini perasaan cintanya tertutup oleh ambisi pribadi dalam upayanya menjaga citra sebagai Patih Mahespati yang muda, tampan dan sakti mandraguna.

Para penonton terharu menyaksikan tragedi keluarga yang mengenaskan. Jika ada ‘until-until’ atau bungkusan kecil yang dapat diabawa pulang untuk disimpan dalam hati, salah satunya adalah sebuah permenungan, ketika cinta sudah dikalahkan oleh egoisme, ambisi pribadi, drajat, pangkat, kedudukan, uang dan harta.

Naskah dan foto: Herjaka HS

Peristiwa budaya

Post new comment

Latest News

  • 29-03-14

    Joglo Kweden Pernah

    Sejak tahun 1960-an di tempat ini secara rutin diselenggarakan upacara merti dusun, namun selama dekadea 1970-an vakum. Merti dusun Dusun Kweden... more »
  • 29-03-14

    Hari Sangat Baik bag

    Orang Wuku Kurantil teguh pendiriannya, rajin, disenangi banyak orang, namun boros dan tidak dapat dijadikan pelindung. Agar terhindar dari mara... more »
  • 29-03-14

    Seni Fotografi dalam

    Meski ada kata amatir dalam perkumpulan ini, tetapi sesungguhnya para kreatornya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan teknis dalam fotografi,... more »
  • 29-03-14

    Tari Gatotkaca Gandr

    Tari ini ingin menunjukkan sisi romantisme Gatotkaca yang selalu diidentikkan dengan ksatria yang gagah perkasa di medan perang. Penggambaran profil... more »
  • 28-03-14

    Empat Keris Tangguh

    Kerajaan Galuh termasuk salah satu kerajaan yang pernah ada dan terkenal di Jawa Barat. Itulah sebabnya, kerajaan ini juga menghasilkan produk-produk... more »
  • 28-03-14

    Sumur Sinaba

    Sumur sinaba sesungguhnya ingin menggambarkan tentang orang yang selalu menjadi tujuan orang lain untuk diminta pertolongan. Artinya orang yang... more »
  • 27-03-14

    ‘Pesta Rakyat’ dalam

    Karya seni patung yang dipamerkan ini masing-masing mengundang imajinasi yang berbeda, sehingga ketika kita memasuki ruang pamer Taman Budaya... more »
  • 27-03-14

    Upacara Wiwit dan Pa

    Upacara Wiwit ini biasa dilakukan pada hari tertentu yang “jatuhnya” dimaknai sebagai baik sesuai dengan perhitungan hari dan pasaran Jawa. Setelah... more »
  • 27-03-14

    Dari Moloku Kie Raha

    Judul : Dari Moloku Kie Raha hingga Negara Federal. Biografi Politik Sultan Ternate Iskandar Muhammad Djabir Sjah  Penulis : Irza Arnyta... more »
  • 26-03-14

    Jalan Parangtritis:

    Perubahan nama Jl Danunegaran menjadi Jl Parangtritis terjadi sejak tanggal 7 Oktober 1956. Nama Jl Parangtritis tidak lagi hanya sepanjang jalan... more »