Rendang Kampung Soewardi, Bukan Rendang Biasa

05 Aug 2014 Rendang olahan Suwardi terdiri dari beragam jenis. Mulai dari yang konvensional atau rendang orisinal, sampai rendang setan yang sangat pedas, rendang vegan untuk vegetarian, rendang jengkol, rendang paru, dan yang istimewa, rendang asap.

Rendang Kampung Soewardi, Bumijo, rendang asap, rendang jengkol, rendang setan, rendang vegan, foto: Barata
Rendang asap, varian baru rendang 
yang layak direkomendasi

Namanya sangat biasa, ‘Rendang Kampung Soewardi’. Tapi rasanya di atas biasa. Benar-benar enak. Atau dalam bahasa yang ekspresif, ‘ueeenaaak pol!’. Dagingnya empuk dan bumbu rempahnya kuat.

Rendang olahan Suwardi terdiri dari beragam jenis. Mulai dari yang konvensional atau rendang orisinal, sampai rendang setan yang sangat pedas, rendang vegan untuk vegetarian, rendang jengkol, rendang paru, dan yang istimewa, rendang asap.

Rendang asap bisa dikatakan satu varian baru masakan rendang. Mungkin baru pertama ada di Indonesia. Dimodifikasi dari rendang yang ada, rendang asap sangat potensial menjadi varian unggulan.

Sepintas bentuk dan teksturnya mirip dengan rendang biasa. Tapi saat dikunyah teksturnya sungguh empuk dan serat dagingnya terasa lembut. Aroma mantap rempah-rempah yang kuat bercampur dengan aroma sedap asap batok kelapa yang khas. Hasil kreasi yang telak menaklukkan lidah, dan sungguh layak direkomendasikan.

Suwardi (51 tahun), pencipta rendang asap ini, menjelaskan proses pembuatannya. Dimulai dengan pengasapan daging sapi terlebih dahulu, dengan menggunakan batok kelapa yang dibakar di dalam periuk tanah liat. Prosesnya cukup lama, sekitar 9 -12 jam. Kemudian bumbu rempah-rempah digongso (digoreng dengan sedikit minyak), lalu dicampur dengan daging yang telah diasapi, lantas dicampur dengan santan mendidih.

Sebenarnya semua varian rendang olahan Suwardi ‘mantap punya’. Mengandalkan bumbu rempah-rempahnya yang menggigit, aromanya meresap ke dalam daging. Namun agaknya Suwardi ingin memberi yang terbaik pada varian modifikasinya.

Rendang Kampung Soewardi, Bumijo, rendang asap, rendang jengkol, rendang setan, rendang vegan, foto: Barata
Rendang setan, pedasnya kelewatan tapi bikin ketagihan

Rendang jengkol, misalnya, tidak menyebarkan aroma jengkol yang tajam. Nyaris tidak berbau. Untuk itu, menurut Suwardi, jengkol direndam di air yang memakan waktu lama. Jengkolnya empuk dan rasa gurihnya yang mirip daging mencuat. Apalagi dicampur dengan daging rendang, kombinasi serasi yang menguatkan. Tidak heran jika rendang jengkol menjadi favorit. “Rendang jengkol paling banyak dicari, selain rendang asap,” kata Suwardi.

Jenis rendang yang juga banyak diminati adalah rendang setan. Ada lima level kepedasan pada rendang Suwardi. Level tertinggi adalah level setan, yang justru paling dicari karena pedasnya yang kelewatan. Suwardi memang menggunakan jenis cabe yang super pedas. Meski begitu, masih ada batas koridor kenyamanan dalam menikmati rendang ini. Rasa pedasnya tidak sampai menggusur rasa rendang sehingga walaupun megap-megap kepedasan tapi tetap merasakan kelezatannya.

Suwardi memang bukan orang baru di dunia kuliner. Lelaki asal Gunung Kidul yang sejak sekolah dasar menetap di Yogya ini berdagang makanan sejak 1998. Hantaman krisis moneter menggoyang keras ekonomi rumah tangganya. Lelaki bertubuh kurus ini pun berkeliling mendorong gerobak makanan. Menunya adalah nasi, sayur dan lauk pauk, termasuk rendang.

Gerobak seberat 1-2 kuintal ini didorongnya dari jam 10 pagi sampai jam 3 siang. Usaha yang cukup berat ini dilakoninya dengan tekun dan serius. Motivasi utamanya adalah bagaimana menghidupi dan menyekolahkan kedua orang anaknya. Saat itu anak sulungnya masih duduk di kelas 4 SD.

Untungnya pelanggannya bertambah banyak. Rendangnya pun bertambah enak melalui berbagai cara mengolah rendang berdasarkan masukan dan pengetahuan yang ia terima.

Pada tahun 2007, seiring bertambahnya usia dan energi yang terkuras untuk mendorong gerobak, lelaki kelahiran tahun 1963 ini menyewa tempat di di Jalan Bumijo, di utara tempatnya sekarang. Lantas tiga tahun kemudian, ia menyewa tempat yang ditinggalinya hingga kini, di Jalan Bumijo nomor 10A, persis di depan Kantor Pekerjaan Umum.

Asal mula penemuannya dimulai ketika ia sedang berwisata di salah satu pantai di Kulon Progo. Di sebuah tempat pelelangan ikan ia melihat seorang nelayan sedang mengasapi ikan. Ia menanyakan apa saja yang bisa diasapi. Jawabannya, bisa ikan, bisa daging. Maka di rumah, Suwardi pun mencoba mengasapi daging dengan menggunakan drum dan tempurung kelapa.

Sekitar bulan Juli 2013, ia mendapat undangan dari Kelompok Kompas Gramedia untuk ikut dalam pameran kuliner di Jakarta, Mighty Culinary Festival. Dengan tema ‘Taste of Indonesian Heritage’, dengan syarat menunya harus punya kekhasan. Maka Suwardi menyodorkan rendang asapnya, dan lolos seleksi. Tidak berpangku tangan selama tiga bulan menjelang pameran, Suwardi pun kembali mencoba menyempurnakan olahan rendangnya. Pada saat pameran, 6 Oktober 2013, 50 kilogram daging rendang yang dibawanya dari Yogya habis terbeli tidak sampai sehari.

Kini rendangnya semakin dikenal. Bahkan sering dibawa ke Australia, Inggris, Singapura oleh orang Indonesia yang tinggal di sana. Rendang kemasannya memang tahan lama. Melalui teknologi vakum dan tanpa bahan pengawet, rendang ini tahan selama satu tahun di freezer jika belum dibuka, dan dua minggu di kulkas kalau sudah dibuka.

Harga Rendang Kampung Soewardi tergolong standar meski rasanya di atas standar. Jika disantap di tempat harga 1 potong rendang asap atau rendang setan Rp 10.000, dan 1 porsi rendang jengkol Rp 5.000. Sedangkan jika dikemas, harga 10 potong rendang asap atau rendang setan Rp 120.000. Kalau 1 kemasan kecil Rp 15.000.

Rendang Kampung Soewardi, Bumijo, rendang asap, rendang jengkol, rendang setan, rendang vegan, foto: Barata
Soewardi, penemu rendang asap

Dalam mengelola usahanya, Suwardi dibantu istrinya, Istini (55 tahun) yang juga berasal dari Gunung Kidul. Selain membantu suaminya, Istini mengajar di TK Budaya Wacana. Sedangkan anak sulungnya siap maju pendadaran di Jurusan Manajemen Universitas Sanata Dharma, dan kalau lancar akan diwisuda pada bulan Oktober ini. Sementara anak bungsunya naik ke kelas 2 SMA.

Motivasi utama Suwardi untuk menyekolahkan anak-anaknya telah membuahkan hasil. Pelan tapi pasti tampaknya Rendang Kampung Soewardi akan kian banyak menjaring penggemar, terus berkembang meski kedua anaknya telah lulus sekolah.

Makan yuk ..!

Naskah dan foto: Barata

KULINER

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 12-06-15

    Pendok Blewah dalam

    Pendok blewah atau sering pula disebut dengan pendok blewehan merupakan salah satu jenis dari bentuk pendok. Dinamakan pendok blewah karena pendok... more »
  • 12-06-15

    Kegigihan Kolonel Su

    Judul                  : Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan... more »
  • 12-06-15

    MEMILIH HARI 209, Ke

    Pada nomor 93 di dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna dituliskan mengenai “Jayane Manungsa’’ yang artinya kesuksesan seseorang. Menurut kitab... more »
  • 12-06-15

    Kemeriahan Festival

     Secara marathon, Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menyelenggarakan Festival Upacara Adat mulai tanggal 8-10... more »
  • 12-06-15

    Empat Penyair Tampil

    Malam Sastra Giri Lawu ke-2, yang akan diselenggarakan Sabtu, 13 Juni 2015, pukul 19.30 di InDie_coloGy Cafe, Jalan Candrakirana 14, Sagan,... more »
  • 12-06-15

    Pasinaon Basa Jawa K

    Ngecakake Tembung ”Arep” ing Undhak-Usuking Basa Jawa   Undha-Usuk Basa Jawi ing Wekdal Samenika   Ing ngadhap menika tuladha trap-... more »
  • 12-06-15

    Santap Ta’jil Lezat

    Selama bulan Ramadan, Warung Dhahar Pulo Segaran Tembi Rumah Budaya menawarkan sajian baru di antaranya Paket Ta’jil Lele Ngambang. Paket ini sudah... more »
  • 11-06-15

    Hujan Terakhir di Ke

    Puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi berjudul “Hujan Terakhir di Kelopak Mei” digubah menjadi lagu dan digarap model orkestra oleh ‘Alfries and Friends... more »
  • 11-06-15

    Sebuah Buku Penting

    Buku koleksi Perpustakaan Tembi ini tergolong lama, terbitan tahun 1955. Buku berbahasa Belanda ini termasuk salah satu referensi penting dalam studi... more »
  • 10-06-15

    Mahasiswa Wisma Baha

    Mereka start dari gerbang Tembi masuk menyusuri sawah-sawah yang kala itu padi sedang tumbuh menghijau, kemudian masuk ke desa-desa yang pernah... more »